webnovel

Another Meet

Lingkaran hitam menghiasi kantung matanya, membuat Revalina terlihat begitu letih di pagi hari. Netranya menyipit ketika sinar matahari masuk memenuhi indera pengelihatannya.

Sepertinya, terjaga semalaman dan menangis tanpa henti adalah tindakan ceroboh yang Reva sesali sekarang ketika ia berhadapan dengan cermin tepat saat ia bangun pagi hari tadi, tetapi penyesalan tidak merubah keadaan.

Sayu tampak tercetak jelas di matanya, membuat Reva terlihat lebih berantakan di bandingkan hari sebelum semuanya terjadi.

Tentu saja, kehilangan seseorang yang begitu berarti di hidupnya adalah penyebab Reva terlihat sangat kelelahan, jangankan lelah, ia bahkan tak tahu harus mengawali hari dengan apa selain kemurungan di wajahnya yang sudah terlanjur berantakan.

Sejak kembali ke Indonesia perasaannya tak pernah nyaman, walaupun negara ini bukan kampung halamannya, tapi dibandingkan dengan Jepang, tempat ini jauh lebih mudah diterima.

Terlepas dari kehilangan Nata di Indonesia, tujuan utama Reva kembali adalah untuk menyelesaikan pendidikan yang sempat tertunda karena kematian orangtuanya.

Reva mencoba untuk menerima juga melupakan, tetapi melupakan adalah perkara terberat Ketika kehilangan, karena kemanapun kamu pergi. Ingatan itu akan kembali. Semua akan muncul dengan jelas ketika kamu berusaha melupakan.

Reva melangkah dengan pelan ketika sampai di koridor universitas, matanya lelah, pandangannya menunduk ke bawah, hanya sepatu dan lantai yang dapat ia perhatikan. Tak ada niatan untuknya melihat ke depan dengan tegas seperti dulu, kepercayaan dirinya rapuh sejak Nata tak ada disisinya, Reva akui, Nata adalah sosok teman yang cukup mempengaruhi kehidupannya belakangan ini. Entah ketika pria itu masih hidup atau sudah tiada, eksistensi-nya masih tetap berlaku untuk Reva.

Langkah Reva tiba-tiba terhenti ketika sesuatu menghantam kepalanya, ia mengepalkan tangannya dengan kencang, mencoba menahan diri dari amarah yang akan meledak sewaktu-waktu.

"Upss...," bisik seseorang.

Sesuatu yang basah mulai terasa di belakang kepalanya, ia mengulurkan tangan untuk menyentuh sekaligus memastikan.

Dugaan Reva benar, satu butir telur pecah tepat di kepalanya membuat dirinya menghembuskan nafas kasar. Ia mengepalkan tangannya kencang, membuat buku tangannya memutih dengan cepat. Tawa seseorang di belakangnya menggelegar nyaring, ia tertawa sendirian, sedangkan mahasiswa lain menatap mereka dengan senyum puas.

"Apa yang kamu mau?" tanya Reva pelan.

Perempuan itu maju perlahan dan menampakkan dirinya di depan Reva, ia tersenyum seolah yang dilakukannya barusan adalah aksi heroik.

"Hah? Apa yang aku mau?" Ia balik bertanya dengan sarkas, menatap Reva tanpa takut.

"Apa kamu akan terus seperti ini, Silvia?" tanya Reva.

Amarahnya semakin memuncak, tapi Reva tidak mau semuanya kacau hanya karena emosi sesaat nya. Reva mulai muak dengan sikap perempuan di hadapannya yang terus memandang remeh dirinya dan tersenyum seolah-olah Reva adalah hal yang mudah disingkirkan.

Lagipula, ini bukan kali pertama Silvia mengibarkan bendera perang kepadanya, Reva ingat dengan jelas ketika Silvia menumpahkan se-ember cairan hitam berbau busuk di loker miliknya.

Reva juga ingat, hari terakhir ia membalaskan perbuatan Silvia atas dirinya dengan tinju di wajah gadis itu yang mengakibatkan robek dipinggir bibirnya. Padahal gadis dihadapannya sekarang sudah ia anggap teman sejak lama, tapi perempuan itu hanya peduli dengan Nata yang dulu menjadi perantara diantara mereka. Sebelum Nata meninggal, Silvia adalah gadis yang baik padanya.

"Tentu. Sampai kamu mengakui bahwa Nata meninggal karena dirimu."

Reva berdecak mendengar omong kosong yang keluar dari mulut gadis itu, bagaimana ia bisa menyakiti sahabatnya sendiri? Ia bukan orang yang tega menghabisi nyawa sahabatnya demi sebuah egoisme, ia masih sangat mengenal batas, ia masih bisa berpikir secara rasional.

