Begitu banyak hidup orang yang berubah lantaran sebuah pertemuan dan perpisahan. Tapi nyatanya, pertemuan dan perpisahan itu tak dapat dipisahkan. Kita tidak bisa menghindar dari apa yang sudah ditadirkan untuk kita temui, dan kita juga tidak bisa menghindar dari rasa sakit akibat perpisahan, karena perpisahan adalah konsekuensi dari perjumpaan.
•••
Tujuh tahun kemudian...
Seorang guru berusia sekitar tiga puluh tahun, berjalan bersama Anneta menuju kelas 11 IPA 2. Guru itu mengajak muridnya sedikit berbincang ringan agar dia tidak terlalu gugup. Tapi jika dilihat-lihat, gadis itu memiliki banyak sekali penggemar dalam waktu singkat. Apalagi para cowok yang sudah sangat gatal ingin berkenalan dengannya.
Guru itu tersenyum manis ketika melihat respon Anneta kepada cowok-cowok itu. Sangat sopan untuk menyapa kembali tanpa ada rasa gengsi ataupun bersikap dingin.
"Tenang, temen baru kamu, orangnya baik semua kok." Bu Risa berucap ramah.
Anneta mengangguk sopan seraya tersenyum. Gadis itu menghembuskan napasnya.
Sekolah baru, kelas baru, temen baru, batin Anneta dalam hati.
"Dia murid baru ya, Bu?" tanya seorang siswa girang.
Bu Risa tersenyum, "Iya."
"Woahh.."
"Asik!"
"Kelas mana, Bu?" tanya seorang cowok.
"IPS kan?"
"Sok tau lo, pasti IPA lah!"
"Aduh, calon bini gue!"
Bu Risa terkekeh mendengar ucapan murid-muridnya. Belum saja sampai di kelas, Anneta sudah diserbu oleh para cowok yang benar-benar terpukau akan dirinya.
Mungkin ini tidak seburuk yang Anneta pikir. Pertamanya ia berpikir bahwa tak ada seorang pun yang akan mau berteman dengannya. Tapi ternyata tidak. Semua orang sangat ramah dan seperti tak ada rasa sungkan untuk menyapanya.
Anneta tetap memasang senyuman manis di wajah. Gadis itu merasa sangat senang. Setidaknya rasa gugupnya bisa sedikit tertutupi. Tak lupa ia melemparkan pandangannya ke segala arah, melihat kondisi sekolah yang tak jauh dari kata sempurna. Begitu megah, bersih dan besar.
Hingga pandangannya terhenti pada satu titik.
Anneta melihat lurus ke arah seorang siswa yang sedang berjalan menuju ruang kelas seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana. Parasnya yang tampan, apalagi dengan tubuh idealnya, mampu membuat Anneta mau tak mau harus menyukai cowok itu diam-diam. Bagaimana tidak? Kaum perempuan manakah di dunia ini yang tak akan kagum ketika melihat lelaki tampan secara langsung?
Tapi ada satu hal yang mengganjal pikiran Anneta sekarang. Mengapa siswa ataupun siswi lain menghindar ketika merasa cowok itu berada dekat dengan mereka? Apa ada sesuatu yang salah darinya? Anneta menghentikan langkah sejenak.
"Kenapa berhenti, Ann?" tanya Bu Risa yang kini sedang melihat Anneta.
Anneta tersenyum kecil, kemudian menggelengkan kepalanya. Merasa penasaran, Bu Risa juga ikut melihat ke arah yang menjadi titik fokus anak muridnya, hanya sekedar untuk mencari tahu hal yang Anneta sedang lihat saat ini.
"Oohh.. Bara?" tanya Bu Risa.
"Bara?" Anneta bertanya memastikan.
Bu Risa mengangguk, "Iya. Cowok yang sedang jalan itu kan yang kamu liat?"
Anneta mengangguk, "Namanya Bara?" tanya Anneta sekali lagi.
"Iya, Bara itu emang ganteng. Kamu sekelas kok sama dia, dan dia duduknya sendiri. Mungkin nanti kamu bakal jadi temen duduknya. Jadi kamu bisa liatin dia sepuasnya deh," ucap Bu Risa menggoda.
Anneta tertawa kecil, "Hehe, bukan begitu Bu."
