webnovel

Prologue

Aku berjalan dengan gontai, rasanya untuk saat ini lalu lintas Tokyo begitu asing bagiku. Keramaian yang membuat ribut dalam jiwaku yang resah, kembali membuat dengingan menghantui telinga dan kepalaku. Pikiranku kosong tak ada satupun hal yang bisa aku pikirkan sekarang, pikiranku terlalu kusut.

Aku terus berjalan tanpa memandang sekitar, lalu perkataan Tante Alvi tiba-tiba terngiang di kepalaku, aku masih belum bisa menerima perkataannya hingga saat ini, semua masih terasa sulit.

Katanya, ayah dan ibuku meninggal karena takdir, dan aku harus menerima dengan lapang dada. Tetapi bagaimana aku bisa hidup jika kenyataannya hanya aku yang selamat dari kecelakaan mobil dua hari lalu itu.

Diriku menolak untuk mengakui bahwa kejadian yang baru menimpa orangtuaku adalah murni karena kecelakaan, murni karena campur tangan tuhan dan takdir didalamnya. Bagaimana aku bisa begitu saja lupa dan ikhlas menerima bahwa semua adalah takdir, sedangkan aku harus berpura baik-baik saja atas semua yang terjadi.

Itu tidak adil. Setelah apa yang menimpaku, bagaimana bisa aku pura-pura lupa atas semuanya lalu kembali pada kehidupan yang gila ini tanpa ayah dan ibu. Itu tidak adil!

Pikiranku kembali pada kenyataan, teriakan dan klakson mobil menyerbu Indra pendengaran ku. Aku mengedipkan mata beberapa kali karena silau dari sinar lampu mobil yang berjalan dengan kecepatan tinggi ke arahku. Aku menyadari bahwa hal buruk akan datang kembali padaku untuk kesekian kalinya, lalu aku tersenyum kecil setelah mengetahui bahwa hal buruk terus terjadi dan mungkin ini adalah akhirnya.

Nata, ayah dan ibu, lalu, setelahnya adalah aku. Lucu, aku dipermainkan oleh takdir dengan cara yang kejam. Aku kembali di paksa menerima kenyataan pahit dan ketakutan yang tak bisa aku kendalikan.

Apakah begini akhir hidupku?

Aku masih terpaku, mencerna segala yang terjadi seiring dengan pendengaranku yang mulai sensitif. Teriakan orang-orang, klakson mobil, suara handphone berdering, bahkan aku bisa mendengar pembicaraan mereka yang terpaku di pinggir jalan sambil menatapku penuh ketakutan.

Tetapi ada satu hal yang tidak pernah ku duga dari masyarakat yang ku kenal dengan ketidakacuhannya adalah langkah kaki yang terus mendekat dengan terburu-buru, dan terdengar semakin nyaring di telinga ku, juga nafasnya yang tersengal-sengal perlahan membuatku menengok kearahnya.

kemudian aku dibuat benci oleh suara langkah itu, langkah yang ringan tanpa beban, juga wajahnya yang menatapku. Tatapan mata yang tidak pernah aku duga dan tidak dapat aku artikan. Ia terkejut sekaligus terlihat khawatir, dan di mata itu ada kilatan ketakutan yang tersembunyi.

Setelahnya, sebuah tangan menarikku paksa. Aku tersungkur keras ke aspal, membuat kepalaku pening juga perih mulai terasa di beberapa bagian.

Mataku perlahan terbuka setelah menyadari seseorang memelukku erat. Pria yang barusan ku lihat berlari sekarang berada tepat di bawah ku dengan luka membiru di sudut kanan pipinya yang putih bersih. Aku terus menatapnya yang sesekali meringis kesakitan karena ulahku, lebih tepatnya karena menolong ku.

"Maafkan aku," sesal ku.

Aku berdiri begitupun dengan dia, pria itu mengibaskan mantel coklat berbulunya dengan serampangan, lalu menatapku sebentar. Tak ada suara sampai ia selesai dengan mantelnya yang terlihat cukup hangat itu.

Aku menengok pada jalan tempat dimana aku hampir tertabrak, jika bukan karena dia yang menolongku mungkin sekarang aku sudah berada di tempat yang sama dengan Nata, ayah dan ibu. Aku tak tahu harus berterima kasih atau malah menyesali perbuatan baiknya karena menolongku dari kecelakaan barusan.

"Kamu berniat bunuh diri, ya?" tanyanya yang masih ku acuhkan karena atensiku masih teralih pada jalan.

Aku masih memperhatikan keadaan sekitar, dan aku dibuat terkejut oleh realita bahwa yang terjadi padaku hanya angin lalu karena setelahnya, jalan itu kembali ramai seolah tidak pernah terjadi apapun disana.

"Jangan terkejut, karena dunia tidak seperti imajinasi mu," ucapnya.

Perkataannya membuatku menghela nafas kasar, mungkin memang benar bahwa hanya harapanku saja yang terlalu tinggi.

"Terima kasih atas bantuan mu, Sir," ucapku sambil menundukkan kepala ku sedikit tanpa menatapnya.

Setelahnya Aku berjalan perlahan kearah zebra cross yang tersedia, menunggu lampu merah berikutnya, tetapi tanpa aku sadari ia mengikuti ku di belakang.

"Kau punya Indra pengelihatan yang buruk," ejeknya.

