Gemericik air menjadi melodi penenang kegelisahan yang sedang dirasa oleh Luna Skye sekarang ini. Memang benar bukan dirinya yang sedang tertimpa masalah besar yang menyeret namanya dan segala kehidupan pribadinya sekarang ini, namun Tuan Ge. Ge Hansen Joost nama panjangnya. Pria gagah pemilik Ge Sketchbook Company inilah yang sukses membuat Luna sedikit resah sekarang. Tuan Ge dalam bahaya, lebih tepatnya karier dan perusahaan yang dibangunnya selama berpuluh-puluh tahun sedang diambang kehancuran sebab sebuah kesalahan yang diyakini tidak berasal dari dalam diri pria gagah itu.
Luna mengkhawatirkan pria itu. Bukan rasa suka yang berkembang menjadi rasa cinta penuh gairah, Luna hanya sedang bersimpati saja. Ia tak tahu kalau dalam dunia bisnis terkesan begitu berat seperti ini. Bagaimana bisa Luna mengatasi kalau ia berada di posisi Tuan Ge sekarang.
"Sudah lama menunggu, Nona Luna?" Seseorang menyela dirinya. Sukses tatapan mata gadis itu terambil. Tepat menitik pada paras tampan yang baru saja datang membawa senyum manis yang merekah sempurna. Bak manusia tak sedang dalam masa penghakiman dari sang kuasa, Tuan Ge terlihat begitu tenang dan menguasai. Dalam dirinya seakan hanya ada rasa nyaman, aman, tenang, dan damai saja.
Tidak, Luna yakin bahwa rasa aneh sedang menyelimuti pria itu. Sekokoh dan sekuat apapun seorang laki-laki seperti Tuan Ge ini, tetaplah seorang manusia biasa yang akan tumbang pada masanya.
"Lumayan." Luna menyahut. Ikut memberi senyum manis sembari berjalan menjauh dari air mancur kecil yang sengaja di bangun di sudut ruang kerja Tuan Ge.
Luna datang ke dalam bangunan Ge Sketchbook Company bukan tanpa alasan yang jelas. Ia datang sebab sebuah perihal yang harus segera diselesaikan olehnya. Laporan jadwal magang yang harus disetujui oleh Tuan Ge membuat Luna datang di tengah masalah yang sedang merundung pria itu. Sedikit tak enak hati memang, akan tetapi mau bagaimana lagi? Luna juga mempunyai kewajiban yang mendesak.
"Duduklah. Aku akan minta office boy untuk menghantarkan dua cangkir kopi." Sangat ramah tak terkesan sombong dan arogan. Pembawaan Tuan Ge padanya benar-benar hangat dan nyaman. Membuat Luna seakan sedang berkunjung langsung ke tempat kerja teman lamanya.
"Tidak, tidak usah. Aku hanya sebentar." Gadis itu menolak sembari mengguncangkan perlahan kedua tangannya. Tersenyum manis berjalan mendekat pada Tuan Ge.
Keduanya duduk di sisi sofa. Saling berhadapan dengan Tuan Ge yang membuka lebar kedua kakinya. Menyangga tubuh kekar berdada bidang itu dengan kedua sikunya sembari menautkan jari jemari panjang nan indah miliknya.
"Sebenarnya aku bisa menitipkan ini pada sekretarismu, tapi katanya—"
"Dia sedang mendampingi Elsa bekerja." Tuan Ge menyahut. Senyum kuda mengembang dengan manis.
"Kau pasti kesulitan bekerja sendiri." Luna menyahut. Dengan rekah senyum manis yang tak pernah pudar dari atas bibir ranumnya.
Tuan Ge menaikkan kedua bahunya. Tak memberi respon hanya memfokuskan tatapan matanya untuk menatap rentetan huruf yang tersusun rapi di dalam dokumen cetak yang diberikan Luna beberapa detik yang lalu.
"Di mana aku harus bertanda tangan?"
"Kau harus menelitinya. Jika tak setuju dengan jadwal itu aku bisa—"
"Aku mempercayai dirimu, Nona Luna," sahutnya memotong kalimat dari sang gadis cantik yang kini hanya menganggukkan kepalanya ringan. Tegas tatapan mata Tuan Ge menyisir setiap kalimat yang menjadi penutup dokumen kertas di depannya. Sesegera membubuhkan tanda tangan untuk menyetujui apapun yang ada di depannya..