"Ibu harap, kamu bisa jadi temen baik buat Bara nantinya," ujar Bu Risa seraya berjalan menuntun Anneta ke kelas barunya.
Anneta menaikkan sebelah alis kebingungan, "Bara nggak punya temen di sekolah, Bu?"
"Dikit banget, bahkan bisa dihitung pakai tiga jari. Tapi cuman satu yang paling setia, namanya Dimas. Sisanya nggak ada yang mau temenan sama dia," sahut guru itu.
"Kenapa, Bu? Apa ada yang salah dari dia?"
Kini mereka telah sampai pada ambang pintu kelas. Bu Risa tersenyum manis ke arah Anneta, "Kita masuk dulu, ya?" ujarnya. Guru itu berujar sopan tanpa menjawab pertanyaan Anneta terlebih dahulu.
Anneta hanya mengangguk. Kemudian gadis itu masuk bersama dengan Bu Risa.
Suara bising yang memekak telinga, kini terdengar di berbagai penjuru. Hingga kelas yang semula ribut bagaikan pasar yang dipenuhi oleh emak-emak rempong itu seketika hening begitu saja saat Anneta menginjakkan kakinya masuk ke dalam.
Dapat Anneta lihat semua orang berdiri kaku menatapnya, tak ada gerakan, benar-benar seperti patung. Bahkan ada siswa yang menampar pipinya sendiri untuk memastikan dirinya tidak bermimpi.
"Gila cantik banget, anjir!" gumam Dimas sembari menelan ludahnya.
Bu Risa tersenyum, sudah ia duga respon anak muridnya pasti demikian. "Anak-anak, jadi mulai sekarang, kelas ini akan bertambah satu murid. Ann, silahkan memperkenalkan diri..." Senyuman lebar itu masih terpahat dalam wajah Bu Risa.
Entahlah, Anneta merasa sangat gugup saat ini. Diambilnya napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan.
"Nama saya Anneta Davishya Arishanti, tapi biasanya orang-orang sering manggil saya dengan sebutan Ann," ucap Anneta langsung. Lalu Anneta menarik kedua sudut bibirnya, dan tersenyum manis melihat ke seisi kelas.
Angga—si ketua kelas, hanya menelan salivanya. "Oh-my-God!"
"Mimpi apa gue semalem bisa sekelas sama malaikat cantik begini?" gumam Deva seraya menggelengkan kepalanya.
Kini Berta melihat ke arah Dimas, "Dimas, coba tampar gue. Gue mau mastiin kalau gue nggak lagi mimpi."
"Yakin?"
"Iya yakin," sahut Berta.
PLAAKK!!
"Aahh!! Sakit, anjir!!" gerutu Berta ke Dimas. Cowok itu meringis kesakitan, "Lo kenapa beneran nampar gue?"
"Lah, kan lo yang nyuruh! Ya gue sih, dengan senang hati membantu," balas Dimas jahil.
"Ya, nggak ditampar beneran juga kali!"
Dimas mengangkat sebelah alis kebingungan, "Mau lo apa sih, Ber? Lo sendiri yang minta ditampar, pas udah ditampar, malah nyalahin gue. Gimana sih lo?" Dimas menjitak kepala Berta pelan, "Minggir, gue mau liat cecan."
"Sudah, sudah. Jangan pada berantem," ucap Bu Risa menenangkan. Kemudian guru itu pun menoleh ke arah Anneta, "Ann, kamu duduknya sesuai kesepakatan kita tadi, ya? Duduknya sama Bara di sana," Bu Risa menunjuk ke sebuah bangku kosong yang di sebelahnya sudah ditempati oleh seorang pria.
Sudah Anneta duga, bahwa cowok itu pasti tidak peduli dengan keadaan yang sedang terjadi sekarang, apalagi dengan dirinya. Yang ada, cowok itu hanya sibuk mengerjakan sesuatu di beberapa lembar kertas dan sama sekali tak berkutik. Bara benar-benar tenggelam dalam dunianya sendiri, mengembalikan kehampaan yang datang menyelimuti segala lukanya.
Anneta berjalan, lalu duduk di sebelah Bara. Melihat cowok itu yang sama sekali tidak peduli, membuat Anneta merasa ragu untuk mengajaknya berbicara.
