Rasanya muak.
Gelora di hati seorang gadis kecil bernama lengkap Anneta Davishya Arishanti, kembali menggebu-gebu. Kegelapan pekat hadir dalam hidupnya tat kala harus menerima kenyataan pahit secara bersamaan saat ini.
Anneta ingin sekali memberontak, hatinya seperti dijerat rantai yang berat ketika pertanyaan itu kembali dilayangkan kepadanya. Pertanyaan yang sesungguhnya sangat ia benci. Ia sangat gusar ketika harus memilih salah satu di antara mereka.
"Ann, jawab yang jujur. Kamu mau tinggal sama Papi, kan?" tanya pria paruh baya itu.
"Nggak! Ann bakal tinggal sama aku," ucap Ariel—sang Ibu sembari menarik lengan mungil Anneta agar mendekat ke arahnya.
Pria paruh baya itu kembali menarik Anneta dari dekapan Ariel sebagai tanda tidak terima. "Enak aja. Yang ada, Ann bakal tinggal sama aku. Kamu itu bukan sosok Ibu yang baik buat dia!"
"Kurang ajar kamu! Kamu sendiri nggak becus jadi Ayah. Kamu nyari wanita lain di luar sana. Keterlaluan!"
"Brengsek!" teriak pria paruh baya itu. Dia mengepal tangannya kuat, memperlihatkan buku-buku jari dengan sangat jelas. Jika saja putrinya tidak ada di sini, mungkin ia sudah menunjukkan kemurkaannya kepada Ariel.
Ariel memalingkan wajah dari suaminya, "Ann, kamu sama Mami aja, ya?" ajak Ariel langsung.
Hati Anneta merasakan sensasi yang hebat ketika pertanyaan dan semua perkataan kasar itu tertangkap oleh kedua telinganya. Seakan ada batu besar yang menghantam dada, meninggalkan rasa sakit yang teramat dalam.
Anneta kecil itu melepaskan diri dari cegatan kedua orang tuanya dan memilih untuk pergi meninggalkan mereka, sekedar hanya untuk meluapkan tangis dan emosi. Hatinya terasa sangat perih, bagaikan tergores suatu benda yang sangat tajam. Gadis itu baru saja berjalan beberapa langkah dari rumah, dan mendapati sahabatnya sudah terlebih dahulu berdiri di depan pintu gerbang rumahnya.
"Ann? Ann nggak apa-apa?" tanya Amar yang berjalan langsung mendekat ke arahnya.
Anneta meraih tangan Amar, membawanya pergi dari rumah. Mungkin benar jika Amar bertanya-tanya. Ada apa dengan sahabatnya itu sekarang?
"Ann, diem dulu. Ann kenapa? Kok nangis?" tanya Amar menghentikan. "Orangtua lagi berantem?"
"Cerai," jawab Anneta singkat kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Amar terkaget. Cowok itu sontak membulatkan mata, "Maksudnya?!"
"Tadi Mami sama Papi sempet berantem, trus—" Ucapan Anneta terpotong.
"Ann!" teriak perempuan paruh baya itu.
Anneta tersentak, begitu juga dengan Amar ketika melihat perempuan paruh baya itu berjalan ke arah mereka dengan mata yang sembab.
"Ann, kamu ikut Mami. Kita pergi dari sini," ucap Ariel tergesa-gesa.
"Mak... Maksud Mami?"
"Kamu mulai sekarang bakal tinggal sama Mami di rumah baru. Bukan di sini lagi. Kita bakal pergi jauh dari kota ini dan nggak akan balik lagi." Ariel meraih tangan mungil putrinya kemudian membawanya pergi.
"Mi, tunggu!" Anneta melepaskan tangannya dari genggaman Ariel. "Kita mau ke mana? Dan kenapa?" Buliran air mata gadis itu tak sanggup untuk dibendungnya. Gadis kecil itu menoleh ke arah Amar.
"Jangan pergi Ann," lirih Amar sendu.
Ariel membalikkan tubuh, dihapusnya air mata itu kemudian menggenggam erat kedua pundak Anneta. "Sayang, Mami minta maaf. Tapi kita harus pergi dari sini. Kamu harus dengerin Mami, ini adalah jalan yang terbaik buat kamu."
"Ann nggak mau ninggalin Amar!" tegas Anneta langsung. Lengkaplah sudah kegelapan yang datang menyelimuti hidupnya sekarang. Di mana semua kenyataan pahit terjadi secara bersamaan.
Amar menahan buliran air matanya yang hendak keluar, ia melihat lurus ke arah gadis itu. "Ann," lirihnya.
"Ann sayang, dengerin Mami. Kita harus pergi. Kamu itu nggak tau kalau Papi kamu udah jahat sama Mami. Dia udah punya Mami baru trus mau ngusir Mami dari rumahnya. Dan," kata perempuan paruh baya itu seraya menghapus tetesan air mata yang jatuh begitu saja, "satu-satunya tempat di mana kita bisa tinggal adalah di rumah lama Mami."
Anneta melihat ke arah Amar, "Trus Amar gimana?"
"Amar bakal tetep di sini." Ariel mengelus rambut Amar, "Amar, Ann mau tante ajak pergi. Kamu yang baik ya di sini," ucap Ariel dengan sebisa mungkin mencoba untuk memperlihatkan senyuman manis ke arah Amar. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa Amar memang sangat dekat dengan Anneta, begitu juga dengannya. Ariel bahkan sudah menganggap Amar seperti anaknya sendiri. Lalu sekarang, mereka berdua mau tak mau harus berpisah dengan cowok itu. Walaupun mungkin sangatlah berat untuk dilalui.
Ariel kembali meraih tangan putrinya, lalu mengajak gadis itu pergi meninggalkan Amar. Hati Anneta terasa remuk seketika, kini ia harus dihadapkan dengan banyak masalah sekaligus.
Orangtuanya memutuskan bercerai.
Ibunya diusir dari rumah.
Kemudian ia harus pergi meninggalkan sahabatnya.
Jika ada yang bertanya tentang perasaannya saat ini, maka dengan lantang ia akan menjawab, 'SANGAT HANCUR!'
Entah bagaimana caranya untuk bisa hidup setelah hari ini. Satu hal yang ia tahu, bahwa goresan luka ini hanya akan terus membekas dalam sanubarinya. Beban yang dipikul semakin memberat, begitu juga kehancuran di hidupnya.
Dan mungkin, hanya waktu yang bisa menyembuhkan segala luka yang membekas dan juga berkarat di hatinya saat ini.