Dinda, Sinta dan April masih asik bercengkrama sambil menemani April menunggu jemputan dari suaminya. April tinggal di ujung paling barat kabupaten Indramayu. Dia ke Indramayu kota hanya untuk berkumpul dengan sahabatnya. Anak dan suaminya lebih memilih bermain di time zone sembari menunggu April melepas kangen dan reuni dengan sahabat Lima Sekawannya
"Eh, Mas Angga sudah nunggu di depan, aku pulang ya guys," pamit April sambil bergantian memeluk dan cipika cipiki dengan Dinda dan Sinta. Tidak lupa dia juga mengungkapkan terima kasih pada Sinta yang sudah mentraktir makan. April mempercepat langkahnya menuruni tangga ketika Angga kembali meneleponnya.
Tidak lama setelah April pamit, Sinta dan Dinda juga bersiap untuk pulang. Mereka menuruni anak tangga menuju kasir untuk membayar tagihan mereka. Dinda yang berdiri di samping Sinta menangkap sosok pria yang sangat dikenalnya masuk ke area rumah makan bersama seorang wanita, mereka memilih duduk di bangku paling pojok di bagian bawah rumah makan.
"Sin, Arga lagi dimana?" tanya Dinda ragu, menyenggol lengan Sinta yang sedang mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan yang diberikan pada kasir.
"Ketemu customer baru, katanya dia baru buka butik di Cirebon dan rencananya mau kerja sama dengan rumah batik kami." Sinta menjawab tanpa menoleh ke arah Dinda, dia memasukan uang kembalian dari kasir ke dompet dan membalik badan.
"Yuk," ajak Sinta menarik tangan Dinda, namun sahabatnya diam membatu, tatapannya lurus ke depan. Sinta mengikuti arah pandang Dinda.
"Itu Mas Arga bukan sih, Din?" tanya Sinta pada Dinda, dia mengenali baju yang dipakai lelaki yang duduk membelakanginya. Laki-laki itu duduk berhadapan dengan seorang wanita cantik yang mengenakan dress selutut dengan rambut tergerai lurus dan lipstik yang merah merona.
"Makanya tadi aku nanya, Arga kemana, aduh Sin." Reflek Dinda meremas tangan sahabatnya, ketika si wanita berpindah duduk di samping Arga dan menggeser kursinya hingga tubuh mereka menempel tanpa jarak.
"Dasar Ulat Bulu, gatel banget," sungut Sinta yang bersiap menghampiri sang suami.
"Sin." Dinda menahan lengan Sinta untuk menghentikan langkah sahabatnya.
"Aku cuma mau meyakinkan itu mas Arga atau bukan." Dengan anggun Sinta melangkah mendekat ke arah suaminya yang sedang diajak selfie dengan ponsel si wanita, Dinda mengikutinya di belakang. Dinda merasa sedikit beruntung karena jam makan siang sudah lewat, sehingga rumah makan sedikit lengang. Dalam hatinya terus berdoa semoga tidak terjadi keributan antara mereka.
"Mas Arga," sapa Sinta Ragu. Arga menoleh dan terkejut mendapati istrinya yang sudah berada di belakangnya.
"Siapa, Mas?" tanya si wanita sambil mengapit manja lengan Arga, namun Arga menepisnya.
"Sin, Aku bisa jelasin, dia...." Arga berdiri dan menghadap ke arah Sinta.
"Emang siapa sih, Ma." Si wanita menarik lengan Arga dan kembali bergelayut manja.
"Apa kurangku, Hah!" teriak Sinta nyaring. "Dasar kurang ajar!" imbuhnya.
Dinda menarik paksa Sinta untuk menjauh dari Arga, suaminya dan seorang perempuan cantik yang beberapa menit tadi bergelayut manja di lengan Arga. Beberapa pengunjung menoleh ke arah mereka.
Sinta menghempaskan tangan Dinda dan berbalik, Plaaaaakkkkk.
Satu tamparan keras mendarat di pipi Arga,
"Tidak usah menjelaskan apapun," tegas Sinta, kemudian menarik tangan Dinda keluar dari rumah makan.
