webnovel

Mendapat Penolakan

"Mas Vero, bangun," lirih Veronika sembari mengusap punggung Vero yang terlihat sedikit dalam balutan selimut.

Nyatanya mereka telah melewati malam panjang penuh gairah. Sampai-sampai Vero minta nambah terus.

Vero memang laki-laki yang sangat beruntung. Sudah ada sekian banyak daftar wanita yang berhasil dia renggut keperawanannya. Terakhir milik Aurel dan kali ini Veronika.

Wajah glow up memang tidak bisa dipungkiri daya tariknya.

Veronika terpaksa membangunkan Vero, karena batas kerjanya telah usai.

"Kenapa aku sama sekali tidak merasa rugi sudah ditiduri dia? Bahkan aku semakin ingin dan ingin lagi. Jujur, dia sangat pintar dalam bercinta."

Dalam pandangan yang berjarak hanya beberapa inci, Veronika menyempatkan diri memandangi serta mengagumi Vero.

"Mungkin tak apa jika aku sekali lagi mengecup bibirnya. Hitung-hitung untuk terakhir kali. Sebagai kenangan jika dia adalah laki-laki pertama yang merenggut kewanitaanku," batin Veronika sembari mendekatkan bibirnya pada bibir Vero.

Cup!

Pelan tapi ketagihan. Ya, Niat hati Veronika hanya ingin mengecup, ternyata hasratnya menginginkan lebih. Kecupan yang lembut itu berangsur masuk dan basah.

Vero yang tadinya masih pulas, langsung sadar. Nikmat! Itulah satu kata yang mampu mengekspresikan keadaan mereka saat ini.

Karena Veronika membuktikan kalau dia bisa bercinta, Vero pun tidak segan-segan mengulangi perbuatannya sekali lagi sebelum pulang.

***

"Ma ... Pa ... Vero pulang!" seru Vero sembari masuk dan menyusuri ruang tamu.

Kebetulan pintu rumah sudah terbuka, jadi Vero tidak perlu susah payah untuk membunyikan bel ataupun mengetuk pintu.

Lagipula kepulangan Vero bersamaan dengan waktu keberangkatan Abimanyu dan Melisa ke Kantor.

"Vero? Ke mana saja kamu dari semalam? Mama hubungi ke ponsel kamu juga tidak bisa!" jawab Melisa yang kebetulan sedang sarapan dan ruang makannya berdekatan dengan ruang tamu.

"Hehe, maaf, Ma ... sengaja Vero matiin ponselnya agar tidak ada yang ganggu," sahut Vero sambil cengengesan.

"Dasar!" Melisa menjitak kepala Vero sedikit keras.

"Uh, sakit!" keluh Vero sambil tangannya memegang kepalanya.

Melihat banyak makanan yang tersaji di meja, Vero langsung menyergap nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi.

"Uem!" Satu suapan berhasil masuk ke mulut dan terkunyah dengan sempurna.

"Hebat sekali, Mama bisa masak nasi goreng se-mantap ini!" puji Vero sambil terus melahap satu persatu suapan sampai mulutnya penuh.

"Kamu ini sebenarnya dari mana? Sudah bajumu lungset, wajahmu seperti bantal, pulang-pulang makan seperti orang pulang dari hutan dan gak makan selama setahun saja," ejek Sang Mama.

Tapi Vero tidak memperdulikan ucapan Melisa, dia terus melahap nasi goreng itu sampai tidak tersisa satu bulir nasi sedikitpun.

Setelah selesai, Vero lalu kembali mempertanyakan keberhasilan Mama dalam memasak.

"Ma, Vero masih penasaran, sejak kapan Mama bisa masak seenak ini? Perasaan masakan Mama dari dulu hambar. Asin kagak, manis pun tidak. Tapi kali ini, "UH MANTAP!" Vero mengungkapkan perasaanya.

"Kata siapa semua ini Mama yang masak? Orang masakan Istri kamu."

"Ha? Apa? Mama gak sedang bercanda kan?"

Tidak hanya Vero yang terkejut karena Melisa pun juga terkejut karena Vero.

"Kamu ini kenapa sih? Aneh banget!" celetuk Melisa mengernyitkan kening.

"Hoek! Hoek!"

Vero berusaha memuntahkan nasi goreng yang pada kenyataanya sudah masuk ke perut dan sedang dalam proses mencerna. Mana mungkin bisa dimuntahkan? Percuma!

"Vero! Jijik! Hentikan!" Melisa yang risih dengan sikap Vero lantas dengan tegas memarahi.

