webnovel

LADUREE

Kisah perempuan jutek, judes, keras kepala, introvert, namun memiliki hati yang pure. Selain jones di usia 36 tahun, Ree juga seorang halu akan lelaki yang menurutnya 'perfect' untuk dijadikan pasangan atau untuk sekadar dipandang mata. Gagal membangun karir kantoran, membina hubungan asmara, belum lanjut kuliah master, hingga berdagang konvensional dan multi level marketing, menjadi pengiring sejarah hidup seorang Ree yang bertipikal pantang menyerah. Namun, Ree harus terlibat cinta lokasi saat kembali ke dunia perkantoran yang pernah digelutinya. Kisah asmara yang dibungkus cekcok dunia perkantoran dibalut luka batin, yang baru Ree ketahui bahwa dia lahir dari seorang toxic mother. Apakah Ree mampu menyembuhkan dirinya dari tekanan mental akibat ulah sang ibu? Bagaimana pula akhir dari kisah cintanya?

MetroWoman · Urbano
Classificações insuficientes
125 Chs

Kenapa dia kepo?

Aku tidak percaya apa yang kulihat. Raut wajahnya sangat tidak enak melihatku dan Mas Romi sedang menatap layar monitor. Ah, ya, aku lupa. Ini ruangannya, wajar saja dia tidak suka ada orang lain 'berduaan' sampai rasanya bukan lagi ingin mengusir, tapi memaki.

"Semuanya sudah selesai, Pak Romi. Kalau ada tambahan akan saya kabari."

Begitu ucapannya ketika berjalan masuk ke ruangan. Mas Romi terkejut dan langsung merasa tidak enak dan serba salah, apalagi air muka Si Bos seperti cemberut. Aku dan Mas Romi saling tatap, berbicara melalui kontak mata kenapa dia? dengan curi-curi tatap.

"Baik, Pak. Saya permisi."

Mas Romi undur diri dengan tangan kosong, tidak mendapat jawaban atau pun membawa kembali paper bag tadi. Aku membalas anggukannya pertanda izin pamit. Sudahlah, aku tidak berbuat yang aneh-aneh di dalam ruangan. No worry for that.

 "Kita pergi sekarang!"

"Kemana, Pak?"

Dia menatapku tajam.

"Ke kantor pak Dian."

Loh, bukannya jam 11 berangkat ke sana? Ini baru jam 9.10 menit. Aku melihatnya berdiri dan bersiap dengan notebook yang terselip pena di dalamnya. Kebiasaannya seperti itu –kata Fany.

Hah, Rais Darmawan tidak ubahnya judul lagu Peterpan yang mengguncang tanah air Indonesia pada masanya. Aku melihat ke arah Si Bos yang sudah berjalan keluar ruangan dengan tegas meninggalkanku yang terbodoh-bodoh karena kebingungan.

Aku segera keluar dan berjalan cepat setelah menutup pintu ruangan. Kalau seseorang sedang marah bukan hal yang mengherankan melihat mereka meninggalkan kita sendirian di belakang, kan? Tapi, kalau saat berlari mengejarnya ternyata melihat mereka menunggu kita di depan pintu lift?

Entah tegangan berapa Volta menyengatnya, tapi itulah yang dilakukan seorang Rais Darmawan. Hoh, bukankah itu satu hal yang diidamkan semua orang, terutama perempuan? Apa lagi kalau yang menunggunya adalah lelaki, bukankah itu sangat romantis?

Dia berdiri di sana sambil scrolling layar ponsel yang aku yakin dia tidak sedang serius dengan itu. Hanya membuang waktu sampai pintu lift terbuka.

Ting

Dia menyuruhku masuk. Lady first.

Baiklah, aku pun mengikuti perintahnya dengan sungkan. Mengambil posisi berdiri di pinggir kiri, dan dia di sebelah kanan menekan tombol angka satu – lantai dasar. Jarak lantai tiga ke lantai satu tidak jauh, karena gedung ini tidak terlalu tinggi sebenarnya. Tapi, aku tidak tahu kenapa lift ini terasa sangat lamban bergerak. Apakah kotak ini rusak atau waktu yang sedang macet? Atmosfer di dalam kotak besi ini terasa dingin. 

(Hening).

Pandangan mataku hanya mengarah ke bawah, tidak menatap sepatuku yang berwarna cokelat muda, tidak juga menatap tas yang kupegang. Tatapanku jatuh ke pantulan besi bagian bawah, menerawang, hingga terangkat memandang lurus pantulanku di besi kotak. Sekali lagi, aku merasa ada yang aneh di dalam kotak ini. Dari pandanganku yang lurus, aku seperti menangkap sosok di kananku sedang melihatku melalui pantulan besi.

Tanpa sadar, mataku menatapnya melalui pantulan serupa. Astaga, mata kami bersitatap!

Detik itu juga kualihkan pandangan mataku yang disertai dengan debaran jantung yang tiba-tiba mengencang. I can't believe it! Apa yang terjadi di dalam kotak besi ini?

