Selesai rapat, Adri kembali ke laboratorium tadi. Kebetulan Belva mengabarinya bahwa mereka sudah siap masuk ke ruang instrumen begitu Adri selesai rapat.
"Oke semua sekarang masing-masing satu orang perwakilan kelompok bawa sampelnya terus masuk ke ruang instrumen ya," perintah Adri. Pasalnya ruang instrumen itu cukup sempit dan tidak boleh berdesak-desakan.
Adri masuk ke ruang instrumen itu untuk mengoperasikan spektrofotomerer diikuti enam orang perwakilan kelompok, termasuk Januar.
"Kelompok yang selesai lebih awal duluan, biar bias pengukurannya bisa dikurangi," ujar Adri. Seorang praktikan kemudian duduk di kursi depan alat itu. Adri memintanya mengukur sendiri.
"Ini, kuvetnya hati-hati soalnya dari bahan kuarsa, bukan plastik," ujar Adri sembari memberikan benda berbentuk tabung transparan namun sedikit buram itu pada praktikannya.
Menit-menit selanjutnya, praktikan perwakilan kelompok pertama dan kedua sudah selesai mengukur enam tabung sampel mereka, kini giliran Januar.
"Udah sering pakai spektro kan?" tanya Adri memastikan, karena Januar berasal dari Teknik Industri.
Januar tersenyum, "Pernah beberapa kali, kalau sering enggak juga."
"Oh gitu, tadi udah lihat kan caranya, coba langsung aja sekarang diukur."
"Oke Kak," ujarnya sembari menuangkan cairan sampel berwarna hijau itu tanpa melihat Adri.
Dalam hati Adri mempertanyakan apakah Januar seiseng itu untuk memanggilnya dengan sebutan 'Kak" padahal mereka seangkatan, bahkan bisa jadi Januar lebih tua darinya.
"Selesai nih Kak," lapor Januar setelah kurang lebih sepuluh menit berkutat dengan sampel dan alat itu.
"Oke, rapikan sampel Kamu dan kembali ke kelompok, next!" titah Adri.
Januar kemudian bergeser ke kanan untuk merapikan barang bawaannya, mempersilakan adik tingkatnya mengukur sampel sama seperti sebelum-sebelumnya.
"Ahhh!" teriak sesorang kencang. Itu praktikan yang mengukur sampel setelah Januar.
Januar menoleh cepat, rupanya adik tingkatnya itu menjatuhkan benda yang disebut kuvet tadi. Benda itu pecah.
"Ya ampun Kak maaf Kak Aku gak sengaja," ujar gadis itu panik.
Sementara itu, Adri tidak mengeluarkan suara, Ia masih memperhatikan gerak gerik praktikannya itu memungut pecahan-pecahan benda yang Adri sebut berbahan kuarsa.
Adri kaget, karena benda kecil itu sangat mahal dan susah untuk diadakan kembali oleh departemen.
"Aduh, kan Kakak udah bilang hati-hati," ujar Adri akhirnya sembari memeriksa pecahan benda itu diatas meja. Benda itu hancur menjadi lima keping.
Beberapa praktikan lain masuk memenuhi ruangan setelah mendengar teriakan temannya.
"Aku bener-bener minta maaf Kak, Aku akan ganti nanti,"
Adri memejamkan matanya, "Kalaupun Kamu ganti sekarang, gak akan langsung dateng Dek, ini juga mahal, dan sekali beli harus dua karena satu set!" ujar Adri sedikit tinggi. Praktikannya itu mulai menunduk takut.
Januar yang sedari tadi memperhatikan keduanya segera membaca situasi, Ia meminta kerumunan orang didalam ruangan itu untuk keluar menyisakan dirinya, Adri, dan si praktikan.
"Ha ... harganya berapa ya Kak?"
"Lima juta lebih," jawab Adri datar.
"Kenapa tadi bisa jatuh?" tanya Januar akhirnya.
"Tanganku berkeringat Kak, jadi licin," jawab praktikan itu ragu-ragu.
Adri menyugar rambutnya ke belakang, dan berkacak pinggang. Adri benar-benar frustasi, Ia pasti nanti harus berurusan dengan departemen sebagai aslab sekaligus koordinator praktikum. Sementara itu, Januar berusaha menenangkan suasana.
"Yaudah, gini aja karena ini mahal, Kamu gak harus bayar ini sendiri. Kamu bicara sama ketua angkatan atau HIMA kamu nanti buat minta tolong iuran. Mereka pasti bantu kok. Kalau dananya udah terkumpul, kalian cari supplier yang tercepat dan sesuai, biar barangnya cepet sampe. Gitu aja. Gimana Dri?"
Adri menghela nafas berat, "Ya, besok temui Saya di ruang aslab, jam 10. Kamu boleh balik ke kelompok Kamu. Panggil yang lain lagi kesini buat ngukur," titah Adri.
Praktikan itu segera pamit tanpa berkata apa-apa. Adri cukup mengerikan ketika marah seperti sekarang.
"Kamu juga ngapain masih disini Jan?"
"Oh, oke, Aku balik."
"Makasih Jan," ujar Adri ketika Januar hendak membuka pintu.
"Sama-sama. Abis ini Aku tunggu diluar."