"Cie... Bara akhirnya punya temen duduk."
"Bar, ada temen baru, jangan dijudesin."
"Tau nih, udah dapet cewek cakep masih diem aja."
"Kira-kira Ann bakal betah nggak ya duduk sama cowok kaku kayak Bara?"
"Ann, awas ada patung!"
Anneta menghembuskan napasnya, gadis itu melirik ke arah Bara. "Hai!" Anneta mengulurkan tangannya untuk sekedar berkenalan dengan teman sebangkunya yang baru, "Kenalin, Ann."
Bara hanya melihat tangan itu menganjur ke arahnya. Cowok itu masih terdiam, bahkan sedikit menjauhkan badannya dari gadis itu.
"Yah Bara, nggak asik banget diajak kenalan!" ujar salah satu siswa.
"Tau nih, padahal Ann cakep loh!" sahut siswa lainnya.
"Ann, kalau nggak betah, duduknya sama gue aja. Sama pangeran ganteng." Berta berbicara dengan penuh percaya diri dan seketika semua murid bersorak tak setuju kemudian langsung melemparinya dengan gumpalan kertas yang telah diremas menjadi bola kecil.
Anneta menghembuskan napasnya. Melihat respon Bara yang demikian, membuat Anneta kebingungan. Pikirannya mulai merangkai banyak sekali pertanyaan. Ada apa dengan teman sebangkunya itu? Benar-benar tidak bisa diajak berbicara, dan tak bisa disentuh. Atau mungkin, cowok itu sedang merasa malu sekarang?
Tidak! Jika dilihat dari tampangnya, sama sekali tidak ada rasa malu ataupun gugup di dalamnya. Yang ada hanyalah wajah datar tanpa ekspresi. Aneh!
Anneta menghembuskan napas, menarik kembali tangannya yang berjabat sendiri, kemudian menyelukkan rambut ke belakang telinganya.
Dimas mendekat, kegugupan benar-benar terlihat jelas dari wajahnya. Sorot mata yang seakan tak bisa tenang, mampu dibaca oleh Anneta.
Dimas mengusap-usap telapak tangannya ke baju, kemudian meniup telapak tangan itu berkali-kali seakan menghilangkan debu yang mungkin masih tersisa.
Sama cewek cakep, harus bersih, batinnya.
"Kenalin, gue Dimas," ucap Dimas sembari mengulurkan tangannya.
Anneta tersenyum manis lalu membalas uluran tangan tersebut. "Hai, Dimas. Salam kenal, gue Ann."
Jantung Dimas berdenyut dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Sensasi lembut dan halus dari tangan yang sedang bersalaman dengannya sekarang, benar-benar membuat Dimas seakan kesusahan bernapas.
Melihat kegugupan di wajah Dimas, membuat Anneta tertawa kecil seraya menggelengkan kepalanya. "Udah santai aja kali... Nggak usah gugup gitu liatin guenya. Kita sekarang temenan, kan? Jadi, anggap gue sebagai temen lo," ucap Anneta tersenyum manis.
"O... Oke!" balas Dimas gugup.
"Lo duduk dimana?" tanya Anneta ke Dimas.
Dimas menepuk-nepuk bangkunya yang berada tepat di sebelah Anneta. "Di sini, di samping lo."
"Oohh.. Bagus dong. Deket," sahut Anneta.
Gadis itu kembali mengalihkan pandangannya ke arah Bara. Ia masih merasa penasaran. Apalagi ketika melihat cowok itu terdiam kaku tanpa banyak gerakan. "Denger-denger, nama lo Bara ya?" tanya Anneta yang berniat untuk memulai pembicaraan dengan teman sebangkunya.
"Oh iya." Dimas berdiri mendekat. "Dia ini temen gue, namanya Bara. Bar, ajak kenalan dong temen baru lo." Dimas menyolek lengan Bara seakan memberi kode untuk berkenalan.
Tapi tetap saja cowok itu tak berkutik sama sekali. Anneta menghembuskan napasnya, sekedar berusaha untuk tenang. Gadis itu kembali melirik wajah lelaki di sebelahnya. Harus ia akui bahwa Bara memang tampan. Tapi, untuk menghadapi lelaki dingin sepertinya memang memerlukan kesabaran.
