webnovel

Kematian

Sebelum keluar dari gudang tua, Rivaldi terlebih dahulu melapor kepada polisi untuk menangkap Rachel. Setelah polisi datang, barulah Rivaldi segera membawa tubuh Jovanca yang sudah mulai dingin ke rumah sakit. Tanpa berpikir bahwa dia bisa saja memesan ambulans untuk ke rumah sakit.

"Tolong! Siapapun bantu, saya!" teriak Rivaldi di jalanan seperti orang gila.

Sayangnya, tidak ada satupun mobil yang mau berhenti. Tapi Rivaldi tidak menyerah, lelaki itu terus membawa tubuh Jovanca di tengah derasnya hujan, tetap mencari kendaraan yang mau membawa mereka berdua ke rumah sakit.

"Argh!" teriak Rivaldi frustasi.

"Vanca, kamu bertahan ya. Aku mohon," ucapnya lirih.

***

Dokter dan tiga orang suster baru saja memeriksa kondisi Jovanca, gadis itu dinyatakan meninggal saat jam menunjukkan pukul setengah lima sore tadi. Darah sudah dibersihkan oleh suster, dan jenazah Jovanca akan dibawa ke ruang mayat terlebih dahulu untuk melalui proses selanjutnya. Dokter keluar dari ruangan dengan wajah tidak berseri, dia merasa gagal tidak bisa menyelamatkan pasiennya.

Keluarga yang menunggu di depan ruang IGD, segera bangkit dari posisi duduknya secara bersamaan. Mereka berharap masih dapat mendengarkan kabar baik dari dokter, meski sebenarnya mereka sudah tahu bahwa tidak akan lagi ada kesempatan bagi Jovanca untuk bisa bertahan. Wajah Sarah kelihatan semakin sembab karena tidak berhenti menangis.

Ketegangan meliputi lorong ruang IGD, sedari tadi dokter tak kunjung membuka mulutnya membuat mereka semua yang ada di sana merasa khawatir dan penasaran bagaimana kondisi Jovanca saat ini. Apa lagi Arya, sosok lelaki kuat yang selama ini tidak pernah meneteskan air matanya. Ternyata air mata itu akhirnya jatuh untuk menangisi kondisi Jovanca.

"Gimana dok keadaan putri saya, pasti baik-baik saja 'kan?" tanya Arya dengan suaranya yang terdengar bergetar.

Dokter menggelengkan kepalanya pelan. "Mohon maaf, saya tidak bisa menyelamatkan anak bapak. Waktu kematian pukul setengah lima sore, saya turut berdukacita," jawabnya sopan.

Tangisan Sarah pecah saat dia mendengarkan kabar bahwa Jovanca telah tiada, tubuh Sarah rasanya lemas. Untung saja ada Rivaldi di sampingnya, sehingga tubuh Sarah tidak jatuh ke dinginnya lantai. Sama seperti Sarah, Arya pun menangis sejadi-jadinya. Dia memukuli kepalanya dengan penuh emosi.

"Saya bodoh! Saya menyesal! Vanca, maafin ayah sayang!" teriak Arya frustasi.

"Dok, apa kami boleh masuk sebentar untuk melihat kondisi Vanca?" Veronika menatap dokter pria tersebut, berharap dokter mengatakan iya.

Dokter pria tersebut menganggukkan kepala, kemudian menjawab, "Boleh, setelah itu tolong panggil pihak perawat untuk melakukan pemandian jenazah terlebih dahulu."

Lalu, dokter meninggalkan lorong ruang IGD diikuti oleh tiga orang suster di belakangnya. Pertama, Arya yang masuk ke dalam ruang IGD. Tampak jelas di penglihatan Arya tubuh kaku Jovanca terbaring di atas brankar dengan kedua mata tertutup. Arya mendudukkan pantatnya di kursi yang ada di samping brankar.

"Sayang, sekarang kamu sudah tidak merasakan sakit lagi, 'kan? Ayah cuma bisa berdoa supaya kamu tenang ..." ucap Arya lirih.

Isak tangis Arya terdengar semakin kuat, dia tidak tega melihat kondisi Jovanca yang seperti ini. Dia juga masih belum bisa mengikhlaskan kepergian anak gadis kesayangannya.

Tangan Arya menggenggam jemari Jovanca kuat. "Nak, ayah keluar dulu ya. Ayah gak kuat lihat kamu kayak gini," pamitnya, meski tidak ada jawaban dari Jovanca tapi dia tidak peduli.

