webnovel

HIT ME UP : DI SANA HARAPAN BERMULA

KEHANCURAN BUMI BISA TERJADI LAGI! Ren adalah seorang kaum sayap putih yang tidak bisa terbang dari lahir. Namun, seorang pria dari kaum sayap hitam bernama Alen tiba-tiba muncul di kehidupannya dan bisa membuatnya terbang meski sesaat. Karena itu, mereka membuat kesepakatan agar Ren mampu terbang lagi. Bagaimanapun, mereka harus melawan aturan di antara kaum sayap hitam dan putih. Polusi udara membuat Kota Aves tak memberikan pilihan selain melanggar aturan yang berlaku. Pertentangan dari kedua kaum dan permasalahan di Desa Aves menjadi halangan bagi mereka berdua. Akankah mereka mampu mencegah kehancuran dunia hanya dengan menghilangkan polusi udara di kota? Jika mereka berdua saling jatuh cinta, bagaimana mereka akan menunjukkan ke satu sama lainnya? Credit : Pinterest

MunCL · Fantasia
Classificações insuficientes
12 Chs

11. Jaga Diri

"Kemarin, ternyata Ayah Ozi mengamati perbatasan dari kejauhan. Kemungkinan besar, dia melihat dirimu saat keluar dari desa ini," ucap Ren dengan cepat. Dia tak memberi kesempatan Alen untuk berbicara. "Jadi, cepatlah pergi sebelum dia menangkapmu hari ini!"

Tak lama kemudian, suara orang berteriak mengagetkan kedua orang itu. Mauren dan kedua orang berbadan kekar terbang cepat ke arah mereka berdua. Dengan sigap, Alen menggenggam erat tangan Ren.

"Ikutlah denganku!" kata Alen menatap kedua mata Ren.

"Apa kau bilang?" hanya kata itu yang bisa keluar dari mulut Ren. Dia tak mampu mengatasi ajakan yang datang secara tiba-tiba seperti ini. Apalagi, sekarang kondisi sudah cukup genting.

Alen melirik ke arah Mauren yang semakin dekat. Dia tak memiliki kesempatan untuk ragu lagi. Lantas, dia menarik tangan Ren untuk lebih mendekat. "Tutup matamu!" tegas Alen.

Ren menjadi kebingungan dan tak tahu harus menurut atau tidak. Alen tanpa mendengarkan tanggapan, langsung membopong tubuhnya dan membawanya terbang. Alhasil, Ren benar-benar menutup mata dan mengeratkan pegangannya pada leher Alen. Tidak seperti biasanya, angin terasa lebih kencang menerpanya. Karena penasaran, dia membuka matanya sedikit dan mendapati wajah Alen yang sangat serius menghadap ke atas. Kemudian, dia kembali menutup matanya karena takut ketika menyadari bahwa Alen membawanya terbang dengan kecepatan di atas rata-rata.

Mauren sibuk mengejar Alen yang terbang begitu cepat. Di sisi lain, Ozi yang datang dari belakang pun mencari jalan pintas. Dia bisa menebak bahwa tempat tujuan mereka pasti perbatasan yang ada di atas tebing karena kedua orang itu sering bertemu di sana diam-diam. Kadang, Ren juga bertemu Alen tanpa memberitahunya. Terakhir kali, dia melihat bayangan pria itu di jendela rumah Paman Nobi.

***

Alen dan Ren berhasil melewati perbatasan. Mereka terguling di tanah karena memaksakan diri untuk melewatinya. Mereka berdua pun duduk sambil mengaduh kesakitan. Tak lama kemudian, terdengar suara orang terjatuh di belakang mereka. Mereka berdua langsung menengok ke belakang. "Ozi!!" teriak mereka bersamaan.

Ozi membersihkan baju dan mencoba bangkit untuk mendekati Ren dan Alen. Dia mengaduh kesakitan sambil memegang pinggangnya saat merasa nyeri di punggungnya. "Kenapa? Kalian terkejut aku bisa datang ke tempat ini untuk mengikuti kalian?"

"Ozi, di sini berbahaya jika kau ketahuan!" cemas Ren sambil mendekati Ozi.

"Lantas, bagaimana denganmu? Tak ada yang mengizinkanmu ke sini," ujar Ozi yang tak kalah cemas.

"Aku yang akan bertanggung jawab!" sahut Alen dengan nada sedikit dinaikkan. Ren dan Ozi langsung menoleh ke arahnya dengan mata terbelalak.

"Tidak! Dia harus kembali ke Desa Aves berasamaku!" tolak Ozi seraya meraih lengan Ren. "Ayo!" ajaknya kepada Ren, sudah siap untuk beranjak.

Tak mau kalah, Alen meraih satu lengan Ren yang lain. "Dia harus tetap di sini! Kita berdua sudah memiliki perjanjian!"

"Apaan sih, kalian!" decak Ren sembari menarik kedua tangannya. Kemudian, dia mengela napas kasar. "Memangnya aku barang, bisa dibawa kesana kemari sesuka kalian?" kesalnya.

