Taozi merasa agak bosan karena hanya berdiam diri sambil menonton TV di kamarnya. Shen Mochen pun juga tidak tahu pergi kemana. Namun, sebenarnya dia bisa melihat laut luas dari luar hotel. Suara deburan ombak juga membuat orang yang mendengarnya merasa sangat tenang.
Setelah mengganti beberapa stasiun TV, Taozi merasa acara-acaranya sangat membosankan. Dia pun berjalan ke jendela dan bersandar di tepi jendela, dia lalu menatap indahnya malam hari di luar sana. Di bawah sana terdapat jalan yang panjang. Lampu kuning redup pun tampak menerangi dua sisi sepanjang jalan itu, ditambah dengan pagar pembatas antara jalan dan lautan.
Malam ini sang rembulan terlihat menampakkan diri seutuhnya, sinarnya menyinari gelapnya malam dengan indah. Sinarnya juga menerangi tenangnya lautan, membuat lautan yang awalnya gelap menjadi terang karena pantulannya.
Sosok yang sedang berdiri di tepi pagar pembatas dan sedang memandangi lautan saat itu menarik perhatian Taozi. Karena sepertinya sosok itu adalah Shen Mochen. Taozi berpikir sesaat, lalu menutup jendela kamarnya. Dia mengambil kartu kamarnya dan diam-diam keluar menuju lantai bawah hotel. Kemudian, dia berjalan dengan pelan-pelan mendekati laki-laki itu. Dia pun menyadari kalau sosok itu memang Shen Mochen.
Angin laut berhembus meniup rambut Shen Mochen, membuat rambut tipis itu beterbangan mengikuti sepoian angin. Bulan purnama yang terang benderang pun menyinari tubuhnya. Mata yang selalu dingin ketika menatap Taozi, terlihat agak sayu ketika memandangi lautan lepas di balik pagar pembatas yang dingin. Kulitnya yang putih pun tidak luput bersinar dibawah sinar bulan.
"Sayang?" sapa Taozi yang kemudian berjalan ke samping Shen Mochen dengan raut bahagia. Dia pun belajar dari Shen Mochen yang memanjat pagar pembatas itu. Hanya saja, tubuhnya yang sedikit lebih pendek membuatnya harus berjinjit. Dengan begitu, dia baru bisa mensejajarkan tubuhnya dengan Shen Mochen di pagar pembatas.
Shen Mochen yang mendengar suara Taozi pun membuatnya langsung menoleh. Untuk beberapa saat, Taozi merasa dirinya seperti sedang ditarik oleh tatapan Shen Mochen yang dalam.
Tatapan Shen Mochen agak rumit ketika menatap Taozi. Akhirnya bibirnya pun terbuka, "Lututmu sudah tidak apa?" tanyanya dengan dingin.
"Iya. Sejak awal kan memang tidak kenapa-kenapa, hanya sedikit sakit saja," jawab Taozi dengan tersenyum. Dia lalu memegang dagunya, menatap Shen Mochen dan bertanya, "Sayang, kamu tidak marah?"
"Memangnya kapan aku marah?" tanya Shen Mochen dengan tatapan bingung ke Taozi.
"Kalau begitu kenapa waktu siang hari kamu sangat jahat. Sore pun kamu juga tidak perhatian ke aku," jawab Taozi dengan cemberut.
Shen Mochen terdiam. Tidak ada jawaban apapun darinya.
"Sayang... Sayang…" Taozi terus menerus merengek memanggil Shen Mochen. Tapi, dia menyadari kalau Shen Mochen tiba-tiba mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Taozi. Bahkan, jarak hidung mereka saat ini sangatlah dekat. Hingga dia hampir dapat merasakan napas hangat Shen Mochen yang berhembus di wajahnya.
"Ke… Kenapa?" tanya Taozi yang jantungnya mulai berdegup lebih cepat dari biasanya.
Sepasang bola mata hitam legam menatap Taozi dengan serius. Sinar rembulan menerangi alis panjang laki-laki ini. Cukup. Tidak ada yang terjadi. Shen Mochen akhirnya kembali menoleh melihat laut. Dia menghela napas perlahan, bahkan dia pun beberapa kali menghela napas, "Taozi, kamu kapan bisa dewasa?"
"Ha?" tanya Taozi karena suara hembusan angin yang kuat malam ini, membuat suara sepelan itu dengan mudahnya terbang bersama angin. Dia lalu menatap Shen Mochen dan menggaruk kepalanya, "Sayang, kamu barusan bilang apa?" tanyanya sekali lagi.
Mulut Shen Mochen terlihat seperti sedang mengatakan sesuatu. Dia mengayunkan jemarinya kepada Taozi dan menyuruhnya untuk lebih dekat. Lalu, dengan suara yang pelan dia pun berkata, "Taozi, kamu itu masih anak kecil..."