Aku dengan spontan menatapnya, matanya menyipit kala ia tahu aku sedang melihatnya lebih detail yang di akhiri dengan senyuman kecil di sudut bibirnya yang berisi.

"Kurasa kita seumuran, berlebihan jika kau menyebutku dengan sebutan itu," tambahnya. Aku menaikkan alis tak mengerti dengan apa yang di ucapkannya, lalu kembali menatap lurus ke depan.

Aku masih merasakan keberadaannya di belakangku, semakin dekat dengan punggungku dan nafasnya yang begitu nyaring terdengar di belakang telinga ku. Pikirku mungkin karena desakan dan semakin banyaknya orang yang menunggu lampu merah berikutnya, dan mereka semua tidak mau kehilangan kesempatan juga tak mau mengalah, ia menjadi terlalu dekat.

"Kurasa tidak. Beberapa mungkin memilih Sir daripada menggunakan kata kakak, atau entahlah," jawabku asal.

Aku mendengar tawanya yang tertahan, mungkin perkataan ku sedikit konyol barusan, aku tidak peduli. Saat ini, aku hanya ingin pulang dan tidur dengan cepat, aku ingin melupakan semua yang terjadi belakangan ini dan secepatnya kembali ke Indonesia.

"Kau bisa memanggilku kakak jika mau," godanya.

Jika boleh jujur, aku sudah cukup lelah untuk berbasa-basi dengan siapapun, "terima kasih atas tawarannya, tapi tidak," tolak ku.

"Kau terlalu serius, Nona," balasnya setengah ragu.

Aku yakin dia ragu memanggilku seperti itu, "nona?"

"Aku rasa, kau lebih muda dariku," jawabnya. Aku tidak menjawabnya.

"Terima kasih," ucapku singkat, mengakhiri percakapanku dengannya, setelah kata ku barusan lampu merah akhirnya menyala. Aku lekas berjalan sebelum lampunya kembali berwarna hijau.

Tetapi ketika aku sampai di seberang seseorang menarik tanganku, mencegahku untuk pergi lebih jauh. Aku menoleh untuk melihat siapa yang berani melakukan hal tersebut, dan yang kulihat hanya pria yang menyelamatkanku tadi. Rupanya ia belum menyerah.

"Sama-sama, tapi apakah kau tidak bisa berterima kasih dengan benar?" tanyanya yang diselingi nada jengkel.

"Apa kau sedang berbicara soal uang?"

Aku lelah, perasaanku sulit dikendalikan, luka ku semakin terasa seiring berjalannya waktu. Aku hanya ingin pulang. Pemakaman sudah cukup membuat energiku terkuras, itu adalah tempat paling tidak menyenangkan yang pernah aku kunjungi semasa hidupku. Dan pria di depan ku, dia menyebalkan.

"Dunia ini bukan hanya tentang uang, Nona."

Suaranya memberat, aku menduga ia tersinggung dengan ucapan ku barusan. Lalu apa yang ia inginkan jika bukan uang, emas atau apa?

"Tapi hidup butuh uang,"

Ia mendengus, sepertinya dia sedang menahan amarahnya karena ucapanku benar dan dirinya tidak setuju akan hal itu.

"Berikan ponselmu," titahnya sedikit memaksa.

"Untuk apa?" Aku memicingkan mata menatapnya curiga, tapi ekspresi nya sama sekali tak berubah, menatapku dengan senyum samar memastikan aku dapat percaya padanya.

"Aku hanya ingin pinjam sebentar," jawabnya pelan.

Aku menatapnya tajam sambil memberi ponselku padanya, memastikan agar tidak dibawa kabur olehnya seperti pencuri.

Ia menerima ponselku dan langsung membuka layarnya, jari-jarinya menari diatas layar sambil menatap dengan serius kearah ponsel ku, entah apa yang ia lakukan.

Lalu ia mengalihkan pandangannya dengan tiba-tiba, menatap ku lekat dan menghembuskan nafas yang disertai dengan munculnya kepulan asap karena cuaca yang begitu dingin.

"Aku sudah menyimpan nomor ku, telpon aku ketika kau sudah sampai."

Aku menatapnya tanpa kata, berusaha mencerna kata demi kata yang barusan ia ucapkan, sedangkan pria itu tersenyum kecil dan mulai pergi menjauh setelah melambaikan tangannya sekilas.

"Orang aneh. Menyuruhku menelponnya ketika sudah sampai?"

Aku mendengus kasar ketika menyadari betapa bodohnya aku karena hanya terdiam mematung, sedangkan pria itu pergi dengan senyuman yang seolah-olah tanpa beban.

"Kenapa aku yang sudah gila ini bertemu dengan orang gila lagi."

Aku melihat layar ponsel ku yang menunjukkan nama serta nomor yang sudah tersimpan di aplikasi kontak.

"Dave Zyaldrin?"

Entah mengapa, namanya begitu familiar terdengar. Apa aku pernah bertemu dengannya? Atau hanya firasat ku saja karena ia telah menolongku?

Aku tidak tahu dan tidak ingin ambil pusing hanya karena orang asing yang baru saja masuk dalam kehidupanku yang mungkin saja takkan aku jumpai lagi seumur hidup ku. Aku hanya ingin pulang, itu yang terpenting sekarang.

~ TO BE CONTINUE!~

Thanks for read my story, have a nice day!!

Bluebusycreators' thoughts