Begitu Naraya keluar dari dalam mobil, ia segera di sambut oleh nenek Asha yang segera membawanya masuk ke dalam rumah, sementara Liam mengikuti dua wanita tersebut dari belakang.
Seandainya saja Naraya bisa melihat betapa megahnya rumah yang ia masuki, dia akan berdecak kagum tanpa henti melihat keseluruhan arsitektur tempat ini.
Sayangnya, Naraya hanya bisa melewatinya saja tanpa menikmati pemandangan yang terhampar di depan matanya yang tak lagi dapat menangkap rupa.
Naraya merasa kalau ia telah berjalan cukup lama, barulah mereka sampai ke ruang makan. Nenek Naraya membantunya untuk duduk di sebelah Liam sementara ia mengambil tempat duduk di sebelah kanan Naraya.
Barata Prihadi kemudian datang dengan putra semata wayangnya, Narendra dan isterinya Amira.
Sementara Barata Prihadi mengambil kursi di hadapan di ujung meja makan, Narendra dan Amira duduk berdampingan di sebelah kirinya, berhadapan langsung dengan Naraya dan Liam.
"Naraya apa kabar?" Tanya Barata tanpa terlalu mengharapkan jawaban dari Naraya.
Pria tua ini masih tidak setuju dengan pernikahan Liam dan Naraya, tapi janji adalah janji dan ia sebagai kepala keluarga Prihadi, tidak akan mundur dengan kata- katanya.
Hanya saja, memiliki menantu dengan kekurangan fisik bukanlah hal yang membanggakan baginya. Naraya adalah aib keluarga Prihadi.
Terlepas dari apa yang Barata pikirkan mengenai Naraya, gadis itu sama sekali tidak tahu menahu mengenai hal tersebut dan tetap tersenyum manis saat ia menjawab pertanyaan Barata.
"Kabar baik… mmh. Pak…?" Naraya tidak yakin bagaimana harus memanggil Barata. Dari suaranya yang berat karena usia, Naraya tahu kalau Barata adalah kakek Liam.
"Kok, pak?" Nenek Asha yang duduk di samping Naraya menepuk tangannya dengan pelan. "Panggil kakek." Ujarnya memberitahu Naraya.
Kalau Naraya memanggilnya nenek, sudah pasti Naraya harus memanggil suami Asha sebagai kakek.
"Kabar baik, kek. Kakek bagaimana kabarnya?" Tanya Naraya dengan antusias. Sepertinya keluarga ini tidak semenakutkan seperti yang Naraya bayangkan.
"Baik." Barata menjawab Naraya sekedarnya sebelum memberi aba- aba pada pelayan di sekitar mereka untuk segera membawakan sajian makan malam yang telah di siapkan.
Liam sudah memberitahu Naraya untuk tidak mengatakan kalau ia selama ini tinggal di apartmentnya karena Liam tidak mau menjawab dan menjelaskan hal tersebut pada Nenek Asha dan kakeknya.
Naraya mengerti dengan baik, dia pun tidak ingin kalau ada orang lain yang tahu mengenai kejadian memalukan malam itu dan pandangan mereka mungkin akan berubah buruk kalau mereka tahu Naraya telah tinggal satu atap dengan Liam.
Walaupun tidak terjadi apapun.
Acara makan malam itu berlangsung lancar karena nenek Asha yang pintar mencairkan suasana dan membuat Naraya nyaman dengannya, mengurangi rasa gugup gadis itu juga.
Selama makan malam tersebut, Liam lebih sering untuk diam dan membantu Naraya dengan makanannya, menunjukkan hubungan yang harmonis di antara keduanya.
Hal ini tentu saja membuat Amira geram. Ia memilih Naraya untuk Liam agar anak tirinya tersebut dapat merasakan rasa malu dan amarah setiap kali ia melihat pasangannya.
Sama seperti yang Amira rasakan setiap kali ia melihat Liam dan teringat pengkhianatan suaminya.
Sangat tidak adil rasanya kalau saat ini Liam bersenang- senang dengan keberadaan Naraya.
Sepanjang makan malam itu, Amira terus memikirkan cara agar ia dapat menjatuhkan Liam, membuatnya menderita. Membuat seluruh keluarga ini menderita.
Amira sudah gila? Ya, dia sudah muakk dengan kehidupannya sebagai nyonya Prihadi.
Prihadi bukan lagi sebuah keluarga, tapi hanya sekelompok orang yang di satukan dengan pertalian darah dan urusan bisnis.
Sedingin dan seburuk itulah kebobrokan keluarga Prihadi, dan itu masih belum seberapa kalau di bandingkan dengan skandal- skandal di dalamnya yang tidak terkatakan.
