"Sangat disayangkan kalau harus keluar dari kota yang sudah dibangun sebesar ini."
Ren menoleh ke arah Alen setelah teringat akan sesuatu. "Jadi, apakah ini salah satu alasanmu selalu pergi ke Desa Aves?"
"Awalnya, aku hanya ingin menikmati indah dan sejuknya desamu. Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa takjub ketika melihat lebih dalam. Melihat bagaimana kaum sayap putih menjaga pohon hingga tumbuh besar, itu membuatku takjub sekaligus iri," ucap Alen dengan jujur. Hampir setiap hari dia datang ke Desa Aves dan melihat berbagai hal yang tak pernah ada di Kota Aves. Beberapa diantaranya adalah para petani yang bercocok tanam di sawah, juga orang-orang yang saling menyapa dan santai saat berjalan. Sangat berbeda dengan situasi di kota yang cenderung cepat.
"Kuakui untuk hal itu, mereka luar biasa. 'Dunia tak seindah yang kau bayangkan,' itu yang kau katakan sebelumnya," ucap Ren sambil tersenyum tipis. Alen pun mengangguk setuju.
"Apa fungsi dari buku itu?" tanya Alen penasaran. Matanya mengarah ke buku yang sedang dipegang Ren.
Ren membuka satu persatu halaman buku itu. "Yang perlu kau tahu adalah ... buku ini sangat berharga bagiku. Kau tak akan pernah bisa menggantinya dengan apapun."
"Alen!" teriak Kim yang terbang dari kejauhan. Dia melihat Alen sedang duduk di atap. Namun, dia langsung terdiam ketika mendarat di atap. "Ka—Kaum sayap putih?" tanyanya tergugup sambil melihat sekilas ke arah orang bersayap putih yang ada di sebelah Alen.
Seketika, Alen berdiri dengan gelisah. Dia hampir saja terjatuh jika Ren tidak menahan tubuhnya. "Jangan takut, mendekatlah!" ucap Alen meyakinkan.
"Bagaimana aku tidak takut? Ibuku mengatakan bahwa mereka adalah kaum yang sangat kejam!" sergah Kim sambil menunjuk Ren. "Kau harusnya menjauh darinya!" lanjutnya setengah berteriak.
Kaum sayap hitam sudah meyakini secara turun-temurun kaum sayap putih itu kejam. Di akademi, mereka pun mereka diajari untuk selalu berhati-hati jika bertemu dengan kaum sayap putih. Maka dari itu, terus terpatri dalam ingatan mereka bahwa kaum sayap putih adalah kaum yang patut diwaspadai. Kejadian beberapa waktu yang lalu pun semakin memperkuat kepercayaan masyarakat tentang itu.
"Kami tak seperti itu," gumam Ren dengan wajah murung. Alen yang berdiri di depannya bisa mendengar itu hingga merasa tidak enak.
"Aku harus melaporkannya ke pemimpin kaum!" tegas Kim sambil memunculkan sayapnya.
"Tolong, jangan! Kau harus mengenal sebelum menilainya. Percayalah padaku, dia tak seperti yang kau pikirkan," pinta Alen setengah memohon. Dia pun ikut memunculkan sayap. Sedangkan, Kim melangkah mundur ketikan Ren mencoba untuk mendekat.
"Kami tak pernah jahat kepada siapapun. Aku ke sini untuk membantu kalian," kata Ren yang akhirnya angkat bicara. Dia juga tak yakin bahwa dirinya bisa menenangkan gadis bersayap hitam itu.
"Bagaimana bisa aku mempercayaimu? Kalian mengembalikan kaum kami yang hanya tersisa tulang!" Kim mengatakan itu sambil menggelengkan kepala kuat-kuat. Dia menatap Ren dengan amarah.
"Beri aku waktu untuk membuktikan perkataanku! Jadi, tolong jangan laporkan aku," ucap Ren memohon.
***
Kejadian tadi sore memang membuat Ren jantungan. Untungnya, Alen berhasil membujuk Kim untuk bersikap lebih tenang. Pasalnya, dia harus tetap mengerti dengan Kim yang berpikiran karena sedari kecil diajarkan seperti itu. Sekarang, dia sudah berada di dalam rumah Alen yang terasa sepi. "Namanya Kim? Apakah dia bisa menutupi rahasia kita? Kaum sayap putih juga memiliki pikiran buruk terhadap kaum sayap hitam. Stigma itu sudah sangat sulit dihilangkan," ujar Ren sambil duduk di sofa empuk yang ada di ruang tamu.
