Walau Jean tidak sepenuhnya memahami permintaan Lilia, dia tidak bertanya lebih lanjut.
Setelah kejadian dimana Lilia memarahinya karena mengatur segala sesuatu tanpa menanyakan pendapat wanita itu, Jean memahami sesuatu. Wanita di hadapannya ini adalah seseorang yang independen dan punya pemikirannya sendiri. Lilia bukanlah seekor burung dalam sangkar.
Hal terbaik yang dapat Jean lakukan untuk wanita seperti itu adalah menghormati keinginannya.
"Terima kasih banyak, Jean." Suara Lilia menarik pria itu kembali ke kenyataan. Lilia memberikan senyuman terlebar yang pernah dilihat Jean. Wajah cantiknya berseri-seri dan dia terlihat lebih manis dari biasanya. "Informasi ini sangat membantu. Aku lega aku meminta bantuanmu."
Benar-benar wanita yang licik, pikir Jean. Kalau Lilia terus menunjukkan senyum semanis itu padanya, dia tidak akan bisa menolak apapun permintaan wanita itu. Keinginannya untuk menggoda Lilia kembali muncul.
"Hanya ucapan terima kasih saja?" Jean bersedekap dan mengangkat alisnya. "Apa kamu pikir itu cukup?"
Senyum Lilia membeku. Jean menahan tawa saat melihat Lilia memandang berkeliling, seolah mencari cara melarikan diri.
"Um…bagaimana kalau aku mentraktirmu makan malam?" Lilia mengusulkan hal pertama yang muncul di pikirannya.
Namun sedetik kemudian, wajah Lilia memerah malu karena telah memberikan jawaban yang sama persis seperti sebelumnya. Jean merasa kalau pola pikir wanita ini yang unik tidak pernah berubah. Sejak kapan pria kaya sepertinya akan membiarkan tunangannya yang mentraktir?
Jean tertawa kecil. "Kupikir aku sudah bilang kalau aku tidak butuh ditraktir." Sambil mengatakan itu, Jean menekan nomor extension Kenny. "Pesankan tempat di Restoran Hirayuki." Ucapnya singkat.
"Siap, Presiden!"
Lilia menatap pria yang sedang menutup telepon itu lekat-lekat. Ketika dia pikir sikap dominan Jean sudah mengalami perbaikan, pria itu kembali mengambil keputusan tanpa meminta pendapatnya.
"Hm, padahal aku ingin mengajakmu makan sesuatu yang pedas." Sindir Lilia.
"Jangan khawatir, Restoran Hirayuki juga punya makanan yang pedas." Jawab Jean santai. "Apapun yang kamu ingin makan, tempat itu bisa menyediakannya."
Lilia menghela nafas panjang. Pria ini sama sekali tidak berniat memperbaiki sikapnya!
*****
Restoran Hirayuki terletak di pinggiran kota. Walau lokasinya jauh dari keramaian, restoran ini justru populer karena suasananya yang sepi dan adanya pemandangan pegunungan yang indah. Selain itu, Restoran Hirayuki juga terkenal hanya menggunakan bahan-bahan alami dalam masakannya.
Ketika Jean dan Lilia tiba di sana, waktu sudah menunjukkan pukul enam. Suasana senja dan aroma rumput yang segar memberi Lilia perasaan tenang dan damai. Dia menyusuri jalan setapak menuju restoran itu dengan langkah ringan.
Sesekali dia melirik pria yang berjalan di sampingnya. Jean telah meninggalkan jasnya di kantor dan hanya mengenakan kemeja hitam. Rambut pirangnya terlihat kontras dengan suasana yang remang-remang.
Seorang pelayan restoran itu mengantar mereka ke ruang makan outdoor yang memperlihatkan pemandangan gunung secara jelas. Meja-mejanya terbuat dari batu yang dipahat sedangkan kursi kayunya dialasi bantal empuk agar para pelanggan dapat makan dengan nyaman.
Lilia memandang berkeliling, mengagumi ruang makan terbuka yang tampak berkelas dan suasana alam yang kental. Namun ada satu hal yang mengganggunya. Di tempat seluas ini yang bisa menampung puluhan orang, hanya ada mereka berdua saja.
Setelah duduk di salah satu meja, Lilia menanyakan ini pada Jean. "Aku dengar restoran ini sangat populer dan sulit sekali untuk mendapat meja. Tapi kenapa tidak ada orang lain selain kita di sini sekarang?"
Pelayan yang bertanggung jawab atas meja mereka membuka mulut untuk menjelaskan, tapi Jean melontarkan tatapan tajam padanya. Pelayan itu buru-buru menutup mulutnya dan menyerahkan buku menu pada mereka dalam keheningan.
"Bahkan restoran populer pun terkadang bisa menjadi sepi." Kata Jean tanpa menunjukkan rasa bersalah. "Nikmati saja kesempatan langka ini."
Lilia menyembunyikan senyumnya di balik buku menu. Sepertinya Kenny memesan seluruh tempat ini hanya supaya makan malam mereka tidak terganggu.
Saat Lilia mulai membaca buku menu-nya, dia mendengar bunyi notifikasi dari telepon genggamnya. Dia meletakkan menu itu dan segera mengecek teleponnya. Notifikasi itu menyebutkan kalau Lilia mendapat sebuah SMS baru.
Dia membuka pesan itu dan matanya berkilat senang saat melihat nama pengirimnya. Alfred Ricardo, dosen wali Daniel. Pria itu memberitahunya kalau orangtua mahasiswi itu setuju untuk bertemu dan membicarakan kasus ini dua hari lagi.
Ketika Jean selesai memesan dan menutup buku menu-nya, dia menemukan kalau Lilia tidak menyentuh menu-nya dan justru sibuk dengan teleponnya. Jean mengerutkan kening dengan kesal sebelum mencuri pandang ke arah layar telepon Lilia. Dia bisa melihat wanita itu sedang membaca sebuah SMS dan bukan pesan dari aplikasi Lain.
"Apa ada masalah?" Jean berusaha bertanya dengan nada senetral mungkin.
Namun Lilia bahkan tidak mengangkat wajah. Dia hanya menggeleng. "Tidak ada, aku akan segera selesai."
Jean tidak menanyainya lagi, tapi matanya berubah menjadi sedingin es. Dia sudah menyelidiki semua hal tentang Lilia, termasuk siapa saja yang sering berkomunikasi dengannya. Namun semua komunikasi itu selalu dilakukan lewat aplikasi Lain. Jadi orang yang sedang menyita perhatian tunangannya saat ini adalah seseorang yang tidak diketahui Jean.
Siapa orang itu? Mata Jean berkilat mengancam, membuat pelayan yang berdiri di samping meja gemetar ketakutan.