webnovel

Ayah

"Ilona!"

Shilla menghentikan aksinya, wajah pias dan pucat basi sungguh tertera jelas. Melangkahkan kakinya mundur, perempuan itu sangat takut dengan kehadiran Count Berenice, ayah tirinya. Pemilik kediaman ini, serta ayah kandung dari Ilona.

Sherly, perempuan paling muda tersebut merapatkan diri pada kakak tertuanya, Jeanne. Bagaimana nasib ke depannya? Mereka tak tahu. Begitu juga dengan ibu tiri yang terlihat khawatir.

Di ruangan utama yang cukup luas ini, para dayang dan pelayan hanya dapat menunduk. Menerka-nerka apa yang akan terjadi setelahnya. Count Berenice cukup tegas, meski pun terkadang terlihat tak peduli dengan apa yang terjadi.

Ilona mendongakkan wajahnya, tersenyum sinis ke arah Shilla yang terkaget-kaget. Hah ... rambut perak indah ini jadi berantakan karena Shilla, begitu pun dengan wajah cantik nan mulusnya.

Dengan perasaan bahagia, Ilona cepat menoleh ke arah ayahnya. "Ayah–"

"Apa yang kau lakukan?! Dasar anak nakal! Tak tahu tata krama terhadap kakakmu!"

Bibir Ilona terbuka. "A-apa ...."

Pria paruh baya dengan setelan resminya tersebut memijit pelipis. Wajahnya lelah, dan terdapat semburat rasa amarah. "Dayang mengatakan padaku bahwa kau membuat wajah kakakmu sendiri rusak! Kau pikir aku tidak tahu?!" Caount Berenice mendesah pelan. "memalukan! Bagaimana jika perilakumu ini tersebar?! Kau hanya akan mempermalukanku! Tak berguna!"

Kedua bola mata hijau zamrud Ilona membulat sempurna, ini adalah ayahku?

Perempuan dengan fisik lemah, Ilona merasakan ia kesulitan untuk bernapas. Bahkan tampaknya lebih menyakitkan daripada apa yang dialami oleh ibu tiri. Dada Ilona sesak, seperti ada sebilah pisau yang menikamnya kuat. Begitu sakit.

Tawa pelan terdengar dari ibu tiri di seberang. Dia kesulitan napas sejak tadi, tetapi kini ... tidak lagi. Wanita itu dapat bernapas lega.

Menetralkan wajahnya yang penuh kerutan, ibu tiri berjalan mendekati Count Berenice, suaminya. Ia menyentuh pelan lengan pria paruh baya tersebut. "Ah, suamiku. Kau tak seharusnya memarahinya .... Ilona hannyalah seorang gadis kecil, dia bahkan belum dewasa. Tak apa jika hanya merusak wajah kakaknya, Anda tidak perlu kasar begitu. Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk mencari cara, agar wajah Shilla, dapat seperti semula." Dia menampilkan senyuman.

Count Barenice menghela. "Jangan terus memanjakannya. Kau juga harus memikirkan Shilla."

"Tak apa, Suamiku–"

"Aku akan menyelesaikan persoalan ini." Count Barenice menepis pelan tangan istrinya. Ia menatap penuh amarah terhadap perempuan bermata hijau zamrud tersebut, penuh dengan rasa kecewa, penyesalan, serta amarah.

Pria paruh baya tersebut berjalan ke arah Ilona. Membuat perempuan itu semakin takut, hingga ia perlahan-lahan melangkah mundur.

"Aku sungguh menyesal."

Setengah takut, Ilona mendongak perlahan. Wajah seorang ayah ada di depannya, tetapi mengapa hanya seorang wajah monster yang ia lihat?

Rambut perak Ilona berantakan, berserakan menutupi dahi dan sebagian matanya. Kedua pipi tersebut masihlah terasa sakit, entahlah ... mungkin sekarang telah bengkak ...?

Yang dapat terlihat jelas, hannyalah ... kilatan warna hijau zamrud dari kedua mata indahnya. Menyedihkan, bukan?

"Menyesal karena apa ..., Ayah?" tanya Ilona lirih.

Count Berenice menampilkan wajah marahnya. "Tentu saja karena dapat memiliki anak sepertimu!"

Hentakan tiap kata-kata tersebut, hampir saja membuat tubuh Ilona kehilangan keseimbangan. Haruskah dia mendengar kalimat ini? Bahkan, di kehidupan sebelumnya yang lebih menyedihkan pun, dia tak pernah mendengar sebuah kalimat menyakitkan selain ini.

"Cepat minta maaf pada kakakmu, Shilla!"

