webnovel

Sup Kentang, Roti Keras

"Sstt … N–nona! Nona Ilona …."

[Audrey?]

Ilona perlahan mendongakkan kepalanya. Menatap ke arah tembok sisinya yang berbahan kayu— mulai berserbuk.

Tidak asal lagi. Suara itu benar-benar berasal dari Audrey. Suara yang cukup khas sudah ada dalam ingatan Ilona saat ini, dan begitu melekat.

"Audrey, kah?" Ilona bertanya.

"Iya, Nona. Saya Audrey." Suara itu menyahut.

Ilona sama sekali tidak memberikan respons. Apa yang ia dapatkan, bila ia memberikan sebuah respons? Bukan kah tidak ada? Lalu, untuk apa Ilona harus bersusah payah menjawab? Lagi pula, Ilona sendiri, merupakan majikan Audrey saat ini— dalam secara otomatis.

"... Nona? Apa ada yang bisa saya bantu? Saya akan berusaha."

Kali ini, suara Audrey terdengar begitu khawatir. Tentu saja, di ingatan Ilona, Audrey merupakan salah satu atau bahkan satu-satunya orang, yang sangat memperhatikannya.

Ilona sedikit berpikir. Sebelum akhirnya ia menjawab, "Pastikan aku diberikan makan secara layak saja. Makanan enak, sama yang seperti ketiga saudari itu makan."

Jeda sejenak. Yah, Ilona tahu. Audrey pasti akan sedikit bingung dengan kata-kata yang Ilona lontarkan. Terdengar aneh dan asing di dunia novel pada era Victoria ini. Kata-kata yang Ilona katakan, memang terkesan gaul, sebagaimana ia hidup di dunia awalnya dahulu.

"... Baik, Nona. Saya akan mengusahakannya sebaik mungkin."

Ilona mengangguk lemah dengan gerakan sedikit tak peduli. "Ya, sudah. Pergi lah," katanya kemudian; saat ia sendiri masih merasakan kehadiran Audrey di dekatnya.

"Baik, Nona."

Ilona menghembuskan napas. Cukup pelan. Karena ruangan sempit dipenuhi barang-barang tak berguna ini, sangat berdebu. Bahkan sedikit saja ada udara yang menerpa, semua debu akan langsung bertebaran dan membuat Ilona semakin merasa sesak.

Ilona mengarahkan pandangan tepat pada balok kayu yang entah berisi apa di pojok sana. Perempuan itu terdiam.

Tadi, entah; rasanya ia sangat bersemangat. Bahkan, Ilona berpikir akan menjadi seseorang yang dapat bahagia. Perempuan itu bertekad dapat melalui semuanya. Maksudnya, semua takdir seorang tokoh utama untuk selalu menderita, hingga kemudian mendapatkan kebahagiaan.

Jika dipikir lagi, rasanya tidak sepadan. Umur Ilona saat ini adalah 16 tahun. Itu artinya; selama 16 tahun pula Ilona merasa menderita. Atau bahkan, bisa lebih. Kemudian setelahnya, Ilona sebagai tokoh utama memang akan bahagia. Tapi, bukan kah itu hanya sedikit? Mengingat bahwa ketika membaca novelnya di kehidupan nyata, paling tidak; akhir kebahagiaan Ilona termuat dalam 25 paragraf. Itu seolah hanya 15 persen dari keseluruhan cerita novelnya saja.

Perempuan itu hanya terlarut dalam pikirannya saja. Semua hal-hal yang masuk ke dalam penampungannya, selalu ia renungkan. Tak ada hal lain yang bisa Ilona lakukan saat ini— menurut dirinya— selain dengan hanya merenung.

Sebuah suara ketukan di pintu berbahan kayu yang cukup keras beberapa kali terdengar. Tapi, sayangnya, saat ini Ilona telah tertidur. Sekitar dua jam lalu, saat dirinya mulai lelah dan mengantuk. Kemudian perlahan-lahan menenggelamkan kepalanya di kedua lutut yang ditekuk.

Empat kali lagi, suara ketukan di pintu terdengar semakin keras. Bahkan, rasanya akan mendobrak ruangan gudang ini.

"Jika kau masih tak ingin menjawab, maka aku akan langsung masuk, meski tak sopan!"

Ilona mengangkat kepalanya secara perlahan. Mulai membuka kedua kelopak mata, dan mengedipkan keduanya beberapa kali. Dia sedang mencari kesadarannya, setelah beberapa jam tertidur cukup pulas.

