Gadis itu memakai mukena dan sedang menonton acara tausiyah di televisi. Dia tidak menoleh ke arahnya yang datang. Dia kembali menganggapnya tidak ada. Dika mengucapkan salam pada ibunya. Dika tidak berhenti untuk mendengarkan ucapan wanita itu. Dia terus berjalan dan sekarang berdiri di samping gadis itu, menatap wajahnya. Dia hanya ingin melihat wajah itu terakhir kalinya. Dia memandangi setiap inci dari wajahnya. Dia ingin mengingat dan melihat wajah itu ketika dia memejamkan mata dan melompat dari ketinggian. Dika mengedip-ngedipkan matanya karena air matanya menghalanginya melihat wajahnya dengan jelas. Samar, mata gadis itu terlihat memandangnya. Dika ingin mengucapkan kata maaf untuk terakhir kalinya, tapi mulutnya tidak bisa digerakkan. Dia ingin tahu apa yang sedang dipikirkan gadis ini sekarang. Mengapa dia menatapnya seperti itu? Mengapa dia tidak terlihat marah? Mengapa dia tidak menunjukkan kebencian? Dika mendesah. Dia menoleh ke arah jendela yang telah dibuka. Langit mulai terlihat terang. Andai saja dalam hidupnya ada seberkas cahaya yang datang menyinari dan menyingkap kegelapan, meski itu perlahan, asal ada sedikit perubahan, sedikit saja harapan bahwa dia masih bisa memperbaikinya lagi. Dika menggelengkan kepala. Hidupnya, hidupnya ini sudah tidak bisa diperbaiki. Semakin dia berusaha memperbaiki, semakin hancur semuanya. Dia tidak menghancurkan hidupnya saja, tapi kehidupan orang-orang terdekatnya. Dika menghapus air matanya. Dia menghela napas panjang sambil memejamkan matanya. Dia menghela napas lagi, lagi dan lagi. Dia membuka mata lalu tersenyum sendiri.
Dika menoleh pada gadis itu. Tatapannya masih mengarah padanya dengan ekspresi yang dia sendiri tidak tahu itu apa. Dika menghela napas lagi.
"Aku pergi." Suaranya hilang, terdengar seperti hembusan angin.
Dika harus bisa mengeluarkan suaranya. Dia harus bisa mengatakan selamat tinggal pada gadis itu untuk terakhir kalinya. Dia ingin gadis itu mengingat suaranya ketika dia meninggal nanti.
"Ke mana?"
Butuh beberapa detik baginya menyadari gadis itu sedang bertanya padanya. Butuh beberapa detik lagi untuk memberitahu dirinya bahwa gadis itu mendengar ucapan selamat tinggalnya yang diucapkannya tiga kali.
"Pergi ke mana?" Tanyanya lagi dengan nada mendesak.
Dika menggeleng. Dia merasakan cengkeraman di lengannya. Tubuh Dika bergetar.
"Duduklah, nak."
Ibu gadis itu telah menggeser kursi ke sampingnya. Dika bergeser dan duduk. Tangan gadis itu terlepas, namun tatapannya tinggal.
"Kamu mau bercerita?"
Dika menggeleng.
"Kamu selalu bercerita meskipun aku tidak mau mendengarkan. Aku ingin kamu bercerita sekarang. Aku akan mendengarkannya."
Ya, Tuhan. Mengapa harus sekarang? Dika menjatuhkan kepalanya ke pinggir tempat tidur gadis itu. Dia lalu melipat kedua tangannya di depan kepalanya. Dika tidak tahu harus memulai bercerita dari mana. Dia tidak mungkin memulai dari sana. Dia tidak mungkin memulai dari malam itu ketika dia pulang dari apartemen mantan pacarnya dalam keadaan mabuk setelah bersenang-senang. Dika menghela napas. Dia tidak bisa, dia tidak mau mengingat kejadian itu. Dia tidak mau mengingat kilatan lampu itu, suara... Dia merasakan tempat tidurnya bergerak. Lalu dia sadar itu karena tangannya yang memukulnya. Ya, Tuhan. Dika mengangkat kepalanya. Dia melihat selimut di depannya. Dia menyibak selimut itu dan melihat dua paha yang diperban, buntung tanpa kaki. Air matanya mengalir. Tubuhnya menggigil hebat.
"Ma, tutup kakiku!"
"KAMU TIDAK PUNYA KAKI!!!" Dika berteriak marah sambil memukul tempat tidurnya.
