Dika memarkir mobilnya di depan gazebo di belakang rumah Andres. Sahabatnya telah menunggunya sambil duduk di kursi. Andres hanya menoleh sekali sambil tersenyum sekilas lalu meraih gelas minumannya dan meneguknya. Di depannya satu botol bir terkenal di Spanyol, satu gelas kosong dan satu piring berisi omelet Spanyol kesukaannya.
"Duduk. Aku tidak mau memelukmu." Andres masih bersikap dingin tapi blak-blakan seperti biasa.
Dika mengikuti perintahnya lalu bertanya, "bagaimana keadaanmu?"
Pria itu tersenyum simpul lalu menjawabnya, "seperti yang kamu lihat. Aku sudah fit."
"Aku minta maaf." Dika mengucapkannya dengan sepenuh hati.
Andres terlihat kesal mendengarnya.
"Kamu tidak dengar apa yang aku katakan tadi?"
"Aku dengar, tapi aku harus meminta maaf."
Andres mendesah lalu berkata, "makanlah."
Dika tidak melihat piring di depannya, karena itu dia bertanya, "punyamu?"
"Aku tidak mau bunuh diri." Jawabnya lalu tertawa.
Deg. Dia merasa tubuhnya mulai menggigil lalu dia mendengar suara Nadia, "Dika! Kamu bisa. Hentikan pikiran itu!"
Dika menyentuh dadanya lalu merasakan jari-jari Nadia yang menekannya.
"Aku bercanda! Aku tidak menaruh racun di situ. Aku akan sarapan dengan Bea."
Suara Andres membawanya pada kenyataan.
"Oh." Ucapnya setelah berhasil mencerna ucapannya.
"Mengapa wajahmu jadi murung begitu? Kamu cemburu karena tempatmu tergantikan?"
Dika tertawa. Andres selalu menghina petualangan seksnya di masa lalu. Dika sudah menemukan apa orientasi seksualnya. Meski begitu, Dika mengakui bahwa Andres itu tipe pria yang bahkan bisa membuat pria straight kembali mempertanyakan seksualitasnya.
"Namanya Bea?"
"Panggil Zizi. Hanya aku yang boleh memanggilnya Bea."
Dika mengangguk. Dia mulai berpikir untuk mencarikan panggilan sayang untuk Nadia.
"Mengapa senyum-senyum begitu?"
"Aku tidak sedang memikirkan gadismu."
Dika tidak ingin Andres salah paham.
"Lalu siapa?"
"Ini rahasiaku."
"Kita tidak pernah merahasiakan apapun."
Dika membela diri, "kamu merahasiakan kekasihmu."
Andres berseru lalu bertanya untuk memastikan, "kamu balas dendam?"
Dika tersenyum.
"Makanlah. Nanti keburu dingin."
Dika mengambil garpu dan pisau. Dia memotong omelet dengan pisau dan memasukkannya ke mulutnya dengan garpu. Makan dengan Andres harus mengikuti cara orang Spanyol makan. Dia bahkan harus makan nasi dengan garpu. Sendok hanya untuk sup.
"Kamu sedang jatuh cinta," kata Andres.
Dika mengangkat kepalanya.
"Meski Tortilla de patatas-ku terasa sangat enak, kamu tidak akan pernah tersenyum seperti itu."
Andres benar. Dia tidak akan tersenyum seperti barusan kalau hanya karena merasakan makanan yang enak.
Dika mendesah dan memutuskan untuk memberitahunya, "aku mencintainya."
"Wah. Aku penasaran. Perempuan atau laki-laki?"
Dika tertawa.
"Aku ingin punya keponakan, kamu tahu."
Meski terlihat bercanda, namun ucapannya serius.
Dika memberitahunya lagi, "pasangan homo masih bisa punya anak."
Andres berteriak kaget, "¡Dios!"
Dika tertawa.
Andres bertanya lagi, "Dika, kamu yakin? Aku tidak pernah melihatmu seperti ini. Kamu akan menikahinya?"
Dika mengangguk.
"Bagaimana dengan orang tuamu?"
"Mereka akan setuju. Mereka tidak bisa mengaturku dalam urusan ini."
"Tapi?" Andres menunjukkan kekhawatirannya.
"Iya, aku tahu mereka akan terkejut ketika mendengarnya. Tapi mereka akan paham dan menyadari bahwa aku sangat mencintainya. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Dia alasanku bertahan hidup."
"Apa maksudmu?"
Dika mendesah.
"Aku sudah menulis surat wasiat untukmu semalam." Jawab Dika sambil menyeringai.
Dika melihat kilatan amarah di mata Andres. Andres berdiri, menarik kerah leher bajunya dan mengangkatnya ke atas.
"Kalau kamu sampai bunuh diri, tidak hanya hidupmu yang berakhir! Hidupku juga dan hidup kedua orang tuamu!"
Andres melepas tangannya. Tubuh Dika terjatuh di atas kursi.