Ting.

Aku segera keluar tanpa dipersilakan olehnya. Sepanjang jalan berusaha menormalkan detak jantung dan muka yang gugup supaya tidak terlihat oleh orang-orang. Bersikap wajar. Langkahku berhenti di depan pintu setelah keluar tiga langkah.

"Tunggu di sini, saya akan ambil mobil."

Entah apa yang merasukinya sampai dia membuatku bengong dua kali pagi ini. Kali pertama selama bekerja, terkena imbas seorang Rais yang uring-uringan. Atau, dia sedang ingin mantap-mantap? Ups! Tadi pagi dia baik-baik saja.

Ponselku berbunyi dari chatingan grup kantor, aku tidak peduli. Tapi, saat mataku melirik ke notifikasi pesan masuk di layar ponsel dari Noni, aku penasaran.

[Lekong si Tia kena karma! Buahahaha ….]

Ha? Apa lagi ini? Kenapa seperti tidak selesai-selesai? Aku saja sudah bekerja selama tiga bulan, tapi pembahasan masih saja topik yang sama. Dahiku pun ikut berpikir.

[Memangnya kenapa mantan laki Tia?]

Pesan yang kukirim sebelum berjalan menuju mobil yang telah berhenti di depanku. Sekilas kulihat Rais menungguku sambil bermain ponsel. Ups, tunggu! Kenapa barusan aku memanggilnya Rais? Ah, apa lagi ini Laduree? Waraskan tolong isi kepalamu.

"Jangan lupa sabuk pengaman."

Dia mengingatkan setelah pintu mobil kututup dan kupastikan posisi dudukku sudah nyaman. Dia bahkan belum melajukan mobil karena masih menatap ponsel. Aku sempat melihatnya membuka aplikasi pesan whatsapp, lantas mengetik. Dia menoleh.

Tumben sekali dia tidak banyak bicara seperti biasanya. Sepanjang jalan juga hanya fokus menyetir tanpa bertanya sesuatu yang penting, apa semua sudah siap, tidak ada yang tertinggal –misalnya. Aku tidak meliriknya kecuali melihat ke luar jendela menikmati perjalanan yang membosankan dan merisihkan. Ah, sudahlah, tidak usah dipikirkan. Mungkin Rais sedang PMSnya laki-laki.

"Pak Romi tadi bicara apa?"

Ah, akhirnya! Dia bersuara setelah sekian menit yang terasa seperti sekian purnama. Aku melihatnya tetap fokus melihat ke depan, lantas menggeser persneling.

"Nggak ada, Pak. Cuma nanya komputer saya yang rusak."

Dia memelankan kecepatan lalu memutar setir ke kiri.

"Terus?"

"Euh?" dahiku mengerut.

"Maksudnya, Pak?"

"Bicara apa saja kalian tadi?"

"Nggak ada bicara apa-apa, Pak. Cuma masalah desktop aja."

Aku bingung dengan pertanyaannya, walaupun pertanyaannya tidak membingungkan. Caranya bertanya seolah-olah orang yang sedang cemburu. Aku tidak mau ge-er dengan mengatakan cemburu, tapi nada bicaranya menyiratkan rasa tidak suka.

"Memangnya kenapa, Pak?"

Dia harus menjawab pertanyaanku demi arwahku supaya tidak mati penasaran. Menit demi menit berlalu tanpa rasa bersalah dia mengabaikanku yang menunggu jawaban darinya. 

Wahai lelaki, apakah kaum kalian tidak punya rasa peka pada perempuan yang sedang merasa dirinya digantung oleh kalian?

Tidak mungkin dia tidak punya jawaban, kan?

(Menyebalkan).

Aku mengambil ponsel dari dalam tas, membuka pesan whatsapp yang mungkin saja ada pesan baru, karena sudah tertimpa notifikasi grup kantor. Aku tersenyum hingga menyengir membaca dan membalas pesan-pesan di whatsapp.

"Dari siapa?"

Aku mendongak, lantas melihat ke samping kanan karena tidak menemukan apa pun dari suara yang bertanya. Dia memalingkan wajah ke depan saat aku menoleh padanya. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap. Bisa saja aku menjawab, tapi kenapa dia bertanya ranah pribadi orang lain? Air mukanya pun masih sama. TIDAK SUKA.

Aneh, bukan? kuputuskan tidak menjawab.

Aku tahu dia memperhatikanku yang sedang asyik menatap ponsel membalas pesan. Mungkin karena sedang di lampu merah yang berhentinya memakan waktu hingga dua menit, dia terus melakukan itu.

"Dari siapa?"

Holah! Apa-apan ini?

Seorang atasan yang kepo dengan urusan pribadi bawahan sampai melontarkan pertanyaan hingga dua kali, yang membuatku kepo tingkat dewa Zeus yang tidak pernah kulihat ketampanannya.