webnovel

How Can I Forget You?

Bella Ellista, seorang wanita cantik dan cacat, berusia 26 tahun. Di waktu remajanya, Bella merupakan salah satu atlet figure skating Klub Jerman yang cemerlang. Beberapa kompetisi pun berhasil dia raih. Kehancuran hidup gadis itu baru saja di mulai, begitu kesuciannya direnggut paksa dan ditukar dengan dollar yang masuk ke dalam kantung Phillip. Bagi Bella yang masih berusia 16 tahun dan mengalami musibah yang meruntuhkan dunianya. Kematian adalah pilihan yang Bella putuskan. Meski kematian yang Bella inginkan, kedatangan seorang remaja, menggagalkan usaha bunuh diri yang coba dia lakukan. Kenneth Wayne, merupakan seorang developer real estate terkenal di kota Zurich, Switzerland. Pertemuan tak sengaja pria itu dengan seorang wanita cacat bernama Bella, menghidupkan jantungnya yang kosong bergairah kembali. Antara penyesalan dan cinta, manakah yang akan menang pada akhir keduanya nanti? Jika semua kebenaran yang lama tertutupi mulai terkuak. Menyebabkan luka & derita.

Angela_Ann · Urbano
Classificações insuficientes
24 Chs

Insiden Kecelakaan

Seakan ragu untuk menjawab, Sam melirik pada Bella yang tertidur dan menatap wajah Raphel yang tersenyum ramah dengan bimbang. Helaan napasnya terdengar kasar saat dia mulai berbicara, "Tidak apa-apa Raphael, kondisi fisik Bella bukanlah hal memalukan yang aku hindari untuk dibicarakan. Benar, putri bungsuku sudah cacat seperti sekarang karena kecalakaan yang dialaminya dulu saat dia tinggal bersama neneknya di Freidburg. Kami hidup terpisah setelah Bella memutuskan melanjutkan kuliahnya di sana."

"Waktu itu merupakan penyesalan terbesar dalam hidupku karena mengijinkannya tinggal jauh dari pengawasanku. Kalau saja aku tahu dia akan menjadi seperti ini. Mungkin, aku tidak akan menyetujui permintaanya untuk pindah ke sana." ujar Sam penuh penyesalan, kata-katanya terdengar sedih namun disaat bersamaan juga mengandung rasa kasih sayang untuk putrinya.

"Itu berarti saat kecelakaan terjadi pada Bella, kau tidak di sana?"

Sam mengangguk, membenarkan ucapan Raphael. "Aku terlalu sibuk dengan bisnis yang baru aku rintis. Ibu mengabariku setelah Bella dipulangkan dari Rumah Sakit. Itu pun aku harus menunggu beberapa hari lagi untuk datang menemuinya. Ibu tidak memberitahuku soal kecelakaan itu dan menutupi kondisi Bella, aku mengetahui semuanya setelah bertemu Bella langsung."

Sam menghapus air mata di sudut matanya, suaranya mulai serak saat dia melanjutkan, "Ketika itu, saat aku melihatnya duduk di kursi roda dengan mata kosong seakan tidak bernyawa menatap ke arahku. Untuk pertama kalinya, aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kucintai sepenuhnya."

"Aku tidak mengenali putriku lagi, wajah itu tetap terlihat sama dengan Bella, namun entah mengapa aku merasa bahwa dia bukan putri kesayanganku lagi." tambah Sam dengan suara tercekik, seakan saat dia mengingat masa itu, rasa sakit dirasakannya lagi dari leher merayap ke jantung.

Sampai disini ekspresi Raphael yang tadinya penuh senyum berubah tanpa ekspresi. Tangannya terkepal kuat di atas pahanya.

"Apa kata Dokter? Tidak bisakah Bella berjalan dengan normal?" tanya Raphael penuh harap.

Kali ini Sam menggeleng, "Aku sudah membawanya ke Rumah Sakit yang berbeda, jawaban Dokter semuanya sama. Kaki kirinya mengalami kelumpuhan total."

Kedua pria dewasa itu menurunkan bahunya tanpa sadar, begitupun dengan harapan yang dimiliki Raphael langsung musnah oleh paparan Sam barusan.

"Sayang sekali." bisik Raphael menyesal.

"Yah, sayang sekali. Sudahlah, lagipula Bella tidak sedepresi itu dengan kondisinya yang sekarang. Sebelum itupun dia sudah sangat tabah sekali kelihatannya." kata Sam mencoba menghibur dan menghilangkan kesuraman yang mengelilingi sekitarnya.

Rafael sedikit menarik bibirnya.

****

Sean melihat ke arah arlojinya yang menunjukkan angka 11, lalu melirik pada Bella yang tertidur di bahunya. Dia mengambil ponselnya di meja, melakukan sebuah panggilan pada Sam yang duduk tidak jauh dari tempatnya, namun karena dia takut membangunkan Bella kalau berteriak, dia memutuskan melakukan panggilan pada Ayah Bella.

"Sam, aku akan pulang bersama Bella sekarang. Bisakah aku merepotkanmu dengan membawa kruk ini nanti saat kau pulang?"

Sam tidak menjawab, dia berdiri kemudian berjalan ke arah Sean. Mengambil kruk yang dipakai Bella yang tergeletak di samping sofa, "Merepotkanmu untuk membawa Bella pulang dengan selamat, Sean. Bibi Jung ada di rumah, panggil saja dia kalau kau sudah sampai di rumah. Aku mungkin akan pulang sedikit terlambat malam ini."

"Aku janji membawa Bella pulang dengan selamat sampai ke rumah. Kuhubungi kau nanti setelah sampai. Aku pulang dulu kalau begitu." pamit Sean pada Sam, dibawanya Bella yang tertidur di pelukannya.

"Terima kasih, Sean. Hati-hati di jalan, jangan lupa kabari aku kalau kalian sudah sampai." kata Sam lagi mengingatkan.

Sean mengangguk, kemudian pergi dari ruangan itu setelah berpamitan pada William dan Raphael.

Kenneth yang berpura-pura tertidur di sofa lain di ruangan itu, membuka matanya. Dia sangat terkejut melihat wajah Shawn yang dekat sekali di depannya, "Apa sih yang kau lakukan? Mengahalangi saja." Katanya kesal sambil mendorong wajah Shawn dengan telunjuknya.

Kepala Shawn terdorong ke belakang, dia mencibir ke arah Kenneth dan balas mengejeknya, "Kau tertarik dengan gadis itu, kan? Dari sejak kau datang ke sini, kau melihat ke arahnya terus menerus dengan mata membara begitu."

Kenneth mengangkat bahunya acuh, tubuhnya menggeliat malas dengan mulut menguap tanda mengantuk, "Aku memang tertarik padanya. Jadi, pastikan saja kau mendapatkan informasi gadis itu segera. Atau kalau kau sampai terlambat, bersiap-siap saja investasimu di Universitas itu mengalami kerugian."

Shawn menunjuk ke arah Kenneth yang kini menyeringai, giginya terkatup saat dia mulai mengutuk sahabatnya yang kejam itu, "Kau... Kau benar-benar Iblis tidak punya hati Kenneth Wayne!"