webnovel

Kamu di Luar Duniaku

Ratna_Andia · Adolescente
Classificações insuficientes
12 Chs

BAB 8

"Masih sakit perutnya?" tanya Langit ketika Rania sudah membuka matanya setelah tidur panjangnya karena efek obat anestesi.

Rania hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. Dia masih terlihat lemah. Mungkin karena dia banyak kehilangan darahnya karena apa yang terjadi padanya saat itu.

"Maaf ya. Gara-gara aku, sekali lagi kamu harus sakit seperti ini." Langit menggenggam tangan Rania erat. Dia tampak begitu sedih. Di tatapnya wanita luar biasa yang terbaring di ranjang rumah sakit, yang telah menyelamatkannya. Tatapan yang begitu dalam. Dan penuh makna.

Rania menggeleng pelan. Dia memang masih belum boleh banyak bicara. Selain itu dia juga sedang memakai masker oksigen untuk membantu pernapasannya sehingga dia menjadi kesulitan bicara.

"Aku nggak akan pergi dari kamu sebelum kamu sembuh. Aku janji." kata Langit lagi. Langit yang dulu dingin dan tak banyak bicara, kini menjadi lebih hangat dan lembut dalam bertutur kata. Rania telah berhasil merubahnya.

Rania mengangguk. Air matanya meleleh dari sudut matanya. Entah air mata apa. Kebahagiaan, ataukah penderitaan. Namun yang jelas, dia menangis.

"Rania, kamu nangis? Kenapa? Ada yang sakit? Mana yang sakit? Bilang sama aku biar aku panggil dokternya." Langit begitu panik melihat Rania menitikkan air mata. Dia memang tak pernah suka jika Rania menangis. Buru-buru dia mengambil tisu di samping tempat tidur dan mengusap air mata Rania.

Rania menggeleng pelan sambil tersenyum. Mengisyaratkan kalau dia tak merasa kesakitan. Dia baik-baik saja. Senyumannya membuktikan kalau dia bahagia. Dan air mata itu, air mata suka cita.

Mungkin Rania bahagia melihat Langit berubah menjadi hangat dan lembut. Mungkin Rania bahagia karena sekarang dia tak sendirian. Ataukah mungkin Rania bahagia karena dia yakin sekarang bahwa Langit juga begitu besar mencintainya.

"Yakin nggak ada yang sakit?" Langit memastikan.

Rania kembali menggeleng pelan. Langit menarik napas lega dan kembali menggenggam tangan Rania.

Lama dia menatap lekat ke arah mata Rania sambil sesekali membelai lembut wajah dan rambut Rania. Rania hanya memejamkan matanya, merasakan belaian penuh kasih yang selama ini belum pernah dia rasakan.

Dia begitu mencintai Langit. Dia merasa kalau Langit juga begitu mencintainya. Lama dia memejamkan matanya. Lantas dia kembali membuka matanya. Di lihatnya Langit yang masih menatapnya lekat. Dia kembali tersenyum. Dia lega karena Langit baik-baik saja. Langit tak terluka.

**

"Maaf ya. Rencana kita harus batal gara-gara aku." kata Rania kepada Inez dan Kevin pagi itu. Dia sudah tampak lebih sehat. Sudah lima hari dia di rawat di rumah sakit. Selama itu pula Langit tak pernah meninggalkannya. Dia selalu berada di sisi Rania.

"Ngomong apa sih Ran. Nanti kita cari waktu lain buat atur ulang rencana kita. Yang penting kamu sembuh dulu sekarang." kata Inez yang berada di sisi kanan tempat tidur Rania.

"Iya Ran. Masih banyak waktu. Kamu cepetan sehat ya." Kevin menimpali.

Rania mengangguk pelan dan tersenyum ke arah kedua sahabatnya itu bergantian. Kemudian dia memalingkan wajahnya ke arah sofa panjang di sudut ruangan. Langit sedang tertidur di atas sofa itu. Dia tampak kelelahan karena menjaga Rania sepanjang hari.

"Langit menyesal banget lho Ran. Dia selalu menyalahkan dirinya sendiri karena kamu terluka seperti ini." Inez yang melihat Rania memperhatikan Langit, mulai membahas reaksi Langit waktu itu. Dia ingin Rania tahu kalau Langitlah yang paling panik saat Rania terluka.

Rania beralih menatap Inez dan tersenyum.

