webnovel

Petaka

Bukan ini yang aku mau. Namun, semuanya sudah terlanjur. Hendak melayangkan protes pun tak tahu harus protes pada siapa. Semua amarah yang harusnya dilepaskan hanya bisa tertahan.

Sepagi ini, saat burung-burung dengan ceria bercengkrama dengan koleganya, aku justru tak bisa melakukan apa pun. Tubuhku kaku. Semua persendian seakan lumpuh. Hanya indera pendengaran yang masih jelas menangkap sebuah prahara yang sepertinya sedang terjadi di luar ruangan tempatku terdiam sejak semalam.

"Kita harus bagaimana?" Seseorang yang dari suaranya kukenali sebagai Paklik Anto terdengar serius bertanya.

"Harus segera diberangkatkan ini, Lek. Kasihan si Ria."

"Tapi ibunya masih nahan. Kita dari semalam mau ngurus semuanya saja kesulitan. Dokter dari kota jadi datang pukul berapa, sih?"

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam." Terdengar riuh jawaban salam di luar sana. Sepertinya warga satu kampung sudah berkumpul di gubuk tercinta milikku.

Tok tok tok.

"Mbak, Pak dokter yang mau obatin Ria sudah datang." Paklik Anto kembali mengetuk. Namun, tetap tak ada sahutan dari wanita yang telah melahirkanku itu.

Aku merasakan, ibu masih diam menatap tubuh diri ini yang tak bergerak. Sesekali kudengar isakan lirih keluar dari bingkai renta miliknya. Aku benci semua keadaan ini. Harusnya semalam aku tidak gegabah. Bagaimana bisa, Riana, perempuan yang tak pernah sekalipun membantah titah orang tua, tiba-tiba saja kalap dan menjadi kesetanan hanya karena satu permintaan dari ibu. Ya, ibu memintaku untuk menikah.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan permintaannya. Sudah sepatutnya ibu khawatir dengan kondisi anaknya yang belum menikah di usia menjelang kepala tiga. Namun, aku sendiri tak tahu bagaimana awal mulanya aku bisa semarah itu.

Kata perjodohan benar-benar membuat darah dalam jasad ini mendidih. Tanpa pikir panjang, racun serangga yang sudah biasa dipakai saat menjelang malam demi menyelamatkan diri dari gigitan, justru malah kuteguk sampai menggigit organ dalamku.

Seketika aku tak merasakan apa pun saat menenggaknya. Persis seperti saat ini. Hanya indera pendengaranku saja yang berfungsi. Lebih dari 10 jam aku bertahan dengan tanda tanya besar di kepala. Apa aku telah mati? Namun, mengapa aku masih merasa jiwa dan ragaku tidak ke mana-mana?

Brakk!!

Sepertinya pintu ruangan ini telah dipaksa terbuka. Ibuku tetap bergeming tanpa bereaksi apa pun.

"Ya Allah! Mbak Narti!"

Eh, kenapa Paklik Anto justru berteriak memanggil nama ibu? Bukankah ibu sejak tadi berada di sisiku tanpa melakukan apa pun? Meski tak bisa melihat, aku masih merasakan kehadiranya di sebelah jasad ini.

"Dok, tolong periksa kakak saya! Cepat!"

Ada apa ini sebenarnya? Seharusnya aku yang diperiksa. Aku sudah 10 jam bertahan dari racun serangga dan membutuhkan pertolongan segera. Namun kenapa justru ibu yang diperiksa? Ibu kenapa?

"Duh, Gusti. Selamatkan Mbak Narti. Dia oranya baek. Jangan biarkan keputusan bodoh anaknya membuat orang sebaek Mbak Narti ikutan pergi."

Ck! Aku sangat mengenal suara perempuan laknat ini. Bu Bariah, wanita bermulut pedas ini memang tak beretika, tak tahu tempat yang benar untuk berucap. Tapi tunggu? Ibu ikut pergi? Pergi ke mana? Ibu mati? Aku mati?

"Innalilahi wa inna ilaihi rojiuun."

"Eh, kenapa, Dok?" Ucapan dokter tersebut seketika menghentikan dengungan manusia yang sejak tadi lebih tertarik mengomentari dari pada mendoakan.

"Mohon maaf, nyawa ibu ini tidak bisa terselamatkan."