****
Selesai praktikum, Adri harus menghadapi PJ laboraratoriun atas insiden yang terjadi di praktikum tadi. Tentu saja Ia dihujani amarah oleh pria paruh baya itu. Adri bukan tidak bisa membela diri, tapi disini posisi dia adalah aslab, tentu saja bertanggung jawab atas apapun yang terjadi, meskipun itu bukan murni kesalahannya dan yang akan bertanggungjawab secara finansial adalah sang praktikan.
"Besok Kamu dan praktikan itu menghadap Saya di departemen jam sepuluh."
"Iya, Baik Pak."
"Yasudah, lain kali hati-hati Adri, penelitian banyak orang bisa terhambat karena kuvet itu pecah."
Adri tidak menjawab, karena Ia benar-benar lelah. Akhirnya Ia diizinkan pulang setelahnya.
Adri berjalan keluar laboratorium, Ia mendonggak dan mendapati Januar sedang duduk di bangku dekat tangga sembari memainkan ponselnya serius. Adri segera menghampirinya.
"Jan!"
Januar mendonggak, lalu mematikan ponselnya, "Eh, Dri, duduk sini," ujarnya sembari menepuk kursi besi disebelahnya.
Adri kemudian menaruh tasnya terlebih dahulu, lalu duduk.
"Nih."
Januar memberikan sekaleng Nescafe Original pada Adri. Ia membelinya barusan, kopi itu masih dingin.
"Thanks," jawab Adri singkat.
Adri lantas membuka kaleng kopi itu, meminumnya perlahan. Ia kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
"Jangan terlalu dibawa emosi, Dri," ujar Januar menenangkan.
"Pusing Jan, itu bukan barang sembarangan," keluh Adri sambil memejamkan matanya.
"Iya paham. Tapi kan dia gak sengaja, dan kalian masih bisa kompromi sama departemen,"
"Iya sih."
"Yaudah, Aku juga yakin lab pasti punya cadangan, apalagi kalau tau itu barang mahal dan susah."
"Memang punya sih."
"Nah kan, yaudah atuh kalo gitu mah."
"Masalahnya Jan, Aku koordinatornya, yang mewakili kecelakaan ini Aku."
Januar tersenyum, "Koordinator itu kan pemimpin ya Dri. Kamu tau gak, pemimpin yang baik itu gimana?"
Adri tidak menjawab, Ia memperhatikan Januar serius.
"Pemimpin yang baik itu merangkul Dri. Dalam kasus ini, Kamu harus merangkul praktikan tadi. Ya, dia memang salah, dan kamu harus menanggung sekian persen kesalahan dia, tapi tadi, dia gak sengaja. Kamu dan si praktikan itu sebaiknya kerjasama buat dapat alternatif terbaik pas kompromi sama departemen nanti, Kamu harus berbagi peran sama dia, salah satunya Kamu yang akan bantu dia ngomong, perantara sama departemen."
Adri masih diam, Ia seolah sedang dinasihati oleh Januar.
"Is that deep?" tanya Adri.
"Yes, if we talk from the phylosophy."
Adri mengangguk, "Aku paham dan lebih baik sekarang, thanks to you," ujar Adri sembari tersenyum.
"No problem. Abis ini kemana?"
"Ada meeting sama Theo dan mahasiswa SITH."
"Oh sama Jevan?"
"Kok tau?"
"Jevan sama Aku satu kost, tadi pagi dia cerita,"
"Oh, sempitnya dunia."
"Haha iya."
"Oh ya Jan, soal Bang Adam, dia cerita sampe mana?"
"Dia cuma bilang Kamu abis cerita soal ... soal ... yang terakhir kita omongin. Itu aja, gak detail kok."
"Oh gitu."
"Iya. Yaudah kalo gitu kita turun bareng aja, Aku mau ketemu Gandhi di Sekbem."
"Ayo. Kamu ada rapat?"
"Iya, mau ketemu calon kadept BEM."
"Oh udah ada nama-namanya?"
"Alhamdulillah udah."
"Syukur deh. Semoga Kamu kerjs sama orang yang tepat."
Januar mengangguk. Lalu pertanyaan random terlintas dipikirannya.
"Kalo Kamu Aku minta jadi Kadept atau anggota gimana?"
"Hah? Jangan ngada-ngada Jan."
"Ya kan misalnya Dri."
"Hmmm, sejauh ini Aku belum ada interest buat ikut organisasi sebesar BEM."
"Belum berarti akan?"
"Haha gak tau ya barangkali nanti Kamu bisa pengaruhin Aku buat jadi tertarik."
Januar tersenyum lebar, "Dalam artian Kamu mau kita lebih deket?" tanya Januar harap-harap cemas.
Adri menyadari situasi, namun tanpa ragu Ia melihat ke arah Januar, "Absolutely. Aku jawab iya, untuk ajakan Kamu kemarin."
Kuvet itu wadah untuk pengukuran sampel. Ukuran, bahan, dan peruntukannya khusus dan hanya digunakan untuk satu instrumen yang khusus juga. Biasanya dijual satu paket dengan si instrumen. Makanya harganya mahal, karena pengadaan suku cadangnya juga susah dan lama