webnovel

Petir di Siang Bolong

Setelah mendapat telepon dari orang misterius, Veronika segera memberitahukannya kepada seluruh keluarga yang masih berdebat di ruang keluarga, mereka seketika berhenti berdebat saat mendapat kabar tak mengenakkan itu, rasanya seperti mendengar petir di siang bolong. Apa lagi Arya, sangat terlihat di jelas wajahnya menampilkan ekspresi ketakutan. Dia takut jika harus kehilangan anak gadis kesayangannya dalam waktu cepat.

Berita ini, akan Arya simpan rapat-rapat terlebih dahulu. Jangan sampai Caesa mengetahuinya, karena jika wanita itu tahu maka yang Arya takutkan kondisi kandungannya akan terganggu. Arya rela jika harus membayar uang sebanyak apapun asalkan Jovanca bisa kembali pulang ke rumah dan berkumpul bersamanya seperti dulu. Saat mendapat kabar itu, Arya langsung melangkah menuju kamarnya dan menyiapkan uang.

Setelah menyiapkan uang, Arya segera menyiapkan mobil. Tidak hanya dia saja yang hendak pergi, tetapi Sarah, Veronika dan Arina pun hendak ikut. Mereka semua pergi ke alamat yang dituju menggunakan mobil berwarna hitam milik Arya. Sungguh, pertama kalinya Arya merasakan perasaan sepanik ini setelah delapan belas tahun yang lalu merasakan hal seperti ini juga.

"Cepat mas bawa mobilnya, aku takut terjadi sesuatu sama Vanca," titah Sarah dengan suara lirihnya.

Arya meningkatkan kecepatan mobilnya. "Tenang, bukan hanya kamu saja yang takut. Tapi aku juga," jawabnya.

Di saat situasi sedang genting seperti ini, jalanan Kota Jakarta cukup padat. Arya memukul setir mobilnya, napasnya naik turun akibat menahan emosi. Sementara Sarah tak henti-hentinya memijat keningnya perlahan, air mata pun terus membanjiri wajahnya. Sarah tidak pernah merasakan sedih sampai seperti ini, di otaknya seperti sudah melihat sebuah pemakaman. Di mana dalam kuburan itu terdapat tubuh kaku Jovanca.

Dari tempat duduk bagian belakang, Veronika mengusap kedua pundak Sarah. "Mi, jangan sedih terus ya? Aku yakin kok pasti Vanca gak kenapa-kenapa. Kan kita mau kasih langsung uang tebusannya," nasihatnya.

Arina menatap Veronika sinis, kemudian berucap, "Jangan sok baik kamu, saya tahu pasti ini akal-akalan kamu supaya Rivaldi bisa jadi milikmu seutuhnya 'kan? Ayo ngaku!"

"Cukup Arina! Jangan buat kepalaku tambah pusing!" teriak Sarah.

Suasana di mobil berubah menjadi hening, Arina menundukkan kepalanya sedangkan Arya fokus menyetir. Berbeda dengan Sarah yang memilih untuk memejamkan kedua matanya, berusaha untuk tetap berpikiran jernih. Sementara Veronika memainkan ponselmya, dia menghubungi polisi untuk segera datang terlebih dahulu ke alamat yang dikirimkan orang misterius.

Dua puluh menit berlalu, akhirnya mobil yang ditumpangi Arya, Sarah, Arina dan Veronika tiba di tempat tujuan. Keempatnya berdiam diri terlebih dahulu di dalam mobil, karena masih belum yakin dengan tempat yang mereka datangi.

"Vero, ini benar alamatnya? Tapi, kenapa papi gak yakin ya? Coba kamu tanya lagi sama orang yang telepon kamu tadi," perintah Arya, dibalas anggukan kepala oleh Veronika.

Veronika mengambil ponselnya dari dalam tas kecilnya. "Bentar ya pi, Vero kirim pesan sama orangnya dulu," ucapnya patuh.

Gudang tua Jalan Merpati nomor 13 RT07, RW15. Kecamatan Caringin, Kelurahan Dukuh.

Tanpa menunggu waktu lama, orang misterius yang Veronika kirimkan pesan ke nomor ponselnya, akhirnya mengirimkan pesan balasan. Ternyata alamat yang didatangi oleh Veronika saat ini salah. Bodoh sekali, tadi dia salah menyebutkan nomor rumah.

Veronika menepuk keningnya. "Astaga, papi maaf ya. Ternyata nomor tiga belas bukan nomor tiga puluh satu. Maaf banget," ucapnya dengan penuh penyesalan.