"Kamu tidak punya kaki!" Dika mengucapkannya lagi sambil memandang gadis itu.
Mengapa raut wajahnya tidak berubah? Mengapa dia tidak menangis, marah, sedih, putus asa? Dika lalu menjatuhkan kepalanya di tempat tidur dan menangis. Dia yang menangis. Menangis seperti anak kecil. Menangisi kecerobohannya. Menangisi kebodohannya. Menangisi hidupnya yang malang. Menangisi orang tuanya. Menangisi kemalangan mereka karena hanya memiliki satu anak laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya, hidup orang lain, hidup sahabatnya.
"Jangan pergi!"
Suara itu menyadarkan Dika bahwa tubuhnya telah berdiri dan kakinya berjalan ke luar.
"DIKA! JANGAN PERGI!!!"
Teriakan gadis itu menyeret kakinya. Dika tidak bisa melangkah. Dia mendengar ibunya berusaha menenangkan gadis itu.
"Tidak ma! Dia tidak boleh pergi! Aku tahu dia mau kemana! Aku tidak mau dia mati! Aku tidak mau dia pergi!"
Gadis itu menangis. Dika mendengar isakan tangisnya.
Gadis itu lanjut berteriak-teriak, bertanya dengan terisak dan putus asa, "siapa yang akan memberiku bunga tiap pagi?! Siapa yang akan menanyai kabarku tiap hari?! Siapa yang akan membawakanku buku? Siapa yang akan memberiku dongeng?!"
"Aku!" Dika menoleh dan balas berteriak menjawab pertanyaannya. "Aku yang akan melakukan itu untukmu! Aku yang akan memperbaiki selimutmu. Aku yang akan mematikan tivimu tiap malam."
Oh, Tuhan. Sulit untuk diyakini bahwa saat ini dia melihat gadis itu tersenyum tapi menangis. Dua hal yang tidak pernah dilihatnya baik sendiri atau bersamaan. Dika tidak pernah melihat gadis itu tersenyum seperti ini padanya. Dika juga tidak pernah melihatnya menangis. Gadis itu menjulurkan tangannya. Dika berlari. Dia menggenggam tangannya dan menaruhnya di dadanya. Rasanya sakit di dadanya berangsur hilang.
"Aku membencimu!" Kata gadis itu sambil tersenyum.
Dika balas tersenyum. "Aku senang mendengarnya."
Suara kekehan tawa terdengar renyah di telinganya. Gadis itu lalu melepaskan tatapannya dari matanya. Dika mengikutinya. Langit lebih terang. Hidupnya pun begitu.
***
Nadia menekan ujung jemarinya di dada baji-, di dada pria itu, di dada Dika. Dia tidak habis pikir bagaimana dada sekokoh ini bisa hancur dalam hitungan jam. Kepala pria itu menoleh dengan seulas senyum merekah di bibirnya yang menarik kedua ujung bibir Nadia melukiskan senyum yang sama. Dia menurunkan tangannya dari dadanya dan menaruhnya kembali di atas tempat tidur. Nadia merasa sesuatu tertarik dari dirinya ketika tangan pria itu melepaskan genggamannya.
Pria itu menatapnya tanpa bicara. Nadia tidak suka momen seperti ini. Dia ingin tahu apa yang dipikirkannya sekarang, tapi dia tidak bisa bertanya. Dia malu bertanya. Dia malu berkata duluan. Dia malu berbicara padanya. Nadia memejamkan mata. Dia membuka mata lagi. Dia tidak mau pria itu mengiranya tertidur lalu pergi, atau mengiranya marah lagi, lalu pergi. Tatapannya masih sama. Nadia menghela napas.
"Katakan sesuatu." Nadia berbicara juga.
Pria itu menghembuskan napasnya lewat mulutnya lalu duduk. Dia melipat kedua tangannya di atas pinggiran tempat tidurnya dengan posisi menyamping sehingga bisa melihatnya dengan jelas.
Pria itu bertanya, "kamu akan mendengarkannya?"
Nadia mengangguk, "iya."
Pria itu tersenyum lagi.
"Terima kasih."
Nadia mengangguk lagi.
"Aku melakukan kesalahan lagi." Pria itu berhenti untuk menghela napas. "Aku merencanakan balas dendam pada Andres. Aku memberitahu teman-teman dekat kami di tempat fitness kalau Andres sakit. Mereka datang menjenguknya sekitar jam 8 malam."
Dahi Nadia berkerut.
