Hari ini pagi lagi, hari-hari yang harus bekerja keras, harus bangun pagi dan tidak boleh telat itu sudah menghilang seperti mimpi. Mereka hilang dan bahkan keluarga Lia, semuanya hilang seakan-akan mereka tidak pernah ada.
Tidak ada lagi nenek yang ceria dengan senyum hangatnya, serta masakannya dan suaranya yang Lia rindukan. Tidak ada lagi orang tua Lia yang memberikan Lia pelukan, tidak ada Catty kucing Lia yang Lia pungut dari jalanan yang selalu menungguinya pulang.
"Mereka semua tidak ada lagi, tidak ada. Sebenarnya ..., Ya Tuhan, bagaimana caraku pulang?"
Lia ingin pulang, walau di sini banyak kemewahan dan Lia tidak perlu bekerja. Lia rasa keluarga tidak ada bandingannya, uang bisa dicari sedangkan keluarga kalau sudah hilang ..., sangatlah sulit untuk ditemukan. Lia memeluk dirinya sendiri di tempat tidur, sambil bertanya-tanya bagaimana dia bisa ada di sini. Mengapa Lia malah ada di sini, bukannya mencari uang untuk keluarganya—rutinitas yang selalu Lia lakukan.
Atau ...,
Mengapa Lia jadi merindukan ocehan tetangga yang menyebalkan itu? Lia terdiam sambil memikirkan apa ini karma untuk Lia? Yang durhaka pada orang-orang tua yang menceramahinya untuk segera nikah, lalu Lia marahi balik meski dalam hati. Yah, karena Lia tidak sehebat itu untuk marah balik secara terang-terangan itu.
Lia penakut, saking penakutnya Lia dia tidak pernah merasakan berpacaran seperti teman-teman Lia lainnya—yang punya mantan banyak, bergonta-ganti pasangan setiap minggu, bahkan ada yang setiap hari. Lia takut ..., Lia takut tersakiti lagi kalau jadi seperti itu. Lia tidak mau melakukannya.
"Nek, mah, Catty ..., maafin Lia yang ninggalin kalian di sana. Gimana kabar kalian? Lia di sini baik-baik saja." Lia menggumam kecil, berbicara sendiri. "Lia janji bakal cari cara untuk pulang, biar kita bisa sama-sama lagi, Lia janji."
Karena Lia berjanji pulang, jalan pertama adalah mencari tahu jalan untuk pulang dari dunia ini. Ah juga nyari tahu, kemana jiwa asli tubuh ini dan bagaimana Lia bisa ada di tubuh ini? Lia harus positif, tubuh Lia harus sehat untuk mencari tahu itu semua.
Di dunia ada ini ada penyihir ..., mungkin bisa Lia tanyai padanya, penyihir yang misterius itu ..., atau kalau itu tidaklah bisa, ada Archmage di sini. Ngomong-ngomong siapa Archmagenya?
****
Archmage benar, kalau Lia tahu siapa Archmage dan dekat dengannnya—tidak ada hal yang mustahil, apalagi pulang ke dunia asli Lia dimana bumi berada itu pasti hal yang mudah.
Hari ini tidak ada Marry,
Marry meminta izin tidak bisa bekerja untuk sang adik, Lia mengizinkan. Lia juga mau ikut untuk keluar sebenarnya, sayangnya rencana itu selalu gagal dijalankan karena Lia dicegah oleh Ksatria sekitar rumah. Dengan itu pengawalan jadi sama sekali tidak melonggar, Lia jadi kesal dia dikurung seperti burung dalam sangkar.
"Begini ya rasanya jadi burung dalam sangkar emas, " ucap Lia sambil melihat ke arah balkon, melihat beberapa pekerja yang melakukan pekerjaan sesuai profesi mereka. Panas-panasan dan tentu saja berkeringat, tidak seperti Lia yang hampir seminggu begini terus seperti beban keluarga saja.
Lia benar-benar merasa dirinya jadi beban ketika yang lain bekerja,
Mungkin ini bawaan dari Lia asli yang seringnya bekerja, awalnya memang enak sekali beristirahat berhari-hari tapi lama-lama membosankan. Baca buku, minum susu atau teh, makan cemilan, minum obat, tidur seperti itu terus yang Lia lakukan hampir seminggu ini. Iya Lia hampir seminggu berada di sini, kurang dua hari saja.