Sekarang Ilona telah berdiri. "Ya, baiklah, baiklah. Aku tahu–"

Pintu sudah dibuka dari luar. Terlihat wajah seorang dayang yang tampak tak sabaran. Sepertinya, ia sudah cukup lama menunggu balasan dari Ilona. Di tangannya, dayang itu membawa sebuah nampan.

"Oh." Satu kata Ilona berikan. Jujur saja, ia cukup kaget, di saat nyawa dan kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya.

Dayang di sini masih memiliki sopan santun rupanya. Mereka masih menunggu balasan dari Ilona, sebelum membuka pintu. Ya, bagaimana pun juga, Ilona merupakan putri kandung dari Count Berenice.

Dayang itu menaruh nampan di lantai— yang bahkan tak terbuat dari hal-hal menarik. Hanya papan kayu, yang Ilona tahu; kualitasnya rendah. Menaruh nampan berisi makanan di tempat berdebu, Ilona hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali saja. Seolah sedang memaklumi.

"Makanlah, ini sudah sesuai dengan apa yang Audrey katakan." Dayang itu membalikkan badan. Berjalan keluar dari ruangan yang hanya dengan satu ventilasi bersarang. "jika saja Count Berenice mengetahui, pasti diriku yang akan disalahkan," gerutunya kemudian; yang sudah mulai menutup pintu.

Ilona mengangkat kecil kedua bahunya. Seolah tidak pernah peduli dengan apa yang orang-orang katakan, dan orang-orang lakukan.

Ilona duduk bersila. Mengangkat nampan dan memangkunya. Benar, Audrey ternyata melakukan beberapa cara untuk memenuhi permintaan dirinya. Meski tidak terlalu istimewa. Ada sup kentang dan cream, juga beberapa buah roti cukup keras dan berserat, tetapi lezat. Kemudian dengan susu putih tanpa rasa yang menampung di gelas berbahan kaca buram.

Meski begitu, Ilona menghabiskan keseluruhannya tanpa sisa. Di mana lagi ia akan mendapatkannya? Makanan lezat, dan juga susu sebagai protein tubuh?

Lagi pula, di tempat yang baru baginya ini, Ilona harus memiliki tenaga untuk beradaptasi. Ia tidak bisa jika harus berdiam diri, dan hanya menunggu beberapa tahun lagi; sampai sebuah kejadian tak sengaja mempertemukannya dengan Ramos. Itu terlalu klise, dan tak sanggup bila harus menunggunya.

"Aku akan memikirkan beberapa cara selama dikurung. Kemudian setelah bebas, bukankah aku bisa langsung bertindak?" Pemikiran Ilona yang telah terisi oleh energi muncul.

***

Sudah dua hari sejak Ilona kembali ke kamar tidur asalnya. Tak lagi berada di dalam ruangan penuh debu mirip gudang. Meski kamar tidur Ilona tak semewah saudari tirinya yang lain, tetapi ini jauh lebih baik. Setidaknya Ilona merasa benar-benar, bahwa dirinya adalah putri kandung Count Berenice yang merupakan tokoh utama.

Ilona duduk pada sisi ranjang yang merupakan dipan. Sejak tadi hanya menatap lurus ke depan, hingga membuat Audrey— yang berdiri di dekatnya— terus khawatir.

"Nona … j–jika tidak keberatan, Anda dapat mengatakan … m–masalahnya." Suara keraguan itu tiba-tiba saja Audrey lontarkan.

Ilona mendongakkan kepala menatap ke arah Audrey. Jarak usia keduanya, tidak jauh berbeda jika diukur.

"Audrey, kapan acara yang akan para saudari tiri itu datangi?"

"Y–ya?" Audrey sedikit memiringkan kepalanya. Ia bingung. Akhir-akhir ini, Ilona sering kali mengatakan hal-hal yang dapat membuatnya berpikir keras.

"Ya, acara itu. Bukan kah sebentar lagi, jika aku tak salah ingat, maka tiga saudari tiri itu akan menghadiri sebuah acara? Yang itu … yang Ramos Frederick juga ikut serta," jelas Ilona sekali lagi. Sedikit greget, karena sebenarnya ia tak tahu apa nama acara dan siapa yang menyelenggarakannya. Dia hanya ingat sepintas karena pernah membaca novelnya.

"Bagaimana Nona Ilona dapat mengetahuinya?" Audrey menutup mulut dengan pandangan terkejut. Tak menyangka bahwa Ilona yang polos, mengetahui tentang hal-hal modern atau semacamnya. "o–oh, maaf, Nona. Sepertinya saya kurang sopan." Audrey menundukkan kepala pelan kemudian.