Mereka melangkah cepat keluar dari rumah makan dan menaiki motor yang dikendarai Dinda. Panggilan Arga tidak digubris sama sekali olehnya.
Air mata perlahan turun membasahi pipi Sinta, tidak disangka sedikit pun suaminya bisa menempel sedekat itu dengan wanita lain yang bukan mahromnya.
"Sabar, Beib, kita mau kemana?" Dinda melirik Sinta dari kaca spion motor, dia merasa bingung harus mengarahkan motornya kemana.
"Ke rumah kamu boleh?" tanya sinta sesenggukan karena menangis.
"Boleh sayang, A Andi lagi diklat kok ke Jakarta." Dinda membelokkan motor ke kiri untuk melaju ke arah rumahnya. Di antara mereka berlima, Dinda yang sampai sekarang belum dikaruniai anak. Usia pernikahannya sudah hampir tujuh tahun, namun Allah belum memberikan kepercayaan pada mereka untuk mengandung buah hati yang sangat ia nantikan.
Andi, suaminya bekerja sebagai dosen tetap di salah satu universitas di Indramayu, tak jarang suaminya menghadiri diklat ke luar kota dan meninggalkannya sendiri di rumah. Saat seperti itulah yang terkadang membuatnya sedih, karena kesepian, apalagi ditambah pertanyaan dari tetangga ataupun keluarga yang membuatnya semakin inscure sebagai wanita.
'Pak Andi keluar kota ya, Bu Dinda? Coba punya anak pasti gak kesepian?'
'Udah lama nikah kok belum punya anak aja sih, Din?'
'Kamu kapan hamil, Din? Rina nikah sebulan sudah hamil.'
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang sering kali membuatnya minder. Andai anak bisa di-download dan di-insert masuk ke rahimnya, sudah sejak dulu dia melakukannya. Andai anak bisa dipesan, dibayar, kemudian dikirim ke rahimnya, dengan segera dia akan transfer pelunasan pembayarannya.
Nyatanya untuk hamil dan punya anak itu murni kuasa Allah, tidak semudah belanja online, tidak semudah download film-film terbaru Lee Min Hoo, jadi berhentilah bertanya, kapan kamu hamil? Seperti itulah gerutuan yang keluar dari mulut Dinda di kala dia menghabiskan waktu sendiri di rumah.
Menurutnya campur tangan Allah yang paling menentukan cepat tidaknya pasangan mendapatkan keturunan. Toh dia ngerasa usahanya sudah maksimal, semua tips kamasutra sudah dia coba, minum ramuan, olahraga, atur pola makan apalagi konsultasi ke dokter. Bukankah manusia hanya wajib berusaha, sedangkan hasil akhir tetap Allah yang menentukan.
"Sin, sudah salat magrib belum, Beib? Makan dulu yuk, Aku masak cumi panggang sambal matah kesukaan Kamu." Suara Dinda terdengar dari depan pintu kamar, setelah dia mengetuk pintu tiga kali.
Sesampainya di rumah Dinda, mereka salat dzuhur bersama, kemudian Sinta langsung minta ijin masuk ke kamar tamu dan mengurung diri di sana. Dinda tidak berani membuka pembicaraan tentang kejadian di rumah makan tadi. Dia ingin memberi waktu pada sahabatnya untuk merenung dan meluapkan kesedihannya. Namun karena setelah waktu magrib berakhir, tetapi Sinta belum juga keluar kamar. Akhirnya, dia putuskan untuk mengetuk pintu kamar.
"Aku sudah salat, tapi belum mandi," jawab Sinta begitu pintu terbuka.
"Mau mandi atau makan dulu," tawar Dinda.
"Mandi dulu ya Din,"
"Oke, nanti bajunya aku taruh di atas ranjang ya,"
Dinda menyiapkan makan malam di meja sembari menunggu Sinta yang tengah mandi. Dari luar terdengar suara klakson mobil, dibukanya tirai jendela di ruang tamu untuk melihat siapa yang datang. Ternyata Arga dan sang putri Agatha sudah berdiri di depan pagar rumah Dinda.
Dinda kembali ke dapur untuk meletakkan piring yang dia bawa di atas meja makan, kemudian dia kembali berjalan ke pintu utama untuk mempersilakan tamunya masuk.