"... kenapa aku harus meminta maaf–"

Lagi. Ilona mendapati sebuah tamparan di sisi pipinya. Sekali. Namun, sangat sakit dan membekas. Meninggalkan rasa perih, bahkan dapat menjalar di lubuk hatinya. Ini berkali-kali lebih menyakitkan, dari apa yang Shilla berikan.

"Siapa yang mengajarimu berkata kasar seperti itu?!"

"Bukankah Anda sendiri–argh!" Ilona tersungkur. Tamparan yang kembali diberikan oleh ayahnya sendiri, terasa lebih kuat.

Dingin. Darah menetes dari sudut bibir kering Ilona yang sobek. Perempuan itu termenung, sakit.

Ibu tiri berjalan tergesa-gesa ke arah suaminya. "S-suamiku, jangan dengan cara ini. Kau terlalu keras padanya–"

"Jangan ikut campur," peringat Count Berenice pelan. Tak berniat sedikit pun untuk menatap istrinya, atau pun mengatakan sesuatu yang lembut. Pria paruh baya tersebut sudah kalang kabut dengan putrinya, ia ingin segera menghukum Ilona.

"B–baiklah ...." Wanita bergaun mewah tersebut menatap khawatir ke arah Ilona. Bukan, dia ... menatap kasihan.

Oh, ternyata ibu tiri rela berjalan tergesa-gesa, karena dirinya ... ingin melihat Ilona yang menyedihkan dari jarak dekat.

Tersenyum getir, Ilona hanya dapat menunduk dalam diam. Entah kenapa, hanya untuk melawan, ia tak sanggup. Perempuan itu lelah.

"Bangun! Mulai hari ini, kau akan tidur di gudang!" Count Berenice menghentakan kakinya kasar. Membuat Ilona dapat dengan jelas merasakan kulitnya terkena embusan angin kotor.

Jika dipikir, bukankah kamar Ilona saja sudah layak dikatakan sebagai gudang? Apa bedanya?

***

Terkadang, Ilona heran. Kenapa di gudang sangat berdebu? Ruangannya pengap, bahkan untuk bernapas di dalamnya. Ternyata, karena di gudang, tak angin yang masuk. Kosong, dan hampa.

Perempuan itu hanya dapat memeluk lututnya sendiri. Semuanya sempit, terlalu penuh dengan barang-barang yang tak berguna.

Rumah di bawah jembatannya, masih lebih baik. Meski pun, bau sampah terus menyengat tiada henti.

"Beginikah hidup seorang tokoh utama?"

Ilona tak pernah membayangkan, bahwa untuk mencapai sebuah kebahagiaan, diperlukan pengorbanan yang besar. Hah ... wajah Ilona sangat perih, sedari tadi rasa menyakitkan itu tak mau hilang, barang sedetik saja.

Ayah ....

Di antara semua penderitaan di dunia baru ini, hal yang paling menyakitkan adalah saat di mana Ilona mendengar kalimat kasar terlontar dari ayah. Ia kira, tadi Count Berenice akan membelanya, dan memarahi Shilla serta ibu tiri habis-habisan. Ilona kira, dia akan merasakan bagaimana rasanya dibela oleh sosok ayah. Ia kira, dia akan merasakan bagaimana tangan ayahnya membelai rambutnya lembut. Namun, ternyata, dia malah merasakan sebuah tamparan.

Kenapa sang penulis harus membuat cerita yang menyedihkan? Dia, 'kan, dapat membuat tokoh utama selalu bahagia. Jahat, tak merasakan bagaimana rasanya ketika menjadi tokoh utama, yang selalu saja menderita. Lalu, hanya bahagia sesaat, itu pun selalu di akhir cerita.

Brugh!

Ilona mengangkat kepalanya lemah. Suara berisik yang mengganggunya, berasal dari sebuah jendela yang ditutup oleh kayu.

Seseorang pasti berusaha menyelamatkan Ilona. Namun, perempuan itu lelah. Bahkan hanya untuk berdiri. Dia tidak sanggup.

Biarkan, biarkan saja ....

Perempuan rapuh tersebut tidak akan peduli. Dia lebih memilih untuk kembali menenggelamkan kepalanya, dan memeluk erat lututnya. Bagaimana jika di balik suara berisik tersebut, berasal dari ketiga saudara tiri menyebalkan? Ah, Ilona jadi kembali teringat bagaimana ketiga saudara tirinya menahan tawa, di ruang utama tadi.

Kapan, ya, tokoh utama pria akan menyelematkan tokoh utama wanita?

Ramos Frederick. Entah karena apa, tetapi Ilona sungguh memiliki harapan besar terhadap pria itu.