Alen mengisi dua gelas air dan memberikan satu gelas lain kepada Ren. "Mereka sulit mengubah pikiran karena tak mampu melihat secara langsung fakta yang ada. Jadi, mereka hanya sibuk berasumsi hingga tertanam di otak mereka, lalu beranggapan bahwa pikiran mereka adalah yang paling benar," terang Alen.
"Yeah! Apa yang bisa kita lakukan? Aku terus memikirkan kenapa kedua wilayah tidak bisa bersatu. Ternyata, semua itu yang menjadi akar permasalahannya," ucap Ren, lalu menghela napas lelah sambil bersandar.
"Setelah kita berdua membuat kesepakatan, aku yakin keinginan kita akan terwujud secara perlahan," ucap Alen yang kemudian meneguk segelas air dan duduk di sofa depan Ren.
Ren hanya mengangguk mengerti. Meski penasaran, dia mengurungkan niat untuk bertanya tentang kesepakatan. Alen sendiri yang akan memberitahukannya tentang itu karena itulah tujuannya kemari. Saat sedang melihat dinding di rumah tamu, dia baru menyadari sesuatu. "Di mana orang tuamu? Kenapa mereka tidak ada di rumah?"
Alen mengendikkan bahu, lalu membaringkan tubuhnya di sofa. Dia memejamkan mata seraya berkata, "Entahlah! Ke laut? Gunung? Kutub utara?"
"Sama sepertiku. Aku pun tak tahu di mana keberadaan orang tuaku," tanggap Ren sambil tersenyum tipis. Kemudian, dia melihat Alen hanya berdehem dengan mata tertutup. "Oh iya. Kau kan sudah tau."
Malam sudah larut, kedua orang itu tidur di sofa yang berbeda. Ren sudah berulang kali menutup matanya, mencoba untuk tidur. Pada akhirnya, dia tetap membuka mata. "Alen, apakah kau sudah tidur?" tanya Ren sambil menoleh ke arah Alen. Namun, sepertinya Alen sudah tidur lelap dan tak bisa mendengar suaranya.
Keheningan malam seketika membuatnya takut. Tanpa berpikir panjang, dia terus berbicara sendiri. "Ngomong-ngomong, pintu kalian sangat kecil. Seperti foto-foto yang ada di foto sejarah," gumamnya di suasana sepi.
"Apakah kau mempelajari sejarah?" tanya Alen dengan suara beratnya. Itu sempat membuat Ren tersentak kaget karena suara yang terdengar tiba-tiba di tengah keheningan malam yang telah larut.
"Kukira kau sudah tidur," kata Ren dengan heran. Kemudian, dia langsung menjawab pertanyaan Alen. "Tepatnya, sejarah kehancuran dunia. Aku belajar di Akadami Lampau."
"Kenapa kau mempelajarinya? Bukankah itu sudah lama berlalu?"
"Saat tinggal di Desa Aves, aku merasa tempat itu sangat sempurna. Tapi, aku heran kenapa bisa terjadi kehancuran di masa lampau," jawab Ren sembari mengingat kampung halamannya. "Lantas, aku masuk ke Akademi Lampau dan mempelajari kesalahan yang dilakukan orang-orang di masa lalu."
Alen mengubah posisinya menjadi duduk. "Ren, sadarkah kau bahwa ada satu hal yang kusadari ketika mengenalmu?" tanyanya.
"Tentang apa?"
"Kau adalah orang yang penuh dengan harapan."
"Memangnya kenapa? Bukankah setiap manusia memiliki harapan?" tanyanya dengan raut bingung. Kemudian, dia ikut mengubah posisinya menjadi duduk agar bisa mendengar suara Alen dengan jelas.
"Berharap tanpa memiliki tujuan akan membuatmu merasa dikecewakan," jawab Alen sambil tersenyum simpul. Ren hanya terdiam mencerna kalimat yang diucapkan oleh Alen.
***
Alen mendorong Ren dari tebing hingga terjatuh. Dia melihat gadis itu terbelalak sambil mengulurkan tangan. "Aku pasti berhasil kali ini!" gumamnya dengan penuh keyakinan.
Alen memunculkan sayap dan membentangkannya dengan lebar. Dia pun terbang cepat ke bawah dan melepaskan kekuatan roh ke udara. Kekuatan roh itu berhasil mengenai sayap Ren, tapi tak sesuai harapannya.
Ren memejamkan mata dengan erat. Dia bergumam dengan penuh rasa takut, "Paman, maafkan aku karena tak mendengarkan kata-katamu. Aku harap kau hidup bahagia dan mendapatkan keponakan lain yang tidak bandel sepertiku. Semoga kita bisa bertemu di kehidupan selanjutnya."
Buzz!
To be continued...