webnovel

LAKUNA; ruang kosong, bagian yang hilang

Warning! +21 mengandung konten dewasa dan kekerasan, harap bijak dalam memilih bacaan. Liam Sadawira Prihadi Yang orang lain lihat dari dirinya: Seorang pengusaha muda dan sukses berusia 31 tahun yang ditakuti kawan maupun lawan bisnisnya. Yang orang lain tidak ketahui dari dirinya: Merupakan anak hasil perselingkuhan Ayahnya, Narendra dengan wanita dari club malam, menjadi penerus bisnis keluarga Prihadi karena istri sah Narendra tidak bisa memberikan keturunan. Naraya Neena Paradina Yang orang lain lihat dari dirinya: Seorang wanita muda berusia 17 tahun yang kehilangan penghlihatannya. Yang orang lain tidak ketahui dari dirinya: Naraya kehilangan penglihatannya bersamaan dengan ayah dan ibunya karena kecelakaan 10 tahun lalu. ************** Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah pernikahan yang tidak diinginkan keduanya. Bagaimana Naraya menghadapi sikap dingin Liam pada dirinya? Belum lagi dengan kehadiran Gayatri, cinta pertama Liam, yang menambah rumit keadaan. Bagaimana sikap Liam saat ia mengetahui bahwa dirinyalah pelaku penabrakan yang telah membuat Naraya kehilangan penghlihatannya dan kedua orang tuanya? ************** “Pernikahan ini hanya akan berlangsung selama setahun, lalu kamu akan mendapatkan 15% saham dari perusahaan keluarga Prihadi.” Liam meletakkan MOU tersebut ke pangkuan Naraya. “Kamu bisa meminta Raka, assistant pribadiku untuk membacakannya.” Naraya terdiam, ia berusaha agar airmatanya tidak jatuh menanggapi sikap dingin Liam. “Tidak perlu.” Sergahnya. “Aku akan langsung menandatanganinya.” ************** Updated schedule: 2 chapters/hari. jam: 13.00 wib & 16.00 wib. ************** Meet me on instagram: Jikan_yo_tomare (let’s have a chat! ((^O^))

jikanyotomare · Fantasy
Not enough ratings
78 Chs

PUJIAN LIAM

"Kenapa sih, sulit sekali untukmu menjawab panggilanku?" Tanya Naraya sambil bersungut- sungut. Dia tidak mengerti mengapa Liam kadang begitu malas untuk berbicara, namun sekalinya berkata- kata, dia akan marah- marah atau, membuat Naraya marah…

Dia tidak habis pikir dengan pria satu ini.

Di sisi lain, Liam melihat wajah cerah Naraya ketika menyambutnya berubah menjadi murung ketika dia menolak untuk menajawab panggilannya.

Apakah sepenting itu untuk menjawab panggilannya? Bukankah jawabannya sudah jelas? Siapa lagi yang akan masuk sesukanya ke dalam apartment ini?

Tapi, ya sudahlah…

Liam tidak ingin pertemuan pertemuan pertama mereka setelah seminggu di awali dengan perdebatan konyol ini.

"Iya, ini aku." Jawab Liam akhirnya sambil menyerahkan bungkusan di tangannya ke Naraya. "Ganti baju cepat, kita akan makan malam di rumah utama." Liam melempar tasnya dan duduk di sofa.

Ia lelah, setelah meeting seharian dan merencanakan aksinya untuk mempermalukan Amira dengan video Angga, karena setelah itu, Liam juga terkena imbasnya.

Walaupun tidak sememalukan yang Amira alami.

Entah berapa lama Liam menutup matanya, karena hal pertama yang ia sadari adalah Naraya tengah menggoyangkan bahunya, seolah membangunkan orang yang tengah tertidur.

"Minum dulu." Kata Naraya sambil menyodorkan segelas air putih dingin pada Liam.

Dengan dahi berkerut Liam menerimanya dan langsung menenggak habis air tersebut. Air dingin itu menjalar di tenggorokannyan yang kering dan member rasa segar pada otaknya yang penat.

"Terimakasih." Ucap Naraya dengan nada sarkastik. "Kalau orang berbuat baik padamu, kamu harus mengucapkan terimakasih."

Liam memutar bola matanya dengan tidak percaya, padahal dia sudah menahan diri untuk tidak berkomentar apa- apa untuk menghindari perdebatan seperti ini.

Namun kemudian Naraya melanjutkan.

"Tapi, kalau salah. Kita juga harus minta maaf." Kata- kata Naraya ini hampir membuat Liam buka suara ketika dia menambahkan. "Aku minta maaf. Aku minta maaf kalau kata- kataku seminggu yang lalu menyakitimu."

Mendengar hal ini, dahi Liam justru berkerut. "Kata- kata yang mana?" Dia bahkan sudah tidak mengingat detail pertengkaran mereka seminggu yang lalu.

"Yang aku bilang, masa lalu mu tidak baik." Jawab Naraya dengan lugas. "Apakah karena itu kamu tidak pulang selama seminggu ini? Aku minta maaf kalau memang itu adalah alasannya."

Naraya merasa tidak enak saat sang pemilik rumah harus tidak pulang hanya karena untuk menghindari bertemu dengannya.

Di lain pihak, Liam hampir saja tertawa mendengar jawaban Naraya. Kalau dia sampai terluka hanya karena kata- kata seperti itu, bagaimana mungkin dia bisa memimpin Prihadi Corp di bawah kekuasaannya?

Dan lagi, bukankah itu menjadi suatu ironi bagi Liam sendiri?

Dimana Naraya meminta maaf hanya karena telah mengatakan hal sepele dan merasa bersalah karena hal tersebut, di sisi lain, Liam telah mengatakan kata- kata yang jauh lebih menyakitkan daripada itu dan sama sekali tidak merasa bersalah.