"Terdengar bukan sebuah masalah, tapi bisa membuat Andres kesal. Itu yang aku pikirkan kemarin siang. Aku tidak tahu-" pria itu berhenti kemudian melanjutkan dengan kalimat yang berbeda, "beberapa dari mereka gay. Ada beberapa yang suka sama Andres dan sudah lama mengejar-ngejarnya. Aku pikir itu momen yang tepat bagi mereka untuk menunjukkan perasaannya bahwa mereka peduli."
"Kamu jahat!" Kata Nadia sambil tertawa kecil.
Pandangannya beralih sedikit ke samping kanan atas.
"Iya, aku memang jahat." Akunya dengan wajah berubah sedih.
"Aku hanya bercanda."
Pria itu menggeleng. Matanya sedikit memerah.
Nadia menyentuh lengannya. Dia mencengkeramnya lalu mendesak, "hentikan pikiran itu."
Tatapan pria itu beralih pada tangannya. Dia mengangkat tangan kanannya yang dicengkeram Nadia, lalu telapak tangan kirinya beralih ke atas tangan Nadia, menariknya dari tangan kanannya. Nadia menatap gerakan itu dengan perasaan was-was. Dia mendengar hembusan keras napasnya sendiri ketika melihat dan merasakan tangannya digenggam erat kedua tangan pria itu. Pria itu mengangguk.
Pria itu berpikir sebentar sebelum melanjutkan bercerita.
"Mereka datang ke rumah Andres. Mereka langsung masuk ke kamarnya, memberinya kejutan. Aku yakin mereka tidak hanya membawa bingkisan, tapi gairah yang menggebu." Pria itu tersenyum lagi.
Alis Nadia terangkat. Pria itu tertawa.
"Kapan lagi bisa bertemu Andres ketika sakit? Ya, meskipun-" pria itu kembali merubah kalimatnya, "itu kesempatan, mereka bisa memeluk dan mencium Andres. Aku lihat ada dua dari mereka yang sampai berdandan malam itu. Kamu paham maksudku?"
Nadia mengangguk lalu bertanya, "waria?"
Pria itu menggeleng, "tidak. Mereka bukan waria. Mereka berdandan seperti perempuan hanya pada waktu-waktu tertentu. Mereka masih menganggap dirinya laki-laki. Laki-laki yang memiliki ketertarikan seksual pada laki-laki."
Nadia ingin bertanya apakah dia juga sama seperti mereka. Hanya saja dia merasa waktunya tidak tepat. Nadia diam mendengarkan.
"Kesalahanku adalah, salah satu kesalahanku dan yang fatal, aku lupa memberitahu mereka tentang kekasih Andres. Aku lupa memperingatkan mereka agar tidak meliriknya, melihatnya, berbicara padanya, apalagi menyentuhnya."
Pria itu meremas tangan Nadia.
"Rei, sepupuku, mengajak gadis itu berkenalan."
Pria itu berhenti bercerita. Wajahnya tegang. Nadia berbalik ke arahnya dan ikut meremas genggaman kedua tangannya di tangannya dengan tangannya yang lain. Kedua tangan mereka menyatu.
"Lanjutkan, " pintanya.
Pria itu mengangguk.
"Andres marah dan menghajarnya hingga wajahnya,"
"Kamu bisa," kata Nadia. "Kamu bisa melanjutkan."
Nadia menarik satu tangannya yang di atas lalu menyentuh bekas luka memar di pipinya.
"Tulang hidungnya patah. Tulang rahangnya patah dan bergeser. Rei juga kehilangan giginya."
Pria itu menarik tangan Nadia dan menyatukannya dalam genggaman kedua tangannya lagi.
"Aku mematikan handphoneku malam itu dan aku ketiduran sampai pagi."
"Sampai jam tiga?"
Pria itu mengangguk. "Kamu tahu?"
Nadia mengalihkan tatapannya pada punggung pria itu.
"Maaf. Aku membangunkanmu."
Nadia menggeleng, "aku memang sering terbangun di malam hari."
Pria tertawa kecil, "jadi aku ketahuan?"
"Iya," Jawab Nadia sambil tersenyum.
"Maaf. Aku hanya," pria itu tidak melanjutkan.
"Tidak apa-apa. Kamu sudah berjanji akan terus memperbaiki selimutku dan mematikan tiviku tiap malam, kalau kamu sedang berada di sini."
Nadia menyesal mengucapkan ini. Dia merasa seperti gadis-gadis yang mengejar-ngejarnya.
Namun suara pria itu terdengar senang, "iya, aku janji."