Tentu semua itu adalah kebenaran, karena bagi Reva, sahabat adalah hal istimewa selain orangtuanya, mereka punya tempat khusus yang begitu spesial di relung hatinya yang tidak dapat semua orang lihat dengan mata telanjang.

"Tak ada bukti yang memberatkan ku, kamu lihat sendiri persidangan waktu itu, bukan? berhentilah berkata omong kosong. Aku tau, kita berteman karena Nata, tapi kamu masih belum mengenalku maupun dia, Silvia. Kamu terlalu egois!"

Reva menatap tajam gadis dihadapannya yang terus bungkam sebelum pergi meninggalkan kerumunan yang diciptakan gadis itu karena ulahnya barusan. Tapi langkahnya dicegah, Silvia berhasil mencekal tangannya.

"Kamu seharusnya membayar kematiannya," bisik Silvia di telinga Reva.

Reva menghempas tangan kasar, melepaskan cekalan yang dibuat Silvia lalu meninggalkannya tanpa aba-aba. Ia muak melihat tatapan tajam yang menusuk luka nya yang belum sembuh, orang-orang itu tidak tau kenyataannya, tapi seolah-olah mereka tau segalanya. Sangat lucu.

Kesalahan demi kesalahan terus dijatuhkan pada dirinya, Reva bahkan tidak mengerti alasan kesalahan itu terus diberikan kepada nya tanpa sebab.

"Apakah tidak cukup, mengambil mereka semua dariku?" batin Reva disela langkahnya.

Tempat ternyaman nya telah pergi menghilang dan tidak akan pernah kembali. Nata maupun orangtuanya meninggalkan dirinya sendirian di dunia yang penuh dengan kegilaan, mereka sama seperti Indonesia dan Jepang. Negara yang ia kenal, lalu terasa asing karena sebuah luka, negara yang mempunyai kehangatan di setiap musim yang menghilang karena tertelan badai masing-masing. Ironis.

"Bisakah kamu mengembalikan mereka padaku?" batin Reva tak mau diam. Semakin jauh langkahnya, semakin dalam pula luka yang ada pada hatinya.

Reva berjalan sambil menundukkan wajahnya, menyembunyikan raut kecewa. Ia sesekali mengusap cairan dari telur yang menetes turun ke wajahnya tanpa peduli sekitar, lalu berhenti tepat di bawah pohon besar yang rimbun, dekat dengan taman belakang universitas.

"Bersihkan," ucap seseorang sambil mengulurkan sebuah sapu tangan.

Suaranya tegas juga lembut, tak terdengar nada paksaan, Suara yang disukai Reva, warna suara yang mirip dengan milik ayahnya.

"Terimakasih," balas Reva pelan. Ia menyambut sapu tangan itu dengan senyum kecil di bibirnya lalu mengusap perlahan pada wajahnya tanpa melihat sang pemilik sapu tangan.

"Ah, jadi seperti ini kehidupanmu di Indonesia, Reva?" tanya orang tersebut tanpa menggugah rasa penasaran Reva akan parasnya.

"Memang kenapa?" Reva malah balik bertanya pada sang pemilik sapu tangan yang belum diketahuinya karena ia masih sibuk membersihkan wajahnya.

"Apa Tokyo masih kurang bagus untukmu?" sang pemilik sapu tangan kembali bertanya tanpa menjawab pertanyaan Reva.

Raut wajah Reva berubah, ia penasaran sekaligus heran, bagaimana orang asing bisa mengaitkan Tokyo dengan dirinya?

Reva lantas mendongakkan wajahnya untuk memenuhi rasa penasaran yang dimilikinya lantas terkejut melihat pemilik sapu tangan.

"Dave?" Matanya melihat lekat sekaligus terkejut pada Dave yang tersenyum kecil.

Lelaki itu menyambut Reva dengan senyuman lembut, siapapun yang berada di posisi Reva sekarang, pasti akan langsung jatuh hati dengan Seorang Dave Zyaldrin yang memiliki paras sempurna. Tetapi Reva lebih sensitif dengan keberadaan lelaki itu di dekatnya, "sedang apa kau disini?"

Reva menatap tidak suka pada pria yang sempat ia temui di Tokyo sebulan lalu, lelaki yang juga menolongnya dari kematian.

Dave bahkan pernah menelpon dan mengirim pesan beberapa kali pada Reva, tapi tak pernah ditanggapi ataupun dibalas oleh gadis itu.

"Aku ada urusan," jawab Dave singkat yang ditatap tajam oleh Reva.

Pria yang berada di hadapannya sekarang itu terlihat aneh, ia mengenakan pakaian serba hitam, mulai dari jaket, celana hingga topi, dan masker. Urusan macam apa yang membuatnya memakai pakaian gelap yang lebih terlihat seperti penguntit ini.

