webnovel

Bab 33. BERTEMU DEWI KEMATIAN

Gayatri menutup matanya untuk selamanya. Astamaya mengguncang-guncang badan Gayatri. Secara tidak sengaja kitab Naga Geni jatuh dari balik pinggang Gayatri. Astamaya mengambilnya, kemudian menyimpan di balik bajunya.

Astamaya sedikitnya tahu tentang kitab itu. Dulu dia dan Gayatri pernah bersama-sama mempelajarinya. Namun, kini adik angkatnya itu telah pergi dan tak mungkin bersama lagi.

Astamaya duduk terpekur di pusara Gayatri. Sayang Gayatri tidak sempat menceritakan siapa yang menyerangnya. Kalau tahu dia pasti akan membalaskan dendam adiknya itu. Astamaya bergegas pergi menuju padepokan gurunya. Dirinya harus memberi tahu kepada Eyang Wisesa, apa yang menimpa Gayatri. Astamaya tidak memperdulikan kepergian Untari, toh nanti juga dia akan pulang dengan sendirinya, begitu pikirnya.

Astamaya kaget dengan keadaan padepokan yang porak-poranda. Dia berlari menuju ke dalam pondok, tidak terdapat gurunya di dalam pondok. Astamaya berlari kembali ke luar pondok.

"Guru ... Guru! Dimanakah engkau Guru?" Astamaya berteriak-teriak.

Tidak ada jawaban karena memang tidak ada orang lain lagi di sana. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sebuah gundukan tanah yang masih merah. Hatinya tercekat, perlahan-lahan lelaki itu mendekati makam tersebut. "Guru!" Astamaya menjerit begitu melihat tulisan di sebuah batu yang diletakkan di ujung gundukan tersebut.

Tanpa suara Astamaya menangis. "Siapa yang berlaku ini padamu? Aku akan membuat perhitungan!" Astamaya berteriak marah. Dia menghantam pohon terdekat dengan jurusnya. Pohon roboh meninggalkan daun-daun dan ranting yang berterbangan.

Astamaya mencari petunjuk di sekitar pondok, untuk mengetahui siapa kira-kira pelakunya yang telah membantai guru dan adik angkatnya itu. Matanya jelalatan mencari ke sana kemari. Namun, dia tidak menemukan petunjuk apa pun. Lelaki itu akan pergi meninggalkan tempat itu, saat kakinya tidak sengaja menginjak sesuatu. Astamaya mengambilnya, mengamati benda tersebut.

"Benda apakah ini? Sepertinya potongan kecil sebuah topeng," Astamaya bertanya sendiri menjawab sendiri. Dia menyimpan benda tersebut ke balik ikat pinggangnya, kemudian melesat pergi meninggalkan padepokan Eyang Wisesa.

*******

"Kakang ... kamu tega!" teriak Untari di ambang goa.

Untari sangat kecewa melihat perselingkuhan suaminya dengan Gayatri. Wanita itu melihat Gayatri tengah memeluk leher Astamaya. "Dasar manusia jalang!" teriaknya sambil melesat menjauhi goa. Dia masih berharap ini adalah sebuah kesalahan. Sepanjang pelarian air matanya tumpah tidak bisa dibendung lagi.

Untari sesekali menengok ke belakang, berharap Astamaya mengejarnya dan menjelaskan apa yang terjadi, tetapi nihil, Astamaya tidak nampak di belakangnya. "Kau terkutuk, Astamaya!" Wanita itu menghantam sekelilingnya dengan membabi-buta. "Aaah ...." Teriakannya menggema menabrak tebing dan memantul seolah-olah mengejeknya.

Untari marah dan menghantam tebing batu di hadapannya dengan jurus Matahari Terbenam. Tebing itu hancur berkeping-keping. Kembali Untari menghantam apa saja yang ada di hadapannya dengan emosi yang membuncah seperti akan memecahkan kepalanya.

"Dengarkan sumpahku, Astamaya! Bila hari ini kau tidak datang dan meminta maaf kepadaku, aku akan berubah menjadi dewi kematian untuk musuh yang berhadapan denganku!" teriaknya berapi-api. "Dengarkan sumpahku! Dengarkan sumpahku!" Petir menggelegar, mengaminkan sumpahnya.

Seperti orang yang kesetanan Untari tetap berteriak-teriak sampai suaranya habis. Terduduk di tanah, kepalanya tertunduk, bersimpuh sambil menangis. Bahunya terguncang-guncang, pertanda hatinya sedang tidak baik-baik saja. Batinnya merasa sangat pilu.

Setelah puas menangis wanita itu mendongakkan wajahnya, menatap sisi tebing yang separuhnya sudah hancur karena hantamannya. Kosong, tidak ada apa pun di sana. Tebing itu kemudian berubah menjadi seperti layar tancap yang memutarkan kembali episode-episodenya bersama Astamaya.

