Aku benar-benar bungkam, menuruti apa yang Denis katakan. Bahkan aku seperti kehabisan napas berada dalam kungkungan nya.
Setelah minibus yang aku tumpangi sampai di halte dimana aku akan pulang ke rumah. Denis pergi begitu saja keluar lebih dulu dari dalam bus.
Aku mengikuti nya, beberapa murid yang juga masih ada di dalam bus menatapku seakan hina. Begitu pula dengan bapak supir yang mengendalikan minibus sejak tadi.
Aku berjalan kaki, menuju pulang ke rumah. Sedang di depan sana, Denis melangkah tegak berjalan sendiri. Lantas kemudian langkahnya berhenti, membuatku takut.
"Ada apa?" tanyaku terbata-bata.
"Apa kau sudah pernah berciuman?"
"Apa? Dasar gila!" balasku mengumpatnya.
Dia berjalan melangkah mendekatiku sementara aku mundur lagi satu langkah.
"Jika suatu hari kau butuh bantuan ingin mencoba nikmatnya berciuman bibir, kau temui aku!"
Tanpa menoleh lagi, dia kembali membalikkan badannya lalu pergi melangkah dengan cepat. Aku membuang napas panjang sambil memegangi dadaku, setelah sejak tadi rasa ingin meledak di bagian itu.
Aku kembali pulang ke rumah, rasa lelah melangkah sudah tentu tak bisa lagi kutahan, tetapi sebagai satu-satunya anak yang di harapkan oleh kedua orang tuaku, aku harus semangat.
Akan tetapi, semenjak hubungan kedekatanku dengan kak Janet meregang, aku selalu merasa was-was ketika melewati rumah kediamannya.
Hari terus berlalu, entah sejak kapan hubunganku dengan Choco menjadi akrab dan kian dekat setelah kami kerap sekali bertukar pesan singkat.
Jarum jam sudah menunjuk ke angka 10 malam, aku hendak pergi tidur. Akan tetapi, suara getar ponsel mengurungkan niatku yang baru saja akan pergi tidur.
Dadaku bergetar, ketika melihat layar beranda ponselku yang menyala karena Choco meneleponku.
"Halo," sahutku lirih.
"Apakah sudah tidur?"
"Baru saja," jawabku singkat sambil melepas napas panjang.
"Rose..." panggilnya padaku. Dari suaranya dia seperti terdengar sedang menahan ucapannya.
"Ada apa?" tanyaku.
"Entah kenapa aku rindu, hehehe..."
Rasa di dalam hati kian berdebar-debar. Hingga membuatku menggigiti jari jemariku.
"Halo, Rose…"
Aku tersentak ketika Choco kembali bersuara. "Ah,ya? Aku dengar,aku mendengar mu." Aku menjawab dengan gagp.
"Hahaha… oh ya? lalu apa yang kau dengar barusan?"tanya Choco yang terdengar seolah meledekku saat ini.
"Rose, bisakah besok kita bertemu?"
"Eng, aku…"
"Tenang saja, aku hanya ingin melihat wajah mu secara dekat, itu saja. hanya sebentar,"ujar Choco dari seberang sana.
"Maafkan aku, aku tidak bisa pergi ke tempat lain hanya untuk bertemu dengan seorang laki-laki tanpa izin dari kedua orang tuaku."aku menjawabnya dengan apa adanya meski itu terpaksa.
"Aku akan datang ke rumah mu."
Aku kian terkejut mendengar nya berkata demikian. "Apa kau yakin?"tanyaku ingin meyakinkan.
"Tentu. Aku sangat yakin!"jawabnya dengan tegas.
Aku kembali terdiam dan berpikir, tentu ini akan menjadi hal yang lebih serius juga ketika ayah dan ibu melihat kedatangan Choco sementara dia memiliki keyakinan yang berbeda denganku. Bagaimana aku akan memberitahukan hal ini pada orang tuaku?
"Rose…"
"Baiklah…" jawabku menimpali suara Choco yang memanggilku kembali.
Entah kenapa hatiku seakan luluh di buatnya dan seolah lupa dengan adanya perbedaan keyakinan diantara kita berdua akan mendapatkan sebuah penentangan yang hebat dari kedua orang tuaku nanti.
Pagi pun tiba, aku telah siap untuk pergi ke sekolah pagi ini. Kulihat ibu tengah sibuk berkutat dengan peralatan dapur, aku menghampirinya dengan langkah kaki pelan.
"Bu, Rose pergi dulu." sambil meraih punggung tangannya aku berbicara.
"Hemm… hati-hati di jalan dan belajar lah yang rajin di sekolah."
Aku enggan segera pergi. Aku masih berdiri menatap ragu wajah ibu hingga membuatnya heran dan berbalik menatapku kembali.
"Ada apa, Nak?" tanya nya padaku.
"Bu, bolehkah aku meminta izin untuk seseorang datang kemari?" tanyaku dengan napas tertahan.
Ibu tampak semakin heran dalam menatapku. "Apakah dia lelaki?"tanya nya setelah menjawab pertanyaanku.
