webnovel

Kabut Asmara atau Dusta

Good Mother

Ruang kerja Armaghan.

Di kursi hitam berbusa empuk, Dean duduk memandangi berkas-berkas di atas meja. Meski tampak fokus memandang, pikirannya tidaklah demikian. Semrawut. Ada banyak prasangka bergelayut. Menghela napas, ia coba relaks, menggerakkan leher ke kiri dan ke kanan. Memijat pelan tengkuk.

Suara ketukan di pintu mengudara.

Merenggangkan kedua tangan, Dean berujar, "Masuk."

Pintu ruangan terbuka, menampilkan sesosok pemuda berwajah teduh. Johan melangkah masuk. Seulas senyum ramah mengembang di dua baris bibir tipisnya. Ia berpakaian rapi dan bersih seperti biasa. Tampak berkarisma, elegan, dan terpelajar.

"Duduklah." Dean mempersilakan.

Tersenyum ramah, Johan membungkuk takzim. Dengan patuh ia duduk sembari meletakkan beberapa lembar kertas, ditata rapi oleh klip, ke atas meja.

Memandang serius, tanpa basa-basi Dean langsung melayangkan pertanyaan. "Bagaimana hasil pemeriksaan pencarian keparat itu?"

Menghela napas panjang, Johan menurunkan pandangan. "Kasim, prajurit, dan bawahan pria, sudah diperiksa semua. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki luka cakaran di bahu sebelah kiri. Kedelapan mayat suruhan Altan juga sudah diperiksa, tidak satu pun dari mereka memiliki luka cakaran."

Menggeram tertahan, Dean memukul pelan pemukaan meja dengan penuh emosi. "Jo, tidakkah kau memiliki gambaran atas sosok bajingan ini?"

"Itu ...." Johan mengangkat kepala, menerawang ke luar jendela. "Saya benar-benar minta maaf."

Menarik napas panjang kemudian diembuskan perlahan, Dean memejam sebentar. Ia lalu tersenyum, menenangkan makhluk di hadapannya dari rasa putus atas. "Sudahlah, tidak apa-apa. Aku tahu ini sulit. Jadi, tidak perlu terburu-buru."

"Saya sungguh menyesal." Johan menundukkan kepala.

"Lupakan saja! Omong-omong, bagaimana dengan kekasihmu? Sudahkah kau menyelesaikannya dengan baik?"

"Kekasih? Tuan, harus berapa kali saya katakan, Veera hanyalah teman masa kecil. Tuan tahu sendiri, saya dan dia dibesarkan bersama, oleh Anda, keluarga Armaghan."

"Di dunia ini, kau adalah orang yang paling aku percaya, Jo. Hanya dengan menyerahkan Naila kepadamu, aku bisa merasa tenang." Dean menghela napas, menerawang jauh. Terdapat rindu dan hampa di kedua manik kecokelatannya. "Kau tahu, 'kan? Naila gadis yang sangat tertutup dan pendiam. Meski begitu, dia wanita yang sangat tangguh."

"Saya pasti akan menjaga Nona Naila dengan segenap jiwa dan raga."

"Ya, ya. Aku percaya padamu." Mengangguk-anggukkan kepala, Dean tersenyum puas dan bangga. Ia sangat mempercayai pemuda yang dipungut dan dibesarkannya sedari kecil. Paras wajahnya pun kian cerah, seperti mentari di pagi hari.

"Jika tidak ada lagi yang ingin Tuan Dean sampaikan, saya mohon diri."

"Ya, pergilah. Hibur Naila."

Tersipu, Johan tersenyum malu-malu. Berdiri, ia membungkuk memberi hormat. Ketika melangkah menuju pintu, senyumannya tidak lekang. Namun, kian lama paras wajahnya kian aneh. Tampak berpikir keras, umpama menganalisa sesuatu yang sukar diurai.

Di ruangan, Dean kembali pada aktivitasnya.

<>

Taman.

Kelopak bunga masih meranggas dipuput sang bayu.

Di bangku taman, Naila duduk seorang diri. Tercenung memandang bunga-bunga yang dikelilingi kumbang-kumbang, beterbangan. Ia tidak pernah menyangka akan mendapat naas sedemikian ngenas. Bahkan dalam mimpi pun, tidak pernah terpikirkan. Namun, begitulah takdir, sukar diprediksi.

Meski masih tersisa sedikit trauma, Naila tidak ingin terus larut. Toh, tiap manusia pasti pernah mengalami hal buruk. Namun, waktu tidak akan pernah berhenti hanya karena satu manusia mengalam hal buruk. Ia mengerti akan hal itu. Jadi, sikap terbaik yang bisa diambil hanyalah berdamai. Berdamai atas segala hal buruk dan mulai menyongsong kembali hari-hari yang masih tersisa.

Hidup terlalu singkat dan berharga. Sayang, bila digunakan hanya untuk meratap sepanjang waktu. Lebih-lebih, meratap sama sekali tidak bisa mengembalikan masa lalu. Lantaran memiliki pikiran semacam ini, Naila menjadi lebih tegar dalam usahanya untuk berdamai.

