webnovel

Memulai

Jika banyak yang mengatakan bahwa cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya, maka hal itu tidak berlaku padaku. Cinta pertamaku bukanlah seorang ayah. Namun, ia adalah ibu. Mahluk Tuhan yang rela mati demi melahirkan sang anak. Dan kini pun kembali rela benar-benar mati demi menyusul kematian putrinya yang sudah jelas hanya memberikan luka sebelum perpisahan. Lebih parahnya, aku justru kembali. Enggan pergi dari dunia yang fana ini. Bu, entah hatimu terbuat dari apa. Yang jelas, hidupku setelah ini akan sangat berat bila tanpamu.

Gundukan tanah merah yang basah di hadapan, membuktikan bahwa sekeras apa pun kita jungkir balik di dunia, tetap kembali ke bumi lah tujuan akhir yang dituju. Masih segar dalam ingatan, pagi terakhir bersama ibu, beliau tersenyum saat aku memasak kuah kari kesukaanya.

Senyuman yang selalu membuatku bersyukur pernah dilahirkan dari rahimnya. Senyuman yang selalu menenangkan saat hatiku mulai gundah. Ah, ibu. Bolehkah aku bilang bahwa aku tak benar-benar rela melepas kepergianmu.

"Sudah, Ria. Jangan membebani ibumu. Ikhlaskan. Ini semua sudah jalannya. Mari pulang." Paklik Anto memegang pundak. Menyadarkanku dari lamunan. Benar, ketidakrelaanku justru akan memberatkan langkah beliau. Perlahan aku bangkit. Membawa tubuh penuh dosa ini untuk pulang dengan tenaga yang belum seberapa kembali.

Langkah gontai sedikit terseok membuatku terlihat memprihatinkan. Aku sadar, banyak mata memandang iba ke arahku. Tak hanya iba, tatapan menghina pun sudah pasti ada di antara mereka. Kabar sikap terakhirku pada ibu sudah seperti topik utama di berita terpanas desa ini.

"Mbak Ria, naik motor saja, ya." Pemuda ini, kenapa kamu bersikap seperti ini kepadaku?

"Iya, Ria. Kesehatanmu belum benar-benar pulih. Pulang saja bersama Roni. Paklik masih mau beberes sisa urusan tadi."

Jujur. Aku dilema. Posisiku akan serba salah. Jika kutolak bantuan ini, orang pasti menganggapku keras kepala. Namun, juka tak kutolak, mereka akan menganggapku tak punya pendirian.

"Ria."

Paklik Anto kembali memanggil dan menatapku seakan menunggu keputusanku. Aku hanya menatap balik ke arah mereka satu per satu.

"Jangan dengar apa pun, Mbak. Lebih baik jika mbak sekarang segera beristirahat biar lekas sehat."

Astaga, Roni. Hentikan sikapmu yang begini.

Tiba-tiba kepalaku terasa berat, dan tak lama kemudian semua menggelap.

***

"Kamu yakin, Ron?"

"Insya Allah, Pak. Selain itu permintaan terakhir Budhe, Roni juga tidak bisa melihat Mbak Ria terus menerus menderita di sini. Roni pikir suasana baru mungkin bisa membantu mengembalikan Mbak Ria seperti dulu lagi."

"Tapi kamu tidak terpakasa, 'kan, Ron?"

"Ini kemauan Roni sendiri, Pak."

"Alhamdulillah. Bapak benar-benar nggak mau kalau ada keterpaksaan dalam keputusan ini. Bagaimanapun juga sesuatu yang dipaksa hasilnya akan tidak baik."

Kesadaranku yang berangsur pulih kembali diserang rasa pusing yang luar biasa. Pemuda itu, dengan bodohnya memutuskan untuk menuruti permainan mereka. Seharusnya ia pikirkan masa depannya sendiri tanpa terbebani oleh perempuan macam aku.

"Mbak Ria sudah bangun?"

Ternyata Roni awas terhadap pergerakanku. Dengan sigap ia mengambil segelas air putih yang sudah tersedia di nakas.

"Mbak makan dulu, ya. Ini tadi Bu Septi bawakan makanan untuk kamu. Dimakan, ya, Mbak."

Aku tak menyahut. Akan tetapi semua permintaannya kulakukan tanpa penolakan. Sepiring nasi lengkap dengan lauk dan sayur tandas dalam waktu yang cukup singkat. Sepertinya alam bawah sadarku benar-benar butuh asupan nutrisi.

Segelas air kelapa muda juga berhasil lolos ke perut. Dengan sigap Roni mengurus semua alat makan yang kosong. Ia memang pemuda baik. Namun, tidak baik jika ia harus menanggung beban diri ini.