"Pembohong." Reva mendengus kesal, mendengar alasan klasik yang dibuat Dave.

"Jadi, kamu memanggilku Dave?" ucap Dave dengan santai.

Reva mengabaikan pertanyaan yang terus diajukan oleh Dave, ia masih sibuk membersihkan sisa cairan dari telur di kepalanya yang semakin membuatnya kesal.

"Apakah sebutan menjadi masalah untukmu sekarang? Bahkan, pakaianmu terlalu santai untuk sebuah pertemuan formal, Tuan Dave."

"Jangan sedang mengejekku rupanya. Pakaian tidak akan berpengaruh untukku, aku menggunakan ini," jawab Dave sambil mengetuk kepalanya.

Reva melirik malas, "Aku kira kamu menggunakan dengkulmu."

"Ya!" Pria itu berseru kesal, tapi tampaknya hal itu tidak mampu mempengaruhi Reva. Gadis itu hanya terus mengusap kepalanya dengan sapu tangan milik Dave tanpa menghiraukannya.

"Kau ini benar-benar suka memancing keributan denganku ya," lanjut Dave, tapi tetap tidak ada tanggapan.

Setelah beberapa detik tak ada suara, akhirnya Reva menyahut lebih dulu, "Bagaimana bisa kau kesini?"

"Pertanyaan bodoh," sahut Dave.

"Tidak, maksud ku bagaimana kamu bisa berada di Universitas Galaxy?" tanya Reva kembali.

Dave diam sejenak untuk berpikir. Sebenarnya ia memikirkan alasan bagus untuk diberikan pada Reva, lebih tepatnya, dia harus berbohong untuk menutupi fakta bahwa ia memang mengikuti Reva sejak pertemuannya di Tokyo.

"Aku hanya punya klien disini," jawab Dave, kalimat yang dipilih untuk membawanya pada alasan baru lainnya.

"Klien apa?"

"Investasi, kenapa? Kau mau ikut berinvestasi?" ucap Dave sedikit ketus.

Reva menatap Dave sejenak, mencari kebenaran di wajah pria itu. Lalu ia menggeleng pelan dan mengalihkan pandangannya, "Tidak, aku hanya bertanya."

"Ya sudah," ucap Dave singkat, ia mengalihkan pandangannya pada sekitar lalu tersenyum kecil.

Disisi lain, Reva tidak menyadari bahwa banyak pasang mata yang memperhatikan interaksinya dengan Dave.

Menimbulkan banyak pertanyaan di benak mereka tentang bagaimana bisa seorang yang menyedihkan dan pembawa sial seperti Reva di kelilingi oleh banyak pria tampan?

Membuat tatapan heran berubah menjadi tatapan menjijikkan dengan pikiran kotor mereka sendiri, opini serta imajinasi yang mereka buat secara tidak langsung membawa pada kesalahpahaman tak berujung.

Dave paham benar bahwa Reva dibenci, ia sadar betul dengan tatapan yang diberikan oleh mayoritas perempuan disini, tatapan benci dan iri.

Tetapi Dave mengabaikannya dan kembali fokus pada gadis didepannya, "kebetulan, bukan?"

Reva diam sejenak, menurunkan tangan dari kepalanya, berhenti mengusapkan sapu tangan.

Matanya beralih pada sapu tangan yang ia genggam, "Aku tidak suka kebetulan...," ucap Reva, "....akan ku kembalikan nanti."

Reva melangkah menjauh dari hadapan Dave, hendak meninggalkan lelaki itu.

Tapi bukan Dave namanya, jika ia menyerah begitu saja. Lelaki itu mengikuti kemana langkah membawa Reva pergi.

"Apa mereka selalu begitu?"

Pertanyaan Dave lantas membuat Reva berhenti mendadak, membuat pria itu menabrak punggung Reva tidak sengaja.

"Jangan campuri urusanku, Kamu hanya orang asing," tegas Reva.

Dave tau itu, sangat. Bagi Reva, ia hanya lelaki yang kebetulan menyelamatkannya dari maut di Tokyo bulan lalu. Tapi bagi Dave, perempuan itu adalah tujuannya.

"Maaf Reva, tapi aku harus," batin Dave.

Reva lanjut berjalan, begitu juga dengan Dave yang mengekor padanya. Perempuan itu sebenarnya sadar bahwa sejak tadi perhatian semua orang terpusat padanya, tidak, tapi pada Dave.

"Bisakah kau berhenti mengikutiku?"

"Kenapa?"

"Kenapa? Jangan campuri urusanku Dave, dan menjauhlah dari ku!" bentak Reva pada Dave.

