webnovel

Kamu di Luar Duniaku

Ratna_Andia · Adolescente
Classificações insuficientes
12 Chs

BAB 4

"Hai, Sayang. Udah lama nunggunya?" tanya Rania ketika dia sudah masuk ke dalam mobil Langit yang menjemputnya malam itu untuk mengajaknya makan malam.

"Nggak kok." jawab Langit singkat.

"Kamu tadi pergi ke mana sih? Padahal sepulang kuliah mau aku kenalin kamu ke sahabat aku lho. Eh, kamu nya malah enggak bisa jemput aku tiba-tiba." tanya Rania. Rencananya untuk memperkenalkan Langit dan Inez batal karena tiba-tiba Langit menelepon bahwa dia ada urusan penting.

"Ketemu Ibu aku. Dia enggak enak badan. Maaf. Lain kali aja." kata Langit menjelaskan. Dia tak memandang Rania sama sekali. Pandangannya fokus ke jalan yang sedang padat merayap malam ini. Ini malam minggu. Malam di mana semua orang menghabiskan waktunya di luar rumah bersama keluarga dan pasangan masing-masing.

"Ibu kamu sakit? Sakit apa? Aku mau jenguk beliau dong. Boleh kan?" tanya Rania khawatir.

"Belum saatnya kalian ketemu." kata Langit datar.

"Kenapa sih? Cuma ketemu aja. Aku janji deh enggak akan ngomong macam-macam. Aku juga enggak akan bilang kalau kita pacaran. Kita bilang aja kalau kita berteman." Rania sedikit memaksa.

"Nanti kalau sudah waktunya." kata Langit lagi.

"Kamu menyembunyikan sesuatu dari aku ya?" Rania mulai curiga.

"Kamu enggak percaya sama aku?" Langit balik bertanya.

"Bukannya enggak percaya. Aku cuma agak curiga aja sama kamu. Kamu muncul tiba-tiba. Setiap saat setiap waktu aku butuh kamu, kamu selalu datang tanpa keberatan, kapan pun itu. Mobil kamu juga bagus dan mewah banget. Pasti harganya mahal. Kamu enggak mau ngenalin aku ke Ibu kamu. Kamu juga enggak kasih tahu aku di mana rumah kamu. Kamu juga nggak pernah cerita ke aku apa pekerjaan kamu. Aku nggak tahu apa-apa tentang kamu. Sama sekali. Aku jadi takut. Jangan-jangan kamu..." Rania tak meneruskan kalimatnya.

"Bos Mafia?" tanya Langit. Rania terkejut karena Langit bisa menebak apa yang ada di pikirannya. Dia lantas menatap ke arah Langit. Lelaki itu tampak diam sambil terus menatap le arah depan. Sorot matanya tajam. Dan menakutkan. Seperti seekor singa yang siap menerkam mangsanya. Rania menjadi sedikit merinding. Siapa sebenarnya lelaki ini? Siapa lelaki yang sedang di pacarinya saat ini? Rania tak berani menebak-nebak. Dia diam. Dia tak tahu harus bicara apa.

"Kenapa diam? Berarti benar kalau teman kamu itu mikirnya aku mafia? Kamu juga mikir kayak gitu? Kok tiba-tiba jadi diam? Bukannya kamu biasanya suka bicara? Takut ya? Takut kalau aku beneran mafia? Takut aku macam-macam?" tanya Langit lagi.

"Em... Ng... Enggak... Enggak kok. Hehe." Rania gugup. Dia gelagapan.

"Kalau enggak kenapa gugup?" Langit meliriknya penuh arti.

"Enggak... Siapa yang gugup. Biasa aja. Cuma memang agak gemeteran karena laper." Rania semakin berkeringat.

"Ya udah. Kamu mau makan di mana?" tiba-tiba Langit mengalihkan pembicaraan. Tampaknya dia sudah tahu kalau dia cukup membuat Rania ketakutan.

"Terserah kamu aja." kata Rania sekenanya. Entah kenapa dia tiba-tiba merasa benar-benar takut kepada Langit. Dia melirik ke arah Langit sekilas. Benar. Semakin di lihat-lihat, Langit menjadi semakin tampak misterius.