Anneta menopang dagunya dengan sebelah tangan. Menatap lurus ke arah sepasang mata bundar dengan pupil berwarna coklat muda, yang sudah tentu tidak membalas kembali tatapannya. Mata itu bagaikan bersinar. Bersinar hingga melemahkan segala cahaya. Sepasang mata indah milik Bara, seakan tak asing baginya.
Aneh, entah kenapa gue ngerasa kayak nggak asing banget sama dia, batin Anneta dalam hati.
"Mmm, apa lo nggak mau ngomong sesuatu sama gue? Satu kata aja mungkin?" tanya Anneta langsung.
Bara hanya terdiam dan tak menjawab sepatah kata apa pun. Anneta mulai curiga, mungkinkah Bara menyimpan sesuatu dibalik kebungkamannya?
☁☁☁
Kringg.. Kringg...
Suara riuh siswa kembali terdengar dari segala penjuru ketika bel istirahat berbunyi. Anneta merapikan buku-bukunya yang berserakan di atas meja lalu memasukan segala peralatan ke dalam kolong bangku.
"Hai Ann, kenalin gue Zara," ucap Zara memperkenalkan diri.
Anneta tersenyum manis di kala gadis itu datang menghampirinya, "Hai Zar, salam kenal."
Perempuan itu membalas senyuman manis Anneta, "Mumpung udah istirahat, kita ke kantin bareng yuk?" Zara meraih tangan Anneta, "Ayo, sekalian kita keliling sekolah. Biar lo tau lebih dalam tentang sekolah ini."
Anneta mengangguk setuju. Diraihnya tupperware berwarna pink dari tasnya, kemudian berjalan meninggalkan kelas bersama Zara. Memiliki banyak teman baru membuat Anneta merasa senang berada di sekolah ini. Hanya saja pikirannya selalu terbayang akan cowok dingin dan misterius itu. Siapa lagi kalau bukan Bara?
"Gue yakin lo bakalan betah di sekolah ini. Ada banyak fasilitas yang pasti lo bakal dapet." Zara menunjuk ke sebuah ruangan, "Disana itu perpustakaan sekolah. Semua buku yang lo cari, pasti ada disana."
Anneta mengangguk paham, "Gede banget ya? Satu perpustakaan gedenya udah kayak satu rumah." Anneta terpukau, kemudian gadis itu mengalihkan pandangannya ke ruangan besar lainnya yang tak jauh dari tempat buku sekolah. Jika dilihat-lihat, sekolahnya ini memang sangat megah.
Sungguh, Anneta tidak pernah melihat sekolah semegah ini sebelumnya. Mungkin memang benar, siapa pun yang bersekolah di tempat seperti ini, pasti akan selalu merasa betah.
"Nah itu kantinnya," ucap Zara langsung. "Ayo!"
Kedua gadis itu berjalan menuju arah kantin. Tiba-tiba pandangan semua orang langsung tertuju pada Anneta. Apalagi para cowok yang langsung menganga heran ketika melihatnya. Bahkan ada yang sampai salah minum. Air lemon yang sebenarnya digunakan untuk membasuh tangan pun diminum karena pandangannya hanya terfokus pada Anneta.
Anneta dan Zara hendak berjalan menuju salah satu meja panjang di kantin. Anneta melihat ke sekeliling. Gadis itu terpukau dengan keadaan kantin yang benar-benar bisa dikategorikan sempurna.
Selangkah, dua langkah, tiga langkah...
Bruugghh...
Anneta menabrak tubuh seorang lelaki jangkung hingga membuat botol tupperware pink-nya, jatuh ke lantai.
"Oh maaf, gue nggak sengaja."
"Oh nggak, harusnya gue yang minta maaf. Gue nggak liat jalan tadi," ucap Anneta.
Keduanya berjongkok secara bersamaan untuk mengambil tupperware yang sudah tergeletak di lantai. Tangan mereka saling bersentuhan di kala itu. Keduanya kemudian saling bersitatap. Senyuman manis yang terpatri jelas di wajah lelaki itu, membuat Anneta merasa jatuh cinta seketika.