Andres mengancamnya lagi dengan mata hijaunya yang menyala merah, "dengar! Kalau kamu sampai membunuh sahabatku, aku akan mengejarmu sampai ke neraka!"
Andres duduk. Kedua tangannya terkepal.
"Aku minta maaf," desah Dika.
"Aku tidak butuh kata maaf!" Teriak Andres lalu melangkah pergi.
"Andres!" Dika berteriak memanggilnya.
Andres berhenti dan berbalik.
"Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku mengira kamu tidak akan pernah memaafkanku apalagi menemuiku. Aku tidak punya orang lain lagi untuk berbagi kesedihan. Aku merasa sudah sepenuhnya gagal menjadi seseorang."
Andres berjalan ke arahnya dan memeluknya.
"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, kamu tahu. Aku akan terus ada di sampingmu meskipun seandainya aku membencimu. Aku tidak bisa membencimu meskipun kamu membuatku marah. Aku sudah menganggapmu seperti adikku sendiri dan kamu tahu itu."
Dika mengangguk.
"Jangan pernah lakukan itu. Berjanji padaku?" Pintanya.
Sudah dua orang memintanya berjanji hal yang sama pagi ini. Dua orang yang sama-sama berharganya bagi dirinya.
Dika mengangguk lagi, "aku berjanji."
"Aku menyayangimu." Kata Andres.
Andres lalu mencium keningnya. Dika terkejut. Dia tidak pernah melakukan kontak dengannya.
"Tadi itu ciuman seorang sahabat, kakak pada adiknya. Jangan disalah-artikan!" Andres segera menjelaskan dengan nada tinggi.
Dika tertawa.
"Astaga, kamu masih menganggapku suka sama laki-laki?" Tanyanya.
Andres tersenyum miring, "tentu saja. Bukannya tadi kamu bilang akan menikahi laki-laki itu?"
Dika menggeleng, "aku tidak mengatakan dia laki-laki."
Kedua alis Andres terangkat, "dia perempuan?"
Dika mengangguk.
"Benarkah?" Tanyanya lagi dengan ekspresi yang masih tidak percaya.
Dika mengangguk lagi. Andres memeluknya lagi.
"Kamu senang karena dia perempuan?"
Dika merasakan benturan keras di perutnya. Andres baru saja meninjunya. Untung saja tidak dengan kekuatan penuh, bisa-bisa tubuhnya terpelanting ke atas lantai.
"Bagaimana keadaan Rei?" Tanya Andres lalu kembali ke tempat duduknya.
Dika ikut duduk lalu menjawab, "aku belum melihatnya."
"Sepupu macam apa kamu ini!" Umpat Andres sambil menertawakannya.
"Aku ketiduran semalam dan pagi ini aku ada urusan lain."
"Urusan lain?" Wajahnya lagi-lagi terlihat terkejut.
Dika tersenyum.
"Ah, kamu bersamanya pagi ini?"
Dika mengangguk masih dengan tersenyum.
"Aku ingin bertemu dengannya." Kata Andres.
Dika memberitahu, "dia mengidolakanmu."
"Benarkah?" Andres terkejut lagi.
Dika menggeleng, "aku tidak akan mempertemukan kalian berdua. Dia mungkin akan jatuh cinta padamu."
Andres tertawa. "Aku tidak akan mengambil milik sahabatku. Lagipula aku sudah punya Bea."
Dika teringat cinta pertama Andres dan alasan mengapa sampai sekarang, sebelum bertemu dengan Bea-nya, dia tidak bisa jatuh cinta pada perempuan ataupun laki-laki.
Dika kemudian bertanya, "kamu sudah melupakannya?"
Andres tidak langsung menjawab, "aku mencintai Bea."
"Tapi kamu masih memikirkan anak itu?"
Andres mengangguk.
"Aku mungkin masih butuh waktu." Desahnya.
Dika mencoba mengira-ngira umur gadis itu, lalu mengingat mata bulatnya dan berwarna hitam.
"Bagaimana kalau anak itu Bea?" Dika menyuarakan isi kepalanya.
Andres menggeleng cepat lalu wajahnya terlihat berpikir.
"Rambutnya lurus dan berwarna cokelat." Desahnya.
Dika tertawa, "cewek jaman sekarang bisa berganti rambut kapan saja."
Andres menggeleng lagi, "pipinya tirus."
Dika tertawa lagi, "bentuk wajah manusia itu bisa berubah seiring pertumbuhan usianya. Kamu pasti terlihat berbeda dengan fotomu waktu kecil."
Andres menggeleng, "masih banyak kesamaannya."
Dika menjelaskan, "itu karena kamu sudah biasa melihat wajahmu sendiri."
Andres mendesah. "Bagaimana aku bisa tahu?"
Dika tertawa lalu berkata jujur, "aku tidak pernah melihatmu menjadi sebodoh ini! Kamu minta saja dia menunjukkan foto masa kecilnya. Semuanya beres."
Andres terlihat berpikir lagi, "benar."