"Ren, kembalilah bersamaku. Jika kau berada di sini, perselisihan antara kaum sayap putih dan kaum sayap hitam tak akan pernah berakhir!" ungkap Ozi sambil menatap wajah Ren. Ren menatapnya dengan dilema.

"Jika kalian berdua hanya diam saja, tak akan ada yang berubah," sanggah Alen.

"Diam, kau! Penyusup yang tidak tahu diri!" cibir Ozi.

"Sepertinya, kau sedang mencaci dirimu sendiri!" balas Alen.

Ren memutar kedua bola matanya dengan malas. "Cukup! Kalian itu kenapa?" kesalnya, lalu beralih melihat wajah Ozi dengan tatapan intens. "Ozi, tidak apa-apa bagiku untuk tinggal sementara di Kota Aves. Ada hal yang harus kulakukan di sini. Lagi pula, aku sudah menjadi buronan bagi ayahmu. Percayalah, aku akan membuat kedua kaum bisa bersatu. Setidaknya, ada perdamaian di antara kedua kaum," lanjutnya dengan mata yang menunjukkan kesungguhan.

"Baiklah! Kalau begitu, aku akan ikut di sini bersamamu, Ren!"

"Tidak, Ozi!" tolak Ren dengan tegas. Sebelumnya, dia masih merasa dilema tentang keputusan apa yang harus dia ambil di saat seperti ini. Namun, kini dia yakin setelah mendengar ucapan Alen bahwa selama ini tak ada perubahan karena tidak ada yang bertindak. "Semakin banyak perbedaan yang mencolok, akan semakin menarik perhatian banyak orang," lanjutnya.

"Tap—Tapi, kau—"

Ren memotong perkataan Ozi. "Tolong jaga Paman Nobi untukku. Pastikan dia baik-baik saja saat aku masih di sini," pintanya sembari memeluk Ozi. Ozi pun hanya bisa menghela napas dan membalas pelukannya. Sementara, Alen hanya memperhatikan keduanya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Jaga dirimu!" ucap Ozi.

"Terima kasih, Ozi. Kau selalu mengerti aku."

Ozi dan Ren akhirnya melepas pelukan. Sebelum pergi, Ozi mengeluarkan sesuatu dari dalam baju bagian belakangnya. Terlihatlah sebuah buku tebal bersampul coklat dan judul berwarna emas. "Bawalah ini! Buku ini pasti akan sangat berguna suatu saat nanti!"

"Hah?" Ren menerima buku tersebut dengan ragu. Beberapa minggu yang lalu, Ayah Ozi datang dan menuduhnya mencuri. Kini, buku itu datang lagi seakan tidak mau terlepas dari pandangannya. Setelah terdiam sejenak, dia pun menyadari bahwa Ozi sudah tidak ada di sana.

***

Alen menggendong Ren menuju atap. Setelah itu, dia menggunakan kekuatan roh untuk menghilangkan sayapnya. Dia duduk di tepi atap dengan kaki menggelantung, diikuti oleh Ren. "Jadi, itu alasan kau tanpa ragu memelukku waktu itu?" tanyanya. Dia tak tahu kenapa tiba-tiba mengajukan pertanyaan seperti itu.

Ren yang sedikit terkejut pun malah terkekeh geli. "Aku dan Ozi sudah berkawan sejak kecil. Wajar jika kami sudah seperti saudara."

"Sangat tidak ada batasan di antara kalian," kata Alen diikuti tertawa remeh.

"Bicara apa kau ini? Tentunya ada," sanggah Ren dengan santai. Kemudian, dia langsung mengalihkan topik ketika sebuah pertanyaan muncul di kepalanya. "Kota ini tampak lebih baik dari beberapa hari yang lalu. Bagaimana bisa?"

"Itu karena orang-orang diminta untuk menghentikan beberapa aktivitas yang menimbulkan asap semakin tebal, seperti mengurangi beberapa kendaraan dan menghentikan beberapa pabrik," terang Alen. Beberapa hari yang lalu, pemerintah kota langsung membuat kebijakan. Sehingga, seluruh penduduk mau tidak mau harus mengikuti kebijakan tersebut. "Warga juga tak boleh keluar rumah sampai waktu yang tidak ditentukan."

"Itu sedikit membantu, tapi tak akan membuat udara kembali bersih seperti dulu," ungkap Ren sambil tersenyum miris melihat gedung-gedung di sana hampir tidak terlihat karena sebagian besar tertutupi asap hitam. "Itu juga hanya akan membuat kota ini menjadi tak nyaman untuk dihuni."

Alen tertawa hambar. "Sangat disayangkan kalau harus keluar dari kota yang sudah dibangun sampai sejauh ini."

Ren menoleh ke arah Alen setelah teringat akan sesuatu. "Jadi, apakah ini salah satu alasanmu selalu pergi ke Desa Aves?"

To be continued....