Deg... Deg... Deg...
Jantung Guin berdebar. Telapak tangannya mulai berkeringat saat Gavin menggandeng tangannya dengan erat.
Ekspresi wajah Gavin yang seperti anak kecil, bisa membuat Guin berdebar. Apalagi wajah tampannya itu benar-benar seperti pria dewasa, mungkin Guin bisa jatuh cinta dalam hitungan detik.
"Guin, ayo!" rengeknya manja.
'Entah kenapa, kau yang manja seperti ini membuatku menyukaimu. Mungkin tidak buruk jika aku menikah denganmu,' batin Guin.
Tempat yang di tuju pertama kali oleh Gavin adalah rumah hantu. Suara mengerikan terdengar dari luar.
"Guin tidak takut'kan? Aku mau masuk ke sana!" rengek Gavin.
"Ah, tidak. Aku tidak tidak takut," bohongnya.
Tubuh Guin gemetaran tapi Guin tidak ingin mengecewakan Gavin yang sangat bersemangat untuk masuk ke dalam rumah hantu.
Gavin dan Guin menunggu Ralio yang sedang membeli tiket masuk. Antrian tidak seberapa panjang sehingga Ralio tidak membutuhkan waktu lama.
"Guin sekarang umur berapa?" Gavin berusaha mengalihkan pikiran Guin.
"Aku 20 tahun," jawab Guin.
"Guin tidak bertanya umurku?" tanya Gavin seperti meminta perhatian kecil dari Guin.
"Gavin tahun ini umur berapa?"
"5 tahun. Hahaha..."
Guin ikut tersenyum melihat Gavin tertawa. Sikap polos, lugu, jujur yang dimiliki oleh Gavin membuat Guin terenyuh.
"Tuan, Nona, saya sudah mendapatkan tiketnya," ucap Ralio yang baru saja tiba.
"Ayo!" Guin juga mengira Ralio akan ikut masuk.
"Tidak, Nona. Saya harus berjaga di sini. Nona dan Tuan silahkan menikmatinya," Ralio mengedipkan sebelah matanya pada Gavin.
Guin tidak bisa menolak. Tiket sudah ada ditangan. Guin memeluk lengan Gavin dengan erat. Debaran jantung Gavin terdengar karena kepala Guin yang dekat dengan dada Gavin.
Gavin bersikap tenang, seperti sudah terbiasa dengan tempat gelap yang mengerikan. Dia juga membiarkan Guin bergelayut dilengannya.
'Guin, kau juga memiliki rasa takut ya,' batin Gavin.
HIHIHIII.....
Suara-suara menyeramkan yang terdengar, sangat menakutkan. Gavin menghentikan langkahnya, otomatis Guin juga ikut berhenti.
"Kenapa berhenti?" tanya Guin gugup.
Gavin menatap Guin dari tempat gelap yang dipenuhi dengan suara-suara horror yang membuat sekujur tubuh merinding. Gavin dengan berani meletakkan tangannya di atas kepala Guin lalu mengusapnya lembut seperti yang Guin lakukan padanya.
"Apa sekarang Guin sudah tenang?"
Guin terpesona hanya dengan perhatian kecil dari Gavin. Tapi, ketika tersadar, semuanya tidak mungkin karena apa yang dilakukan oleh Gavin, sama seperti saat Guin memperlakukannya.
"Sudah! Ayo kita lanjutkan lagi," jawab Guin.
Suara dentuman keras membuat Guin terkejut. Guin memeluk Gavin dengan erat. Tubuh Gavin kaku dan tidak bisa bergerak, debaran jantunganya juga lebih cepat dari sebelumnya.
Guin tahu kalau suara-suara itu hanyalah rekaman untuk membuat suasana semakin dramatis, hanya saja Guin yang tidak suka gelap merasa semua itu nyata dan mengerikan.
"Gavin, kau tidak takut masuk ke sini tapi kenapa kau mengajakku untuk ke sini?" tanya Guin tanpa melepaskan pelukannya.
"Mau main," jawaban manja andalah Gavin tidak bisa dibantah.
'Sebenarnya karena aku ingin melihat seberapa kau membutuhkanku,' batin Gavin.
Hihihiiiii
JEDUMMM... JEDUMMM
"Kyaaaaaaa!!! Gavin aku takut," teriak Guin.
Gavin seperti pria yang memiliki pesona yang tinggi. Pria kuat dan bertanggungjawab karena menggendong Guin yang memeluknya dengan erat.
"Ah, apa yang kau lakukan?" pekik Guin.
"Gendong Guin," jawab Gavin.
Gavin berhasil melihat seberapa rapuhnya Guin. Setelah melewati beberapa lika-liku, akhirnya Gavin membawa Guin keluar dari tempat yang begitu menyeramkan itu.