Senyuman di bibir tipis Naila merekah tatkala setangkai mawar merah tersodor ke hadapannya. Tentu saja, itu dari Johan. Kini, pria tersebut berlutut dengan ekspresi kikuk.

Tertawa lembut, Naila menerima setangkai mawar, menghirup aroma harumnya. "Jangan memaksakan diri untuk bersikap romantis, Jo."

Tertawa paksa, Johan bangkit berdiri. Ia duduk di samping wanita yang sebentar lagi akan dinikahinya. "Saya ... em, maksudku, aku ... hanya berusaha menyenangkanmu, Nai. Ya, kau tahu, ayahmu tidak pernah mengajariku cara menyenangkan hati perempuan. Dia hanya mengajariku bagaimana cara mencari uang, menjatuhkan lawan, atau menggebuk mereka yang menyusahkan. Hahaha."

Tersenyum maklum, Naila mengangguk pelan. "Lalu? Barusan itu?"

Tersenyum kaku, Johan memalingkan pandang karena masih merasa canggung. "Aku membeli buku dan coba mencari tahu bagaimana caranya menyenangkan hati perempuan. Namun, mengaplikasikannya langsung, ternyata tidak semudah seperti yang tertulis. Canggung dan aneh. Kurasa ...."

Mengangguk, Naila sependapat. Candanya, "Ya, kau memang jadi tampak aneh, Jo."

Menunduk, Johan menghela napas dalam-dalam. "Sudah kuduga ... memang sangat aneh."

Naila kembali tertawa rendah, memainkan setangkai mawar di tangannya. "Terima kasih."

"Apa kau merasa terhibur?"

"Ya, ekspresimu sangat lucu."

Kali ini Johan tertawa sungguhan. Sorot matanya menyiratkan keteduhan dan kelembutan. Membuat siapa pun akan senang berlama-lama menatapnya. Ditambah lagi, ia memiliki paras yang rupawan dan penampilan elegan.

Tidak sulit bagi Naila untuk segera menyukai calon suaminya, mengembangkan perasaan agar lebih kuat lagi; menjadi sebuah cinta yang utuh dan tulus. Lagi pula, ia belum pernah jatuh cinta. Selama ini, selalu sibuk mengembangkan bisnis keluarga Armaghan.

"Jo ...."

"Huh?"

"Bagaimana pendapatmu mengenai Adrian?"

"Putra dari Nyonya Anna?"

"Iya."

"Dia sudah dipenjara, tidak akan mungkin membuat ulah. Tidak usah khawatir."

"Tidak. Bukan begitu."

Mengernyit, Johan menampilkan ekspresi tak mengerti. "Lalu?"

"Bisakah kau berbicara pada Ayah agar Adrian menjadi tahanan rumah saja? Ayah sangat mempercayaimu. Bila kau yang bicara, dia pasti akan mempertimbangkan."

Memandang serius, nada tidak suka kentara dalam suara bariton Johan. "Kenapa? Maksudku kenapa harus menjadi tahanan rumah, Nai? Walau bagaimana, dia putra Altan, saingan bisnis Tuan Dean. Tidakkah terlalu berbahaya membiarkannya berkeliaran? Penjara tempat paling tepat untuknya."

Menunduk, Naila agak sedikit meragu. "Aku merasa dia tidaklah jahat. Bukankah dia sendiri yang memberi tahu Ibu Anna perihal rencana ayahnya?"

"Benar. Namun, ...." Johan mengembuskan napas kasar, membiarkan ucapannya mengantung. Ia memandang gumpalan awan putih di dirgantara. Menimang-nimang rasa atas ketidakyakinan, tetapi enggak menunjukkannya ke permukaan.

"Namun?" Naila tidak sabar menunggu.

Menghela napas, Johan merasa berat mengutarakan apa yang ingin diucapkan. Meski pada akhirnya, ia tetap berbicara. "Maaf, Nai. Namun, sampai detik ini, aku masih belum bisa mempercayai Nyonya Anna. Bagaimanapun, wanita itu yang sudah membuat Nyonya Eira bunuh diri."

"Jo ...." Sorot mata Naila menyendu. Ia teringat kembali akan Eira, ibu kandungnya. Wanita yang juga ibu dari Zeeki itu memutuskan bunuh diri setelah menulis sepucuk surat. "Ibu Anna tidak bersalah. Aku tahu, kau sangat menyayangi Ibu Eira karena dibesarkan olehnya. Namun, Ibu Anna tidak berhak mendapat kebencianmu. Jangan membencinya."

Menundukkan kepala, Johan mengucap dengan tulus. "Maaf ...."

Tersenyum lembut, Naila menyandarkan kepalanya ke lengan Johan. "Jangan memelihara kebencian."

"Aku tahu."

Angin kembali berembus.

Hening.

Keduanya tenggelam menikmati embusan angin.

Kelopak bunga kembali berguguran, menguarkan aroma harum. Menerbangkan gemuruh rasa berselimut kabut.

Kabut asmara atau dusta? Tidak ada yang tahu.

________

Bersambung ....

________