Aku sedikit terkesiap mendengar ibu menebaknya demikian. "I-iya, Bu…" jawabku menundukkan wajah dengan nada lirih dan terbata-bata dalam bicaraku.
"Hem… Sepertinya gadis kecil ibu ini sudah beranjak dewasa rupanya," jawabnya di sertai dengan senyuman meledekku.
"Iiih… Ibu, apaan sih?" aku tersipu malu akan ledekannya itu padaku.
"Sudah, pergi sana. belajar yang baik di sekolah, ibu tidak akan pernah melarang mu untuk menerima tamu siapapun itu asal dia sopan dan baik tentunya."
Aku mengulas senyum. "Ibu terbaik!" aku memujinya sembari mengecup kembali punggung tangannya.
Sejak tiba di sekolah, aku terus di bayangi oleh khayalan dan impian bagaimana aku akan bertemu dan bertatap muka dengan Choco. Hingga kembali jam pulang dan sampai di rumah kegelisahan terus mengganggu pikiranku.
Malam pun tiba. Aku merasa jam berputar begitu cepat hari ini. Aku terduduk di depan meja rias menatap wajahku yang natural tanpa polesan make up sedikitpun. Kutarik napas berulang kali sedalam mungkin, menunggu kedatangan Choco seperti sedang menunggu untuk masuk ke dalam ruang BK di sekolah.
Aku terkejut dan segera bangkit dari dudukku ketika mendengar suara ketukan pintu dari luar kamarku. Aku bergegas membukanya dan kulihat ibu berdiri di depan pintu kamarku dengan wajah lembut dan senyuman kecil tersimpul dari bibirnya.
"Ibu melihat ada seorang laki-laki berdiri di depan halaman rumah kita, ibu rasa dia teman mu."
"Dia… Ya, dia teman yang kumaksud pagi tadi, Bu. Dan dia juga teman kerja Reno,"jelasku pada ibu.
"Oh, jadi…"
Aku segera mengatup rapat bibirku ketika ibu hendak kembali berbicara.
"Dia berbeda keyakinan dengan kita, Rose. Kau tau itu?"lanjut ibu berbicara padaku.
Aku tak berani menjawabnya dengan suara, aku hanya mengangguk diam dan menatap wajah ibu dengan datar. Tampak ibu menghela napas panjang, entah apa yang di pikirkannya kali ini.
"Rose, kita memiliki keyakinan dan kepecayaan yang begitu kental sejak nenek moyang kita dulu. Jaga kepercayaan ibu, kau hanya boleh berteman dengan nya, tidak lebih!" Suara ibu terdengar begitu berat dan tegas menyampaikan hal itu padaku.
Tubuhku seperti terkunci, aku tidak bisa menggerakkan bibirku untuk menjawab kembali ucapan ibu, hatiku terasa sesak. Hatiku seperti merasakan patah hati yang serius. Ini tidak benar, sedang hubunganku dengan Choco belum di mulai, kita hanya berteman.
"Cepat lah keluar, kasihan dia menunggu lama di luar." Suara ibu mengejutkanku dari lamunan. Aku mengangguk begitu saja lalu melangkah untuk segera menemui Choco.
Sampai di teras aku benar-benar melihat Choco lah yang berdiri di sana.
"Ha-hai…" aku menyapanya dengan terbata-bata dan melambaikan tangan.
Dia membalas senyumanku seraya memberikan sebuah isyarat untuk melangkah masuk ke dalam halaman rumahku setelah sejak tadi dia hanya berdiri di depan sana. begitu kami saling berdekatan memandang wajah satu sama lain, ada rasa berkecamuk dalam hati bisa menatapnya begitu dekat.
"Hai…" sapanya disertai senyuman manis.
Aku tak bereaksi untuk meresponnya.
"Boleh aku duduk?" tanya nya kemudian membuatku kikuk saat tengah tenggelam menatap wajahnya.
"Bo-boleh, tentu saja."
Dia tersenyum lagi, seolah meledekku dari senyuman manisnya itu. lalu kami saling duduk berdampingan dan hanya terhalang oleh meja dari bahan plastik di antara kami. Dia masih diam, menatapku. Aku pun diam, aku tidak tahu harus darimana memulai pembicaraan dengannya.
"Aku…"kami saling memulai berbicara sehingga terhenti dan saling menatap tegang.
"KAu duluan saja." aku memintanya demikian.
Dia tersenyum lembut padaku. "Aku senang bisa bertemu dengan mu dengan jarak dekat seperti ini."
Aku mengerutkan keningku lalu tersenyum padanya. "Kau mulai menggodaku lagi."
"Tidak, aku serius. Selama ini aku hanya bisa menatap mu dari jauh dan itu terhitung hanya beberapa menit saja, aku hanya bisa mendengar suara mu dari udara saja. Tapi aku tidak mengganggu mu bukan?"
Aku menggelengkan kepala. "Tidak, ini malam minggu." Aku menjawab sekenanya dan singkat setelah sejenak mendengarnya banyak bicara padaku.
"Oh my God. Aku bahkan lupa ini malam minggu," ujarnya sambil menepuk keningnya dengan telapak tangan kanannya.