Hati Anneta kembali berdegup kencang. Apalagi di saat tatapan indah dari kedua bola mata berwarna coklat muda cerah dengan senyuman lebar di bibir pemuda itu, mengarah kepadanya. Inikah yang disebut jatuh cinta pada pandangan pertama?
Satu detik, dua detik ... lima detik, Anneta merasa ada sesuatu yang tak asing. Jika dilihat-lihat kembali, wajah lelaki di depannya itu sekilas mirip sekali dengan ... Amar.
"Amar?" gumam Anneta dengan suara yang benar-benar kecil. Jantungnya serasa berdebar kencang. Begitu juga dengan tubuhnya yang bergemetar gugup seketika.
Cowok itu meraih botol minum Anneta. "Oh iya, ini botol minum lo. Gue minta maaf sekali lagi," ujarnya dengan suara yang selembut kapas.
Kini ia semakin percaya bahwa lelaki itu adalah sahabat masa kecilnya. Suara yang selembut kapas dengan tingkah laku yang sangat sopan, benar-benar mencerminkan sosok Amar di matanya.
Pemuda itu tersenyum, "Lo murid baru ya? Kenalin, gue Keenan," ucap Keenan memperkenalkan diri.
Tunggu! Keenan? Apa dirinya tidak salah dengar? Anneta sangat yakin bahwa lelaki di depannya itu adalah Amar—sosok sahabat yang sangat ia rindukan selama ini.
"Keenan?" tanya Anneta memastikan. Rasanya ia tidak percaya dengan ini semua.
Keenan mengangguk, "Salam kenal ya."
Terjadi jeda beberapa detik. Dahi Anneta mengerut seketika. Ia seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar saat ini.
Jika cowok itu memang bukan Amar, mengapa wajahnya bisa sangat mirip? Satu lagi, kelakuannya benar-benar mencerminkan sosok Amar. Atau mungkin saja pemuda itu memang bukan Amar? Karena setahunya, Amar telah pergi jauh dari hidupnya ketika sempat berpisah saat itu.
Bukan Amar ternyata. Tapi kenapa mirip banget? Atau rasa rindu gue ke Amar yang bikin gue berhalusinasi kalau Keenan adalah Amar? pikir Anneta.
Keenan menampakan senyum di wajahnya, "Gue denger dari temen yang lain, nama lo Anneta ya? Dari kelas IPA 2, kan? Kebetulan kelas kita tetanggaan. Gue ada di kelas IPA 1," ucap Keenan dengan lembut.
Anneta membalas senyuman cowok itu, "Oohh.. Bagus deh, deket."
"Seneng bisa kenalan sama lo, Ann," ucap Keenan sembari menatap kedua bola mata Anneta. Harus ia akui bahwa Anneta memang benar-benar cantik. Bahkan untuk berbicara langsung sedekat ini bisa membuatnya gugup.
"Mmm, gue ke kelas duluan ya?" Keenan menunjuk arah kelas menggunakan jempolnya.
Anneta mengangguk, "Iya, sampai nanti."
Keenan melambaikan tangannya ke arah Anneta kemudian pergi menjauh dari kantin. Jujur saja, ia benar-benar merasa canggung. Seperti terbius sesuatu yang dapat membuatnya candu seketika.
Anneta dan Zara kembali berjalan menuju meja panjang di kantin. Ada rasa yang terus-menerus berdebar di hati Anneta. Apalagi ketika senyuman Keenan itu melintas dan menyapa kepalanya kembali.
"Oh-my-God Ann, lo tau nggak? Barusan yang lo ajak papasan itu, gebetan gue," ucap Zara girang.
"Oh ya?" tanya Anneta.
Zara mengangguk semangat. "Sumpah, gue gugup banget tadi. Untung lo yang diajak tubrukan. Kalau gue, udah pasti gemeteran nggak jelas disana." Zara menggelengkan samar. Gadis itu mengembungkan pipinya untuk menghembuskan napas sejenak.
Anneta dan Zara duduk. Mereka mengambil buku menu di atas meja, kemudian membukanya.
"Gue mesen pancake aja deh," ucap Zara.