"Ya sudah, tidak apa-apa. Jangan lupa bilang juga ke polisi alamat yang betulnya gudang tua nomor tiga belas," peringat Sarah.

Hanya anggukan kepala saja yang Veronika berikan sebagai jawaban, tanpa menunggu waktu lama Arya segera memutar balik mobilnya dan melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Tadi, Veronika sudah menghubungi polisi lagi dan memberitahu di mana alamat yang benar.

"Semoga Vanca baik-baik aja," harap Arya.

"Amin," ucap Sarah, Arina dan Veronika bersamaan.

***

"Hai Vanca, gimana kabar kamu? Ohiya pasti kaget dong ya lihat aku di sini. Kita langsung ke intinya aja ya, tujuan aku culik kamu karena aku mau bunuh kamu!" Rachel mengeluarkan sebuah pisau tajam dari tas kecilnya.

Jovanca menggelengkan kepalanya. "Jangan, aku mohon jangan bunuh aku ..." lirih Jovanca.

"Umumu, sedih ya? Kamu kira aku bakal luluh gitu lihat kamu nangis? Enggak Vanca, enggak! Karena aku pengen kamu cepat mati!" teriak Rachel.

Jovanca memejamkan kedua matanya, dalam hati terus merapalkan doa berharap ada orang baik hati yang bisa menolongnya saat ini. Jovanca masih belum siap jika harus meninggal saat ini, Jovanca ingin bahagia walau sebentar saja.

Rachel mulai melangkahkan kedua kakinya menghampiri Jovanca, pisau yang dibawanya ia arahkan ke dada Jovanca. Sementara Jovanca, hanya bisa berdiam diri saja dan terus berdoa dalam hati. Jovanca mulai terisak pelan, tapi seulas senyuman tiba-tiba saja terbit di wajah Jovanca saat melihat sosok yang dibutuhkannya datang.

"Ada pesan terakhir?" tanya Rachel.

Jovanca terdiam, senyuman terus mengembang di wajahnya saat melihat sosok Rivaldi mulai melangkah cepat, agar bisa menahan Rachel. Rivaldi benar-benar tidak menyangka bahwa ternyata Rachel bisa berbuat senekat itu.

Tapi sayangnya, langkah Rivaldi kurang cepat. Pisau tajam itu sudah Rachel tancapkan di dada kiri Jovanca, tepat di jantungnya. Tepat saat itu juga, dunia Rivaldi seakan berhenti. Sosok gadis lembut yang selama ini ada untuknya, terbaring lemah di atas lantai dengan kondisi baju berlumuran darah.

"Vancaaa!" kata Rivaldi.

Lalu, Rivaldi datang menghampiri Jovanca. Pisau masih tertancap di dada kiri Jovanca. Rivaldi melayangkan tatapan tajam kepada Rachel. Tapi, saat ini Rivaldi masih fokus pada Jovanca. Kedua mata Jovanca masih terbuka, tetapi sayu.

Rivaldi tadi sudah mendapat alamatnya dari Veronika, dan dia segera datang ke alamat tersebut menggunakan motor ninjanya. Semua sudah terlambat, tidak ada harapan lagi bagi Jovanca untuk dapat bertahan hidup.

"V-valdi, a-aku se-neng d-di s-sa-at te-ra-khir a-aku. K-ka-mu a-da," ucap Jovanca tersendat.

Rivaldi menggelengkan kepalanya. "Enggak, kamu masih bisa hidup 'kan? Kamu udah janji sama aku, kalo kamu tetap setia dan bertahan, walau aku udah menyakiti kamu berkali-kali."

Gadis yang dikenal kuat, kini akan menyerah. Jovanca sudah lelah dengan kehidupan di dunia yang menyakitkan, sejak lama Jovanca sudah menantikan Tuhan memanggil dirinya. Jovanca berharap, jika dirinya meninggal nanti tidak ada orang lagi yang merasa terbebani.

"M-a-af ka-lo s-se-l-a-ma i-ni a-ak-u u-d-dah bu-at k-k-ka-mu s-su-sah." Setelah itu, kedua bola mata Jovanca benar-benar terpejam.

"Vanca! Jangan tinggalin aku!" pekik Rivaldi.

Susana di luar sedang hujan deras, dengan terpaksa Rivaldi harus membawa Jovanca ke rumah sakit hanya dengan berjalan kaki. Karena dia pergi ke gudang tua, menggunakkan motor ninjanya, bukan menggunakkan mobil.