Ia kembali mendorong dokumen itu mendekat pada Luna. Mengembalikan pena gadis itu dan menatapnya teduh. "Aku tidak sabar bekerja denganmu, Nona Luna."
"Panggil aku dengan sebutan Luna. Itu akan lebih nyaman untukku," ucapnya meminta. Ge hanya menganggukkan kepalanya. Baiklah, tak sulit. Hanya cukup menghilangkan kata Nona di depan nama Luna. Yang sulit itu mencoba untuk menyesuaikan suasana yang tercipta di antara mereka saat ini.
Atmosfer canggung nan aneh mulai membentang kala tak ada lagi yang terucap dari bibir Luna maupun Tuan Ge. Keduanya sama-sama bungkam seribu bahasa dalam sepersekian detik berjalan.
"Aku turut sedih dengan berita itu, Tuan Ge." Luna akhirnya menyela. Merapatkan jari jemarinya untuk menggenggam dokumen kertas yang ada di pangkuannya sekarang ini. Memulai obrolan dengan orang berpangkat memang hal yang sulit untuk dilakukan. Selain canggung, juga sangat aneh rasanya.
"Terimakasih, Luna."
"Ngomong-ngomong beberapa temanku mengatakan bahwa itu mungkin bukan kau yang melakukannya. Meraka mengatakan bahwa—"
"Elsa," sahut Tuan Ge kembali menyela. Lagi-lagi pria itu memotong kalimat Luna. Tanpa basa-basi ia menyebut nama istrinya sendiri.
Luna terdiam sejenak. Mencoba untuk mencocokkan keadaan yang mulai terlibat berbeda sekarang ini. Luna tak mengerti bagaimana cara Tuan Ge berpikir sebenarnya? Jikalau benar ini adalah ulah sang istri, bukankah seharusnya ia marah dan mengamuk sekarang ini?
"Istriku yang melakukannya." Ge mengimbuhkan. Kembali tatapannya tertuju pada gadis yang baru saja menyentakkan kedua alisnya naik secara bersama. Matanya membulat dengan bibir terbuka yang kini mulai mengatup kembali.
"Kau tak marah karena itu?" Sukses pertanyaan singkat itu membuat Tuan Ge menatap Luna dengan penuh makna.
Luna segera mengalihkan pembicaraan. Ia baru saja ingin masuk ke dalam hiruk-pikuknya rumah tangga seorang Ge Hansen Joost. Luna tak perlu tahu jikalau sebelum datang kemari Tuan Ge bertengkar hebat dengan sang istri. Ia hanya perlu tahu bahwa Tuan Ge masih baik-baik saja sekarang. Tak kalut sebab dimangsa oleh masyarakat.
"Hanya kesalahan pahaman. Elsa sudah menjelaskan. Jadi aku memaafkannya." Tuan Ge mempersingkat. Mengembangkan senyum manis pada gadis cantik yang ada di depannya untuk memberi kesan ramah pada Luna.
"Maaf jika terlalu ikut campur dalam bahasa rumah tanggamu, Tuan Ge. "
Ge menggelengkan kepalanya ringan. Lagi-lagi lengkungan bibir menjawab untuk memberi respon pada kalimat singkat yang diucapkan oleh Luna.
Gadis itu kini kembali diam. Menatap sekeliling ruang kerja yang bisa dikatakan sangat megah, luas, dan mewah. Tak ada yang rusak di sini, semua barang yang tertata di dalam kantor Tuan Ge benar-benar baru dan mahal berkualitas.
"Kalau begitu aku pergi dulu, Tuan Ge."
Luna bangkit dari tempat duduknya. Berniat hati untuk pergi dari hadapan Tuan Ge selepas memberi salam penghormatan untuk menunjukkan betapa sopannya Luna sekarang. Ge mencegahnya. Menarik pergelangan tangan Luna agar gadis itu tak berpaling dan pergi meninggalkan dirinya begitu saja.
"Ada yang salah?" Luna bertanya dengan lirih. Melirik genggaman tangan Tuan Ge yang kini mulai melunak. Pria itu melepaskannya. Kini mata elangnya tertuju pada Luna, si gadis cantik yang diam sembari menunggu dirinya berbicara.
"Hanya ... hati-hati di jalan, Luna."
Sial! Kalimat seperti itu saja harus diucapkan oleh Ge dengan penuh keraguan. Takut kalau Luna tak nyaman dan menganggap dirinya sebagai bos mesum.
... To be Continued ...