Guin tetap tidak melepaskan tangannya yang melingkar dileher Gavin. Guin seperti ketakutan setengah mati. Gavin tersenyum dan kemudian duduk dengan memangku Guin tanpa peduli seberapa berat tubuh Guin.
"Guin, kita sudah diluar," bisik Gavin.
Lagi-lagi, suara dan nada bicaranya, juga senyum tipis yang hampir tak terlihat itu membuat Guin memiliki harapan lain.
"Guin berat," rengak Gavin.
"Ma—maaf!"
Bayangan indah sirna. Guin malah menertawai dirinya sendiri dalam batinnya. Pikiran yang sempat melambung tinggi langsung jatuh ke daratan setelah mendengar rengekan Gavin.
"Ralio, ayo kita makan," rengek Gavin.
"Sebelah sana ada resto. Saya sudah mengeceknya dan semuanya aman," jelas Ralio.
"Makan! Guin, kita makan! Yeeee kita makan," teriak Gavin.
'Kenapa tatapan matanya saat mengatakan makan memiliki arti lain?' batin Guin.
***
Pernikahan Gavin dan Guin seperti sebuah ancaman untuk Aland karena Aland bisa tersingkir dari hak waris. Sellia belum ingin menikah sehingga Aland dan Sellia hanya bertunangan sejak 3 bulan yang lalu.
Kebencian Aland pada Gavin membuatnya nekad melakukan berbagai cara untuk menggagalkan pernikahannya. Aland yang bersekongkol dengan Nyonya Amber, membuat sebuah rencana yang tidak bisa diprediksi oleh siapapun.
"Kalau rencana kita gagal, aku akan menghancurkan pernikahan mereka sebelum menginjak usia 3 bulan," ucap Aland licik.
"Hancurkan saja. Ibu mendukungmu," ucap Nyonya Amber yakin.
"Anak cacat itu tidak akan bisa melayani Istrinya. Sudah tentu dengan pesonaku ini, wanita itu akan menyelinap ke dalam kamarku."
***
"Makanan datang! Makanan datang!" teriak Gavin sembari tepuk tangan girang.
"Nona, Tuan muda tidak bisa makan sendiri. Makanan akan berantakan," ucap Ralio.
"Biar aku yang urus."
Guin menyingkirkan makanan miliknya lalu mengambil piring Gavin. Sendok sudah dipenuhi makanan lalu Guin menyuapi Gavin dengan pelan.
"Makan yang banyak supaya cepat besar," Guin memperlakukan Gavin bukan seperti Istri pada Suaminya, tapi seperti pengasuh dengan anak Tuannya.
Gavin menghabiskan makanannya tanpa sisa. Sekarang giliran Guin yang makan. Gavin makan dengan cepat sehingga makanan Guin tetap hangat.
"Guin, kotor," Gavin tiba-tiba saja berinisiatif mengelap pinggir bibir Guin yang terdapat makanan menempel.
"Ah, iya. Terimakasih!" Guin gugup dan tidak menyangka dengan tindakan Gavin.
"Guin, besok kita akan menikah. Guin senang?" tanya Gavin.
"Senang," jawab Guin.
"Aku juga senang karena aku akan tidur dengan Guin," ucap polos.
Uhuk... Uhuk... Uhuk...
Guin tersedak ketika Gavin membicarakan hal yang menurutnya terlalu vurgar di depan Ralio. Meskipun tidak akan ada yang terjadi karena Gavin tidak akan mungkin mengerti hal-hal dewasa seperti itu.
"Guin, minum dulu," Gavin memberikannya segelas air.
"Terimaksih! Emmmm Gavin, Gavin tahu soal tadi, siapa yang mengajari?" tanya Guin dengan tersipu.
"Ralio!" tunjuk Gavin pada Ralio.
"Hah? Kenapa jadi saya?" pekik Ralio.
"Guin, Ralio marah," rengek Gavin.
"Tuan Ralio, minta maaflah!" pinta Guin.
"Tuan, saya hanya terkejut dan tidak berniat untuk marah. Maafkan saya," ucap Ralio mengalah karena Guin menginjak kaki Ralio sebagai permohonan kerjasama.
Gavin kembali duduk diam meskipun kepalanya menoleh ke kanan maupun ke kiri seperti mencari sesuatu.
Guin mengerutkan keningnya hingga kedua alisnya yang tebal menyatu. "Gavin sedang mencari siapa?" tanya Guin.
"Toilet!"
"Hah? To—toilet?" pekik Guin.
"Aku mau..."
"Tuan Ralio, jangan katakan kalau Gavin juga tidak bisa melepaskan celana," pekik Guin gugup.
"Tebakan Anda benar, Nona Guin."
"APA???"