Setelah Arya keluar dari ruang IGD, masuklah Rivaldi dan Sarah ke dalam ruang IGD. Rivaldi merasakan penyesalan yang mendalam saat melihat Jovanca tidak bernapas lagi. Tangisan Sarah pun terdengar semakin kencang, dia masih membutuhkan sosok Jovanca untuk mengisi hari-harinya.

"Vanca, sayang! Kenapa kamu tega meninggalkan kami semua?! Apa kamu capek? Bilang sama bunda kalau kamu capek, biar bunda berikan ketenangan untuk kamu! Jangan seperti ini Vanca!" pekik Sarah.

Rivaldi mengusap punggung Sarah. "Tenang bunda, di sini yang merasa kehilangan Vanca bukan hanya bunda aja kok, tapi kita semua juga. Tapi bunda harus ingat, Tuhan melakukan ini semua demi kebaikan Vanca. Tuhan gak mau lihat umatNya sakit-sakitan dan menderita," nasihatnya.

Semua merasa kehilangan sosok Jovanca, karena selama ini dia selalu bersikap baik, sopan. Awalnya memang sulit untuk mengikhlaskan kepergian orang yang kita sayang, tapi percayalah lama-lama kita pasti bisa ikhlas. Karena kita, manusia di bumi dengan mereka yang sudah pergi itu berbeda alam.

Sudah seharusnya kita berhenti menangisi kepergian mereka. Mulailah kehidupan yang baru dengan sikap baik, jaga setiap perkataan yang keluar dari mulut. Karena ada peribahasa yang mengatakan, mulutmu harimaumu. Jangan menebarkan kebencian kepada orang lain, bersikaplah lebih baik lagi. Jangan merasa kamu paling sempurna dan sudah paling benar, karena di dunia ini tidak ada satupun orang yang sempurna.

Rivaldi menggenggam jemari Jovanca yang masih terasa hangat, kemudian berucap, "Yang tenang ya Vanca, selamat jalan. Kamu akan selalu ada di hati kita semua, terima kasih sudah mengisi hari-hari kita. Dengan kejadian ini kita tahu bahwa kematian tidak ada yang tahu."

Isak tangis Sarah sudah tidak terdengar lagi, percuma saja membuang air mata karena itu tidak akan dapat membuat Jovanca bangkit kembali dari kematiannya. Sarah baru teringat, dia belum memberitahu Caesa bahwa Jovanca telah tiada. Sarah meninggalkan ruang IGD, untuk menelepon Caesa terlebih dahulu.

Meninggalkan Rivaldi bersama Jovanca yang sudah tenang menutup kedua matanya. Penguburan Jovanca rencananya akan dilakukan esok hari, karena Jovanca akan dibawa ke rumah duka terlebih dahulu. Berat memang setiap ujian yang kita alami selama masih hidup di dunia ini.

"Vanca, makasih ya selama ini kamu udah ajarin aku gimana caranya jadi orang yang setia. Aku mau belajar jadi cowo yang setia, maaf kalau aku belum bisa mengucapkan kata maaf dan belum bisa bahagiain kamu." Rivaldi mengusap kepala Jovanca pelan.

Rivaldi mencoba mengingat kejadian-kejadian bersama dengan Vanca yang cukup lama. Kejadian yang membuatnya semakin merasa bersalah atas dirinya sendiri. Apalagi saat ia bertemu dengan teman mamahnya.

"Valdi, kamu cepat pulang ya. Ini ada tamu spesial buat kamu, jangan lama-lama ya!"

Sambungan telepon dimatikan secara sepihak oleh Arina. Wajah Rivaldi berubah menjadi muram, padahal ini adalah waktu yang seharusnya dia pakai untuk membuat Jovanca bahagia, agar gadis itu tidak memikirkan masalahnya.

Rivaldi mengusap kepala Jovanca. "Vanca, maaf ya. Aku harus pulang sekarang gapapa 'kan? Soalnya tadi Mama bilang ada tamu," jelasnya dan dibalas anggukan kepala oleh Jovanca.

"Iya, gak papa. Hati-hati ya!" pesan Jovanca.

Setelah mendapat ijin dari Jovanca, Rivaldi segera meninggalkan bukit tersebut. Sementara Jovanca, pulang dengan berjalan kaki. Karena dirinya memang tidak diberikan bekal yang banyak oleh kedua orang tuanya.