Sampai sore Astamaya yang dinantikan tidak kunjung mencarinya. Rasa kecewa, marah, kesal, sedih campur aduk menjadi satu. Wanita itu bangkit, sekali lagi dihancurkannya tebing yang sisa separuh. Dia berkelebat pergi di telan kegelapan malam yang mulai hadir.

Di suatu tempat yang lain, Astamaya yang meratapi kematian Gayatri dan gurunya secepatnya mencari Untari. Terlambat, dia hanya menemukan puing-puing tebing yang hancur luluh. Kemana lagi akan mencari Untari kini. Hati Astamaya kian patah, dia tidak menyangka sikapnya yang mengabaikan Untari akan berakibat sefatal ini. Langkah yang diambil karena menolong Gayatri yang sekarat sudah melukai istrinya.

Sejak saat itu tersiar kabar yang semakin hari semakin santer. Ada satu sosok baru muncul di jagat persilatan, seorang wanita dengan pakaian serba hitam serta penutup wajah muncul dengan kesadisannya dalam menghabisi musuh. Ia tidak pernah mengampuni orang yang berhadapan dengannya, selalu berakhir dengan kematian. Ia berjuluk Dewi Kematian.

Kabar itu sampai ke telinga Astamaya. Lelaki itu mencarinya karena ciri-ciri jurusnya, hampir sama dengan dirinya. Sampai suatu hari pendekar tangguh itu berkesempatan melihat sepak terjang Dewi Kematian yang sedang menghabisi musuhnya.

"Dewi, mengapa kau begitu kejam? Bukankah musuhmu sudah berjanji tidak akan berbuat jahat lagi?" tanya Astamaya yang tiba-tiba berdiri di hadapan Dewi Kematian.

Dewi Kematian sangat terkejut mengetahui ada orang lain di tempat itu, air mukanya sesaat berubah di balik cadarnya. Cepat dia menguasai diri.

"Kisanak, siapa kau? Berani-beraninya kau mengomentari hidupku?!" seru Dewi Kematian marah. Matanya terlihat berkilat memandang Astamaya.

"Aku Astamaya, datang ke sini karena bau anyir kematian yang kau tebarkan," sindir Astamaya.

"Urusanmu apa, hah? Mereka sampah, tidak pantas hidup di dunia ini!" ujar Dewi Kematian keras. Hatinya sesungguhnya bahagia sekaligus benci melihat Astamaya.

"Aku yakin hatimu sesungguhnya tidak sekejam itu, Nyai, pasti secantik parasmu yang kau sembunyikan," ujar Astamaya.

"Kurang ajar! Sekali lagi kau menilai diriku, aku jadikan kau abu gosok!" gertaknya. "Hiaaat ... hiat." Dewi Kematian melabrak Astamaya dengan serangan mematikan. Astamaya menghindar, ia meloncat ke sebelah kiri.

Blaaar.

Serangan Dewi Kematian menghantam sebuah batu besar. Benar saja batu itu berubah menjadi bubuk. Astamaya bergidik melihat kehebatan Dewi Kematian, pantas saja di jagat persilatan ia menjadi momok yang paling menakutkan saat ini.

Sekali lagi Dewi Kematian dibuatnya murka. Ia merangsek menyerang lagi, Astamaya heran, mengapa Dewi Kematian sangat menginginkan nyawanya?

"Mengapa kau menyerangku terus-menerus, Dewi? Aku tidak punya salah padamu?" tanya Astamaya.

"Siapa bilang kau tidak punya salah padaku, hah! Kesalahanmu sepenuh bumi ini, kau telah menyakiti hati--"

"Kk--au ss--si--pa?" potong Astamaya sambil tergagap.

Dewi Kematian menutup mulutnya sendiri. Dirinya keceplosan mengatakan satu rahasia besar. Gadis itu y melesat pergi meninggalkan Astamaya yang kaget dengan pengakuan Dewi Kematian. Berkelebat secepat kilat dengan ilmu yang semakin sempurna.

"Untari, tunggu!" teriak Astamaya. Lelaki itu segera menyusul kepergian Untari.

Begitupun dalam pikiran Wisaka. Perlahan-lahan semua kabur dalam pandangan Wisaka. Dia kembali mendengar gemercik air yang mengalir di sungai kecil. Eyang Astamaya terlihat sedang duduk bersila di depannya. Sejak pertemuannya dengan roh Eyang Astamaya, kejadian-kejadian aneh selalu di alaminya.

"Eyang ... Eyang!" Wisaka mengguncang-guncang bahu kakek tua itu.

Eyang Astamaya membuka matanya, nampak bola matanya memerah seperti orang yang habis menangis. Wisaka tertegun melihatnya. "Eyang Astamaya menangis? Mengapa?" batinnya.