Rania memalingkan wajahnya. Dia tak berani menatap Langit lama-lama. Dia menjadi merinding ketika dia menatap Langit terlalu lama. Entah karena dia terpengaruh dengan ucapan Inez yang langsung mencurigai Langit setelah dia mendengar cerita Rania, ataukah memang karena dia sama sekali belum tahu apa-apa tentang Langit, sehingga dia merasa Langit adalah lelaki asing yang misterius?

**

"Makan yang banyak biar gemuk. Biar tambah cantik. Kalau kurus kering kayak gini enggak ada cantik-cantiknya sama sekali." kata Langit kepada Rania sambil melahap steak daging yang ada di meja.

"Iya." kata Rania singkat. Dia menunduk sambil memotong-motong makanannya dengan pisau dan garpu. Dia tak berani menatap ke arah Langit. Dia menjadi ketakutan tanpa alasan. Padahal saat mereka berangkat tadi, Rania merasa begitu senang dan bersemangat. Dia bahkan sempat meminta Langit untuk membawanya menjenguk Ibunya yang sedang sakit. Namun saat dia melihat tatapan mata Langit yang berubah menjadi sangat menakutkan ketika menyebut kata 'mafia', membuatnya bergidik ngeri. Dia ingin segera pulang.

"Kalau enggak suka enggak usah di makan. Kita pindah tempat aja." kata Langit sambil meletakkan garpu dan pisaunya ke atas meja dengan gerakan yang sedikit kasar. Dia memperhatikan Rania yang tampaknya tak semangat makan. Rania tampak tak berselera.

Rania menatapnya terkejut. Dia tampak semakin ketakutan.

"Suka kok suka. Nih aku makan." Rania langsung melahap potongan steak yang ada di hadapannya dengan begitu lahap hingga mulutnya penuh. Dia menghabiskan makanan itu dalam waktu sekejap. Kemudian dia tersenyum kecut ke arah Langit. Dia sedang tak ingin mendapatkan masalah. Jadi dia harus mendengarkan apa yang Langit katakan. Kalau tidak, dia bisa benar-benar dalam masalah kalau Langit memang mafia yang sebenarnya.

"Kamu beneran takut ya sama aku?" tanya Langit kemudian. Membuat Rania terkejut.

"Nggak kok. Aku nggak takut." jawab Rania. Dia hanya melirik ke arah Langit. Dia tak berani langsung menatap matanya.

Tanpa banyak bicara, Langit mengeluarkan dompetnya, lalu dia mengeluarkan beberapa lembar kartu yang mirip kartu ATM. Lalu dia memberikannya kepada Rania.

"Ini. Beberapa perusahaan peninggalan Ayahku. Ayahku seorang pengusaha sukses. Perusahaannya ada di mana-mana. Jangankan mobil seperti yang aku pakai. Kami bahkan punya sebuah jet pribadi dulu sebelum akhirnya kami jual karena suatu alasan. Lantas, kenapa aku harus capek-capek bekerja kalau uangku saja tidak berseri? Itulah kenapa aku bisa selalu datang saat kamu butuh. Aku memang saat ini belum terlalu aktif bekerja di perusahaan, karena aku belum mau. Nanti kalau aku sudah siap, aku juga pasti akan sibuk. Jadi bilang ke teman kamu itu kalau aku bukan mafia." Langit panjang lebar menjelaskan.

"Ng... Ini asli?" Rania mengambil kartu itu dengan penuh keraguan? Dia mengamatinya.

"Di situ ada nomor teleponnya. Bisa kamu cek." kata Langit. Dia menatap ke arah Rania. Tanpa ekspresi. Benar-benar membuat siapapun yang melihatnya merinding ketakutan.

"Boleh?" tanya Rania. Dia benar-benar ingin mengeceknya. Dia tak mau percaya begitu saja dengan apa yang Langit katakan.

Langit mengangguk pelan. Dia masih menatap Rania dengan tatapan dinginnya.

Rania bergegas mengambil ponsel dari dalam tasnya. Satu per satu nomor yang ada di kartu itu di teleponnya. Dia tampak serius berbicara dengan seseorang yang ada di balik telepon. Agak lama dia berbicara. Dengan raut wajah tegang , dia menanyakan begitu banyak pertanyaan kepada siapa saja yang di teleponnya. Hingga akhirnya ada pancaran sinar kelegaan setelah semua nomor di kartu itu selesai dia hububgi. Dia menarik napas panjang dan tersenyum manis ke arah Langit. Mungkin dia sudah mendapatkan jawaban atas keraguannya. Keraguan yang tak seharusnya.

***