Sebut saja ketika dia mengajukan kontrak dan berkata secara terang- terangan kalau dia akan membawa wanita lain ke dalam rumah mereka.

Apakah Naraya sedang bercanda dengannya? Atau dia sedang mengejeknya?

Liam tidak perlu mencari tahu lebih dalam, karena jawabannya tertera dalam ekspressi Naraya saat ini.

Gadis ini tulus meminta maaf dan Liam tidak bisa berkata apa- apa untuk menanggapi 'maaf'nya.

"Thanks buat minumannya." Ucap Liam sekedarnya. "Kamu tahu kalau aku haus." Daripada melanjutkan topic permintaan maaf Naraya, dia mengatakan hal lain.

"Oh, ini kebiasaan." Jawab Naraya kembali ceria. "Aku biasa membawakan air putih dingin untuk kakek ketika beliau pulang kerja."

"Jadi, kali ini kamu menyamakan aku dengan kakekmu?" Liam memberikan gelas kosong di tangannya ke Naraya.

"Tidak." Naraya menggelengkan kepalanya sambil memegang gelas kosong tersebut. "Tapi, kan kalian sama- sama baru pulang kerja."

"Hentikan topik mengenai kakekmu ini dan cepat ganti baju atau kita akan terlambat untuk makan malam. Aku sudah lapar." Liam mengibaskan tangannya pada Naraya.

"Oh, okay!" Jawab Naraya dengan senyum manis menghiasi bibirnya yang mungil.

# # #

"Liam… nanti akan ada siapa saja disana?" Tanya Naraya saat Liam memasangkan seat bealt ke tubuhnya, memastikan dia aman. "Apakah seluruh keluargamu ada di sana?"

Liam sengaja menyuruh Raka untuk mencari pakaian yang pantas untuk dikenakan Naraya untuk acara makan mala mini, dan selera assistant pribadinya itu sepertinya tidak terlalu buruk.

Saat ini, Naraya mengenakan midi dress berwarna kuning yang sangat kontras dengan rambut panjangnya yang hitam, pakaian tersebut tidak terlalu terbuka tapi, dapat menunjukkan lekuk tubuh Naraya yang Liam rasa terlalu kurus.

Melihat jemari Naraya yang begitu rapuh, Liam merasa dia dapat meremukkan jari- jarinya tersebut dengan begitu mudah.

"Iya." Jawab Liam singkat sambil menghidupkan mesin mobilnya.

"Berarti nenek Asha juga ada?" Naraya kembali bertanya.

"Iya." Liam memundurkan mobilnya untuk keluar dari parkiran.

"Tapi nanti aku akan kesulitan untuk makan kalau menu yang kalian buat sama seperti di restaurant tempo hari." Naraya berpikir, mereka pasti akan makan besar karena pada saat ini, hampir seluruh keluarga akan berkumpul.

Kalau boleh jujur, sebenarnya Naraya sangat gugup.

"Berhenti berbicara, aku pusing." Gerutu Liam.

"Sudah seminggu ini aku tidak memiliki teman untuk ngobrol." Naraya mengaku dengan jujur.

"Kamu pikir aku temanmu ngobrol? Kamu tidak ingat setiap kali kita selalu berdebat?" Liam melirik Narya disebelahnya.

"Tapi, menurutku itu lebih baik daripada hanya diam saja. Sehari dua hari tidak masalah, tapi kamu tidak pulang sama sekali selama seminggu penuh, aku jadi tidak bisa bicara… tidak mungkinkan kalau aku bicara sendiri." Naraya memberengut.

Dia bisa saja menelepon Raka, tapi takut mengganggu pekerjaannya, sementara kalau menelepon Liam, Naraya lebih takut dimarahi olehnya. Kalau Raka yang assistant saja sudah sibuk apalagi Liam?

"Ya sudah, apa yang kamu mau bicarakan?" Liam mengalah karena ada rasa kasihan pada Naraya, walaupun itu hanyalah setitik kecil di sudut haitinya, dan mengecilkan volume radio, dia memang terbiasa mendengarkan radio saat mengendarai mobil.

"Mm…" Naraya berpikir topik apa yang ingin ia bicarakan dengan Liam, mumpung dia sedang baik hati dan tidak marah- marah. "Oh, aku mendapat nilai baik dari semua mata pelajaran yang di ajarkan oleh Ibu Kabita." Ibu Kabita adalah guru homeschooling Naraya.

"Bagus." Puji Liam tanpa benar- benar bermaksud mengatakannya.

"Dia bilang aku pintar."

"Hm."

"Tapi, aku rasa aku jenius."

"…"

Entah darimana datangnya rasa percaya diri Naraya yang begitu besar hingga ia memuji dirinya sendiri sebagai jenius. Liam hanya melirik gadis itu yang tengah tertawa lucu.

"Kamu tidak mau memujiku?" Tanya Naraya, menggeser tubuhnya hingga ia menghadap Liam.

"Kan aku sudah bilang kalau kamu pintar." Liam protes.

"Biasanya nenek akan memujiku sambil mengusap kepalaku." Naraya memberitahu Liam dengan penuh harap.

"Tidak bisakah kamu melihat kalau aku sedang menyetir?" Kata- kata itu terlontar begitu saja dari bibirnya dan kali ini Liam sama sekali tidak berniat untuk menyakiti Naraya dengan kalimatnya.

"Tidak bisakah kamu mengingat kalau aku ini buta?" Sahut Naraya, tapi tidak ada nada marah dalam suaranya.

Kemudian dengan hembusan nafas yang berat, Liam mengulurkan tangannya dan mengusap kepala Naraya dengan lembut. "Pintar."