Selesai makan malam, nenek Asha menyarankan agar Liam mengajak Naraya untuk berjalan- jalan di taman mereka.
Sebetulnya Liam ingin segera pulang, tapi nenek Asha menahannya sedikit lebih lama dan meminta Liam untuk membawa Naraya berkeliling agar supaya gadis itu dapat setidaknya mengingat letak ruang di rumah mereka ini dan tidak tersesat saat ia pada akhirnya tinggal di sini.
Udara malam yang agak sedikit dingin justru terasa segar saat menerpa wajah Naraya. Rambutnya yang panjang terbang kesana kemari dan Naraya kesulitan mengaturnya.
"Memangnya kamu tidak punya ikat rambut?" Tanya Liam sebal ketika melihat Naraya kerepotan dengan helaian- helaian rambutnya.
Bukan hanya Naraya, bahkan Liam sampai harus bergerak menjauh karena rambut Naraya menggelitik kulitnya.
"Aku tidak bawa. Aku tidak terpikirkan untuk membawanya karena kupikir kita tidak akan berjalan- jalan di luar seperti ini." Gerutu Naraya yang juga mulai kesal.
"Kemari." Liam melambaikan tangannya, tapi seketika itu juga sadar, maka dialah yang bergerak menghampiri Naraya. "Angkat rambutmu." Perintahnya.
Walaupun bingung, Naraya menuruti permintaan Liam dan mengangkat rambutnya tinggi- tinggi ke atas kepalanya.
Saat itulah ia merasa Liam mengikatkan sesuatu agar rambutnya tidak beterbangan tertiup angin.
"Kamu membawa ikat rambut?" Naraya bertanya dengan bingung. Sebagai pria, untuk apa Liam membawa ikat rambut?
"Tentu saja tidak." Liam mengetuk pelan kepala Naraya setelah selesai mengikatkan dasinya ke rambut Naraya.
Ya, Liam menggunakan dasinya.
"Lalu ini apa?" Naraya meraba kepalanya dan merasakan kain panjang yang melilit di sana.
"Sepertinya kita harus kembali, anginnya semakin kencang." Ucap Liam sambil menarik tangan Naraya menuju rumah.
"Liam." Panggil Naraya saat ia mengikuti langkah Liam, merasakan tangan pria itu di sekitar pergelangan tangannya yang menggenggamnya erat. "Kenapa aku?"
"Hm?" Liam memperlambat langkahnya, tanpa Naraya menjelaskan dengan lebih detail pun Liam mengetahui apa yang Naraya maksudkan.
"Aku bahkan tidak mengenalmu ataupun keluarga Prihadi sebelum hari itu…" Gumam Naraya.
Liam mengerutkan dahinya, pikirannya terbagi antara; apakah ia harus memberitahukan garis besar permasalahan di keluarga Prihadi atau dia biarkan saja gadis ini tidak mengetahui apapun mengenai kebobrokan keluarga ini.
"Ada perjanjian di antara aku dan Amira Prihadi." Jawab Liam yang pada akhirnya memilih opsi pertama. "Dan perjanjian itu mengharuskan aku untuk menikahi siapapun gadis pilihan Amira."
"Ibu mu?" Naraya bertanya dengan tidak percaya, dia memang telah mendengar kalau Liam dan Amira tidak berada dalam hubungan yang baik. "Tapi, aku pun tidak mengenal ibumu, jadi kenapa beliau memilihku?"
"Entahlah." Liam mengangkat bahunya. "Tanyakan saja padanya." Langkah Naraya terhenti ketika Liam tiba- tiba menghentikan langkahnya dan mematung. "Kenapa tidak kau jawab? Kenapa kau memilih dia?"
Liam menatap lurus pada sosok yang menghampirinya.
Dihadapan mereka berdua, Amira Prihadi berjalan perlahan menghampiri mereka, seulas senyum yang elegan terpancar dari wajahnya.
"Aku merasa sepertinya kalian sedang membicarakanku…" Amira bertanya sambil mengamati Naraya yang terlihat begitu nyaman berada di dekat Liam.
Bukan sikap nyaman seperti ini yang sebenarnya di inginkan oleh Amira!
"Tentu saja kami membicarakanmu." Liam membalas senyum Amira. "Karena, biar bagaimanapun juga, ibulah sosok yang paling berjasa dalam mempertemukanku dengan Naraya."
Bukan hanya Amira, bahkan Naraya sekalipun menoleh ke arah sosok yang telah melontarkan kata- kata gombal yang sangat tidak cocok dengannya.