"Aku ingin jalan-jalan, keluar, menghirup udara luar itu kan bagus." Lia berandai-andai keluar, selain agar dia dapat informasi lebih banyak. Lia juga ingin tahu dunia ini seperti apa? Apa sama seperti bumi yang Lia tempati? Atau berbeda? Lalu ..., ini dunia apa yang masih pakai pengawal berbaju semacam manhwa itu, baju apa lagi yang Lia sering pakai ini.
Baju-baju yang tak bisa disamakan dengan baju Lia dulu, kainnya pun tidak ada sepersetengah bagusnya dengan ini. Di rumah tapi bajunya bagus-bagus, halus padahal kaos itu lebih nyaman untuk di rumah. Orang kaya memang beda, taraf hidup dengan orang biasa yang beda juga.
****
Dunia ini, dunia, "Rose ..., Roseanna ya," Lia bergumam hal acak ketika pintu kamarnya terbuka dengan tiba-tiba.
Tidak ada izin permisi seperti yang pelayan biasanya ucapkan, ini pasti pemilik rumah ini yang punya kuasa pada apapun—si Duke itu kan? Duke Ellington pencabut nyawa, yang menurut Lia dia itu mengesalkan.
"Kau ..., jadi sering baca sejarah ya," dia berbicara pada Lia sambil berjalan dengan santai, seakan ini ruangan tidur miliknya sendiri—yah ini memang milik si Duke sih, Lia hanya menempati saja seperti tamu.
"Aku pikir istirahat hampir seminggu sudah cukup kan? Ini hari ke-enam,"
Lia terdiam, dalam hati mengangkat tangan dan ingin melompat-lompat sambil bilang iya dengan kencang. Tetapi diluarnya Lia garus menjaga image-nya agar bagus, apalagi tubuh ini bukan punya Lia. Ini punya Roseanna, akan gawat bangsawan anggun dan manis jadi urakan kaya rakyat miskin Lia ini. "Iya memang,"
"Kalau begitu mau ikut ke pesta yang diadakan Yang Mulia?"
Pesta ..., rasanya Lia pernah dengar. Ah benar! Marry pernah bilang salah satu rumor bahwa Kaisar akan membawa kekasihnya, dan mengenalkannya ke publik. Jadi ini benar ya ..., karena tak mungkin Duke menelan berita palsu secara mentah-mentah. Orang setara dia banyak tahu kebenaran akan hal dunia ini, baiknya Lia mendekatinya.
Tapi Lia geli terhadap gelarnya sebagai suami Lia—maksud Lia, suami tubuh ini Roseanna. Lia juga gugup kalau-kalau Duke ini tahu, bahwa istrinya bukan lagi istrinya yang asli. Oke jadi terdengar aneh, meski memang itu faktanya.
"Aku mau ...,"Lia dengan ragu-ragu mempersilahkan sah satu kursi meja belajar, yang ada di kamar ini. "kapan itu?"
Duke Ellington duduk dengan elegan, mencerminkan seorang bangsawan dengan tata krama yang baik. Benar-benar bangsawan, bahkan cara duduk saja seperti itu ya? Pikir Lia saat melihatnya dengan seksama.
"Dua hari lagi, kau butuh gaun untuk ke sana. Akan aku bicarakan nanti pada Milly." dengan tak sopannya, dia meminum cangkir berisi susu cokelat milik Lia—yang baru Lia minum sedikit!
Sial, memang orang ini brengsek. Lia mengumpatinya dalam hati, mengambil napas pelan-pelan. Image-nya yang baik tidak boleh hancur karena marah, Lia tidak mau itu terjadi. Relakan saja susunya, toh Lia bisa minta dibuatkan yang baru.
Tapi belum itu saja!
Dengan tak tahu malunya ..., orang ini orang di depan Lia juga mengambil camilan kesukaan Lia yang enak-enak yang dibuat oleh tangan koki dewa. Dengan rasa yang benar-benar sangat enak! Sialan, Lia mau mengumpat padanya secara langsung bukan dalam hati lagi.