"Kenapa Mama gak bilang kalau yang masak Aurel! Sumpah, kalau aku tahu, gak bakalan aku makan tuh nasi goreng!"

"Kenapa sih?!"

"Kenapa gimana maksud Mama? Memangnya Mama gak jijik dengan semua makanan di atas meja ini? Aku melihat makanan ini saja langsung terbayang dengan wajah buruk rupa Aurel!"

"Oh, jadi itu alasannya? Kalau itu Mama juga sebenarnya risih. Tapi mau bagaimana lagi? Kita kan sekarang sudah tidak memiliki pembantu?"

"Ya Mama cari dong."

Perdebatan di antara Vero dan Melisa pun terjadi. Vero menginginkan pembantu baru dan Melisa tidak mau mengeluarkan uang untuk memberi gaji untuk pembantu.

"Sudah, kalian ini kayak anak kecil saja. Nanti kita bahas lagi. Sekarang, Papa mau berangkat kerja dulu. Ayok, Ma," sela Abimanyu dengan berdiri dan menggandeng tangan Melisa.

Sayangnya, Aurel sejak tadi mendengar pembicaraan di antara Vero dan Melisa. Aurel yang berdiri tetap di balik pintu sangat terpukul dengan pernyataan Suaminya.

"Mas Vero sudah tidak lagi menginginkan aku," lirih Aurel dengan air mata yang sudah bercucuran.

Setelah kepergian Melisa dan Abimanyu, tinggallah di rumah hanya ada Aurel dan Vero.

Vero yang kesal kemudian masuk kamar sembari mulutnya terus menggerutu.

"Aku tidak boleh diam saja. Masalah ini harus segera diselesaikan agar kedepannya bisa baik." Dengan rasa penuh percaya diri, Aurel mengikuti langkah Vero hingga ke kamar.

Baru juga Vero membaringkan tubuhnya, tubuh Aurel sudah berdiri di depan Vero. Tentu saja Vero kaget dan terperanjat dari ranjang super empuk miliknya.

"Brengsek! Ngapain kamu di sini! Keluar dan enyah dari hadapanku!" perintah Vero dengan nada tinggi dan membentak.

"Enggak, Mas. Aku gak mau pergi sebelum kita menyelesaikan masalah ini secara baik-baik. Lagipula aku ini masih SAH menjadi Istri kamu," tolak Aurel halus.

"Apalagi yang harus dibahas? Aku sudah bilang, kalau kita sudah SELESAI!"

"Selesai seperti apa yang Mas Vero maksud?"

"Apa kamu ini sudah tidak punya otak?! Kenapa hal seperti ini harus kamu pertanyakan? Ha?! Baik, kalau memang kepintaran di pikiranmu sudah luntur dan berkarat. Aku akan lebih memperjelas maksudku. AKU SEBENTAR LAGI AKAN MENCERAIKANMU! Sekarang, apa kau sudah puas?!"

"Enggak, Mas! Aku gak mau! Sungguh, di dunia ini hanya kamu yang aku punya. Jangan ceraikan aku ... kumohon ...."

Aurel terus merengek sambil mendekat ke arah Vero.

"STOP!!! Aurel, aku bilang STOP!"

Vero begitu ketakutan pada Aurel. Seolah-olah sedang melihat hantu.

Melihat kening Suami yang sudah bercucuran keringat, Aurel merasa kasihan. Dia pun menghentikan langkah kemudian mundur beberapa langkah menjauh dari Vero.

"Aku terlalu mencintaimu, Mas. Sampai-sampai aku tak sanggup membuatmu sedih dan ketakutan seperti ini. Apakah seburuk itu aku di matamu? Jika memang demikian, aku akan mencoba menyingkir dari hidupmu perlahan," batin Aurel iba.

Sungguh ironi bukan? Seharusnya yang mendapatkan belas kasihan adalah Aurel. Namun, pada kenyataannya berbanding terbalik!

"Nah, bagus! Benar begitu! Terus di tempatmu dan jangan maju-maju lagi! Kalau mundur boleh!" ucap Vero bisa bernafas lega.

"Mas ...."

"Apalagi? Kenapa kau ini hobi sekali memanggil! Tidak bisakah kamu diam? Biarkan aku mengambil nafas dulu! Pergi sana!"

"Aku akan pergi kalau kamu berjanji tidak akan menceraikan aku."

Tidak disangka Vero mendapatkan perlawanan dari Aurel.

"Jangan coba-coba mengancam! Mau kamu mengemis perdetik pun, keputusanku sudah bulat! Persetan dengan dirimu! Dasar WANITA HINA!!!"

***

Bersambung.