Lagi. Semua orang kembali terdiam. Aku yang semenjak tadi sudah terdiam pun semakin terbungkam. Jadi? Siapa yang nyawanya tak terselamatkan? Aku? Ibu?

Saat masih bertanya-tanya dengan diri sendiri, tiba-tiba mataku seolah ingin terbuka. Perlahan sinar lampu bohlam di ruangan ini menyilaukan mata.

"Astaghfirullah!"

"Riana!"

"Ya Allah!"

Perlahan pandanganku mulai jelas. Aku hanya bisa menatap kosong ke arah orang-orang yang semuanya serentak menatapku dengan tatapan ngeri. Aku hanya bisa mengerjap tanpa tahu harus bereaksi seperti apa. Dokter yang mulanya juga terkejut akhirnya memberanikan diri mendekat dan memeriksa pergelangan tanganku.

"Alhamdulillah. Mbaknya kembali. Ini keajaiban."

Kembali? lelucon apa lagi ini? Sedari tadi aku di sini. Kembali dari mana coba jelaskan!

"Ria," panggil seseorang yang sudah bersimpuh di sebelah kepalaku. Aku menoleh pelan.

"Ibumu sudah pergi untuk menyusulmu, Nak. Tapi kamu justru kembali. Kamu yang tabah, ya!"

Mataku membelalak. Hendak beranjak duduk tapi badan masih terasa lemas. Ibu? Tidak! Kenapa harus ibu yang pergi. Harusnya aku yang mati. Ingin menangis tetapi air mata terasa kering. Di tengah keprihatinan warga, terdengar pula suara sumbang dari wanita bermulut cabai.

"Nasib buruk untukmu Mbak Narti. Anak kesayanganmu justru memilih hidup saat ibunya rela mati untuknya."

Demi Tuhan! Andai aku punya daya, aku tak akan tinggal diam saat wanita itu berkomentar. Sayang, tubuhku masih sangat lemah.

"Diminum dulu, Ria. Jangan dengar apapun. Kamu harus sabar. Ini semua sudah kehendak yang di atas." Paklik Anto menyodorkan gelas ke mulutku setelah sempat membantu menegakkan badan ini.

Dengan posisi ini terlihat jelas tubuh kaku ibu yang kini sudah tertutup kain sarung. Motif sarung yang dipakai sama persis dengan yang menutupi tubuhku. Harusnya ada dua jasad yang dikubur orang desa hari ini. Akan tetapi, kenapa harus aku yang kembali hidup?

"Ini saya resepkan obat, ya, Pak. Kalau ada, bisa dikasih air kelapa muda murni atau susu untuk menetralkan racun di tubuh mbaknya."

"Iya, Dok. Terima Kasih banyak sudah mau datang jauh-jauh ke mari." Paklik Anto menyalami dokter itu dengan sebuah amplop menempel.

"Nggak masalah, Pak. Semoga mbaknya lekas pulih. Saya izin pamit."

"Iya, Dok," ucap Paklik. "Ron! Antar Pak Dokter sampai perbatasan. Sekalian tanya tukang gali liangnya sudah siap atau belum."

Roni yang dipanggil adalah sepupuku. Putra Paklik Anto. Ia pemuda yang rencananya akan dijodohkan denganku. Usianya 10 tahun lebih muda. Meski dalam silsilah masih memperbolehkan kami untuk menikah, aku tetap akan menolak perjodohan itu. Bukan karena aku sok jual mahal, bukan karena Roni tak baik, bukan pula aku enggan menikah, tetapi aku tahu masa depan Roni masih panjang. Dia anak baik, dan harus mendapat masa depan yang lebih baik tanpa mengikuti aturan omong kosong orang lain.

"Kamu kuat bangun, Ria? Mari kita mandikan jasad ibumu." Ibu-ibu yang biasa memandikan jenazah membantuku untuk berdiri. Masih terasa lemas. Peluh masih terus bercucuran di pelipis. Namun, aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan terakhirku untuk berbakti terakhir kali.

"Lihat, ibumu tersenyum, Ria. Kamu jangan bersedih. Jangan berpikiran macam-macam lagi. Setelah ini lanjutkan hidupmu sesuai keinginanmu. Yakinlah bahwa ibumu akan selalu merestui jalan yang kau pilih." Ibu-ibu itu kembali memberi penguatan.

Aku tak tahu harus memberi reaksi seperti apa. Yang kutahu pasti, petaka tidak akan berhenti begitu saja hari ini.

Next chapter