***

Malamnya, pembacaan doa tetap digelar meski kabar di luaran sana banyak larangan mobilitas di tengah pandemi. Warga di sini tak sedikit pun terpengaruh. Katanya, penyakit tidak akan bisa menghalangi jalan hidup mereka. Hidup mereka akan tetap seperti biasanya. Justru akan tidak biasa jika mereka panik dan mencari penyakit itu sendiri.

"Ria, kamu sudah sehat?" Bu Septi, tetangga yang kebaikannya tak diragukan lagi perlahan mendekati tempat dudukku.

Aku mengangguk pelan. Sikap hangatnya mengingatkanku pada ibu. Tanpa sadar mataku menghangat dan air mata seketika menumpuk hendak keluar.

Bu Septi merapatkan duduknya dan mengusap punggung ini pelan. Kata sabar yang berkali-kali ia ucapkan seperti menjadi obat tersendiri yang tak kudapat sejak pagi. Jika orang lain yang berucap, aku hanya mendengarkan tanpa mengamini. Namun, berbeda dengan Bu Septi.

Sepertinya, setelah ini Bu Septi akan menjadi pengganti ibuku dalam hal mencari solusi. Ada banyak hal yang harus kudiskusikan dengan beliau. Semoga saja, semoga keputusanku ini tepat.

***

Seminggu berlalu, kepergian ibu masih menyisakan duka mendalam di rumah ini. Hampir setiap malam aku menangisi nasib yang tak beruntung. Berbeda dengan suasana desa, orang-orang tak lagi berduka. Mereka tetap menjalankan hidup seperti biasa. Entahlah. Aku belum keluar seminggu ini. Aku belum bisa memastikan apakah dengungan sumbang untukku masih berlanjut atau tidak.

"Masih pagi, Neng. Jangan melamun. Sudah makan?"

Akibat terlalu larut dalam lamunan, aku tak sadar jika Bu Septi sudah berada di hadapan.

"Sudah, Bu. Terima kasih atas makanannya selama ini."

"Alah. Biasa aja, Ria. Ibu lagi senang masak akhir-akhir ini. Rencananya ibu mau bikin usaha masakan itu loh, Ria. Apa sih namanya?" Bu Septi berujar sembari tangannya ribut mengupas buah.

"Katering, Bu?" jawabku.

"Nah. Itu. Ibu mau bikin katering. Ria mau bantu, 'kan? Tenang aja pasti dibayar kok." Bu Septi terkekeh. Kekehannya seketika membuatku ikut tersenyum.

"Nah, gitu dong, Neng. Senyum. Kamu itu cantik kalau senyum. Apalagi kalau makan apel kupasan ibu ini."

Aku tersipu mendengar ucapan beliau. Wanita ini, tak memiliki sedikit pun ikatan darah, tetapi kasih sayangnya melebihi saudara sendiri.

Eh, Saudara sendiri? Aku justru lupa kalau masih punya saudara. Sayangnya aku memang seperti tak punya saudara.

Paklik Anto? Rumahnya ada di desa sebelah. Hanya datang jika sedang tak malas saat pulang dari ladang. Roni? Sudah kubilang masa depan anak itu masih panjang. Pemuda yang terlihat baik itu sedang melanjutkan studi di kota. Kabarnya ia juga sudah bekerja di sana. Biarkan. Ia tak punya kewajiban untuk tetap di sini. Biar ia cari jati diri hidupnya mumpung masih muda.

"Ria, kemarin ibu dari kota."

Lagi. Lamunan membuatku abai dengan sekitar. Bisa-bisanya aku lupa jika sedang bersama Bu Septi. Beliau pun seperti menyadari hal itu jika dilihat dari bagaimana ia mencari topik pembicaraan.

"Oh ya? Nyari apa, Bu." Kuberikan respon lebih baik atas usaha beliau.

"Jenguk keponakan. Sakit lambungnya itu, loh. Sampai harus opname. Kamu harus makan, ya. Jangan sakit. Kemarin ibu lihat di rumah sakit kota itu isinya hampir penuh."

Aku mengangguk dan tersenyum meski beliau masih berkutat dengan piring-piring kotor yang hendak dicuci.

"Kamu ingat dokter yang waktu itu ke mari? Ibu juga ketemu sama dia kemarin. Ternyata ia dokter yang mengobati ponakan ibu juga dia. Dia mengenali ibu dan sempat menanyakan kondisi kamu. Katanya kalau ada masalah ibu disuruh hubungin dia. Ini sampai ibu dikasih nomor teleponnya. Kamu mau simpan? Sepertinya kalian seumuran."

Aku terdiam. Tak ada yang aneh dari perkataan Bu Septi. Namun, aku merasa ada hal lain yang mulai mengusik hati. Aku kenapa?