Anneta menghembuskan napas ketika melihat menu kantin yang sejujurnya sangat mewah untuk ukuran sekolah. Ia merasa dirinya bukan lagi berada dalam sekolah, melainkan berada di sebuah restoran besar. Tapi untungnya, harga makanan di kantin tersebut masih dalam ukuran standar untuk kantong anak SMA sepertinya. Harganya juga terjangkau seperti kantin-kantin biasa, berkisaran dari harga seribu hingga dua puluh ribu rupiah. Bukankah suatu kenikmatan bisa mendapat sekolah seperti ini?
"Gue mesen roti panggang aja deh," ujar Anneta setelah membolak-balik menu kantin tersebut.
"Oke, gue pesenin. Lo tunggu disini." Zara berdiri lalu pergi memesan. Anneta meletakkan kedua tangan di bawah dagu. Wajah Keenan yang sangat mirip dengan Amar, menghiasi kepalanya. Seakan tak bisa lepas.
Tak butuh waktu lama, Zara kembali menghampiri Anneta kemudian duduk di sebelahnya.
"Udah gue pesenin," ujar Zara.
Anneta mengangguk, kemudian ia terdiam sejenak. Rasa penasarannya terhadap Bara kembali muncul dan datang ke kepalanya begitu saja. Ada sesuatu dalam diri cowok itu yang membuat Anneta bertanya-tanya dan tak mau berhenti untuk mengetahui tentangnya lebih dalam. Barangkali Zara tahu sesuatu tentangnya dan bersedia untuk memberitahu Anneta.
"Zar," kata Anneta.
Zara mengangkat alisnya sebagai tanda bertanya, "Iya Ann?"
"Gue mau tau sesuatu tentang Bara."
Zara menghela napas panjang, "Lo pasti ngerasa ada yang aneh sama dia, kan?" tanya Zara.
Anneta mengangkat kedua bahunya, "Entahlah ... mungkin?"
"Bara itu orangnya emang misterius. Dia jarang banget ngomong. Setau gue, dia itu tuli."
"Tuli? Nggak bisa denger?" tanya Anneta memastikan.
"Iya. Dia nggak pernah nyahut kalau orang ngomong ataupun berinteraksi sama dia. Cuman Dimas satu-satunya orang yang selalu setia sama Bara."
Anneta mengangkat kedua alisnya, "Trus, kok bisa dia sekolah di sini? Kenapa nggak di SLB? Kalau mau nyampaiin sesuatu, gimana? Kalau jawab pertanyaan guru, gimana?"
"Entahlah, gue nggak tau kenapa dia sekolah di sekolah umum kayak kita. Banyak orang yang berasumsi kalau Bara itu selalu ngeliat gerak bibir lawan bicaranya. Makanya dia tau apa yang orang itu ucapin. Dia mahir kok setau gue. Mungkin itu juga alasan dia bisa sekolah di sini. Karena dia masih bisa ngerti apa yang orang lain ucapin dan bisa ngomong juga kayak orang biasa."
Pantesan, dari tadi gue ngomong nggak dibales. Ternyata dia tuli, batin Anneta.
"Tapi dia bisa ngomong kan?" tanya Anneta kembali.
"Bisa. Bara sekilas emang kayak orang normal," balas Zara.
Anneta mengangguk paham, "Dia tuli dari lahir ya?" tanya Anneta.
"Katanya sih dulu dia pernah kecelakaan. Trus Bara hilang ingatan dan orang lain bilang alat pendengarannya rusak," balas Zara. "Soalnya pas hilang ingatan itu, Bara nggak pernah nyahut omongan orang."
Kasian, batin Anneta dalam hati.
"Trus, kenapa murid lainnya malah menghindar dari dia? Apa karena dia tuli?"
Zara menggeleng, "Nggak deh kayaknya. Mereka itu ngejauh dari Bara karena bagi mereka, Bara itu anak aneh, dingin, dan misterius gitu."
Anneta terdiam sejenak, kemudian gadis itu menghembuskan napasnya. "Entah kenapa gue ngerasa ada sesuatu yang nggak beres sama Bara. Kayak ada sesuatu yang dia coba sembunyiin dari kita semua. Mungkin nggak sih, dia bersikap cuek dan dingin kayak gini karena ada alasannya?"
Zara terdiam ketika kalimat itu diucapkan Anneta. Mungkin saja apa yang diucapkan Anneta ada benarnya.
Apa mungkin Bara menyembunyikan sesuatu dibalik keanehan dan kemisteriusannya?