"Iya Nez. Dia sekalipun nggak pernah pergi ninggalin aku saat aku sakit. Dia bahkan selalu meminta orang lain untuk membelikannya makanan dan pakaian agar tetap bisa menemani aku di sini." Rania tersenyum manis penuh arti dan kembali menatap Langit yang lelap tertidur.

"Aku juga kalau punya cewek cantik, pinter, kuat, dan rela berkorban kayak Rania, pasti bakalan aku tungguin terus kayak Langit. Nggak mau jauh-jauh. Takut cewekku di ambil orang. Hehe." kata Kevin menggoda Rania.

"Tapi sayangnya kamu di tolak kan sama Rania?" Inez mencibir Kevin.

"Hehe. Padahal aku juga nggak kalah ganteng dan keren dari Langit lho. Cuman agak kurang kaya aja. Hehe." kata Kevin sambil melirik ke arah Rania.

"Hehe. Enakan kayak gini kali Vin. Kita sahabatan, seru-seruan bareng dan nggak saling menyakiti. Aku lebih menghargai dan menghormati kamu sebagai sahabat aku. Kamu dan Inez nggak akan tergantikan." kata Rania.

"Iya Ran. Aku juga seneng kok bisa jadi sahabat kamu. Bisa jagain dan selalu dekat sama kamu meskipun sebenarnya aku cemburu setiap kali lihat kamu bersama Langit. Huhuhu." Kevin berpura-pura menangis.

"Jijik banget sih Vin." Inez mencibir Kevin.

"Hahaha." Kevin tertawa terbahak-bahak. Di ikuti dengan Rania dan Inez.

"Eh ada kalian. Maaf nih aku ketiduran." Langit yang terbangun mendengar gelak tawa mereka bertiga langsung berdiri dan berjalan menghampiri Rania. Dia duduk di atas ranjang bersama dengan Rania.

"Wah, sorry bro. Gara-gara kita kamu jadi terbangun." Kevin menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia merasa tak enak karena sudah membuat Langit terbangun dari tidurnya.

"Nggak apa-apa Vin. Santai aja. Aku udah lumayan lama kok tidurnya." Langit tersenyum kecil ke arah Kevin.

"Makan dulu Mas Langit, tadi aku dan Kevin bawain makanan buat kamu sama Rania. Tuh aku taruh di meja." kata Inez menunjuk ke arah meja di dekat sofa yang di pergunakan Langit untuk tidur tadi.

"Iya. Makasih Nez. Nanti aja. Belum lapar." kata Langit lagi.

"Mas Langit kalau mau pulang dulu nggak apa-apa. Biar aku sama Kevin yang jaga Rania di sini. Kita nggak lagi sibuk banget kok Mas. Jadi bisa lah jagain Rania dan nginep di sini." kata Inez.

"Iya Mas. Mas pulang dulu aja nggak apa-apa. Takut Ibu nyariin. Mas udah lima hari nggak pulang lho." Rania menambahi.

"Ngusir nih ceritanya." Langit melirik ke arah Rania dan Inez secara bergantian.

"Nggak ngusir Mas. Aku nggak enak aja sama Ibu Mas. Mas udah lima hari di sini jagain aku. Lagi pula kata Mas kan Ibu juga akhir-akhir ini sering sakit-sakitan jadi Mas juga harus mikirin Ibu juga. Lagian Inez dan Kevin kan ada di sini. Tuh mereka udah bawa baju ganti buat nginep di sini Mas. Jadi Mas nggak perlu khawatir. Aku pasti baik-baik saja." Rania tersenyum manis ke arah Langit.

"Ya udah kalau gitu. Inez, Kevin, nitip Rania ya. Kalau ada apa-apa panggil aja dokter atau suster. Aku balik dulu. Aku emang sering kepikiran Ibu sih selama di sini, yah meskipun setiap hari kami teleponan. Tapi aku juga nggak mungkin ninggalin Rania." Langit berdiri dan berniat untuk pergi. Dia mengambil tas hitam berukuran tanggung yang di gunakannya untuk meletakkan pakaian dan peralatan lainnya. Setelah selesai berkemas, dia kembali menghampiri Rania. Dia membelai lembut rambut Rania dan menatap lekat ke arah mata perempuan itu.

"Aku pergi ya. Jaga diri kamu." Katanya tanpa ekspresi.

"Iya. Hati-hati. Jangan lupa menghubungi aku nanti kalau udah sampai di rumah ya." Rania kembali tersenyum manis.

Langit tak menjawab apapun. Dia hanya menatap mata Rania. Tak lama. Karena setelah itu dia bergegas untuk pergi tanpa mengucapkan sesuatu.

***