"Tapi aku peduli padamu, Reva."

"Tak ada yang peduli," tampik Reva.

"Bukan tidak ada, tapi kamu menolaknya," ujar Dave, pria itu sukses membuat Reva tersinggung berat.

"Apa yang kamu tau, hah! Ini hidupku, aku lebih tau dibandingkan siapapun," Reva marah, ia tidak terima jika dirinya sendirilah yang menolak untuk peduli.

Nyatanya, memang tak ada yang mengertinya selain Nata dan orangtuanya. Semua temannya pergi dan merundungnya karena kematian seorang Nata Prawira. Memaksa Reva mengaku sebagai pembunuh, walaupun bukan dia pelaku sebenarnya.

Dave jelas tau, gadis itu butuh penopang di sampingnya untuk mengobati luka seiring berjalannya waktu, tapi tak banyak yang bisa ia perbuat ketika Reva sendiri yang menolak untuk kata peduli itu masuk di dalam hatinya.

"Bukan maksud begitu maksudku," kilah Dave.

Sungguh, ia tak pernah ingin menyinggung Reva. Tak ada niat sedikitpun untuk melukai gadis itu, tapi jika dengan begini Reva sadar, ini jalan satu-satunya.

Reva juga berhak bahagia, tapi siapa Dave yang berani memutuskan hal itu?

Jangan lupakan fakta bahwa Dave melihat bagaimana netra coklat milik Reva mengelam. Menampakkan banyak luka dan lelah secara bersamaan, ia juga mengerti mengapa gadis itu hanya diam ketika mobil mendekat padanya.

Jika Dave tau, ucapan seseorang dapat membawa kematian. Ia lebih baik hanya diam daripada melihat sebuah penderitaan yang tercipta dari mulutnya.

Tapi Dave bisa apa? Ia hanya manusia.

"Pergilah," ucap Reva singkat.

"Tapi Reva..."

"Aku tidak ingin mencari masalah denganmu, Dave."

Dave tetap bersikukuh berdiri di hadapan Reva, tak satu langkah pun ia pijak untuk meninggalkan gadis itu.

"Kau mempunyai hak untuk melindungi dirimu, Reva."

Reva tertunduk, ia tau fakta itu, tapi..., "Percuma. Siapa yang akan membelaku disini? Aku tak punya wewenang lebih dibandingkan Silvia."

Satu kalimat yang menyentak Dave, fakta bahwa kekuasaan masih menjadi dewa diatas pembenaran. Ia lupa bahwa dunia begitu licik dengan segala akal bulusnya.

Tapi otak Dave tidak mau sinkron, "kalau begitu, lawan saja!"

"Jika aku melawan, itu akan menjadin lebih rumit, Dave. Lagipula, Aku tidak terlalu peduli dengan tatapan yang diberikan mereka." Suara Reva mulai parau, ia harus menghentikan topik omong kosong ini.

"Lalu, kamu akan terus diam?" tanya Dave gusar, ia masih khawatir dengan kejadian pelemparan telur yang dibuat Silvia tadi.

Dave melihat dengan mata kepalanya bagaimana Silvia dengan wajah gembira, melemparkan telur tepat di kepala Reva yang mau tak mau membuat Dave menahan geram.

"Itu urusanku, urus saja urusanmu," balas Reva singkat.

Perempuan itu mengambil langkah menjauh dari Dave, sejauh yang dia bisa agar lelaki itu tidak mengikutinya.

"Kamu sama seperti terakhir kali pertemuan kita di Tokyo , masih sama seperti dinginya salju hari itu," batin Dave.

Dave menyusul gadis itu dengan berlari kecil, menyeimbangkan langkahnya dengan langkah terburu-buru milik Reva.

Dave tetap berbicara, meski yang membalasnya hanya keheningan. Reva sama sekali tidak merespon ucapannya, tetap saja mulutnya terus berkicau.

Reva juga mau tidak mau mendengarkan ocehan Dave yang seketika menjadi berisik. Sebenarnya Ia lelah, untuk berkata saja ia tidak sanggup, jalan kaki pun ia paksakan.

Dari jauh terlihat bahwa seseorang sepertinya belum puas dengan aksinya melempar telur mentah ke kepala Reva.

Ia ingin sesuatu yang lebih, seperti menghancurkan hidup Reva, misalnya.

Apapun akan ia lakukan, asal gadis beruntung seperti Reva menderita dan hancur.

Di kegelapan hatinya yang penuh duri, selalu ada pertanyaan tersemat dengan apik, "Mengapa gadis seperti Reva sangat beruntung?"

Apapun yang kamu lakukan terhadap orang lain, itu tanggung jawab mu.

Bluebusycreators' thoughts