webnovel

Luka Yang Menganga

"Hilih lo, gue tau kali," balas Bea nahan tawa. "Dasar ogeb!" Bea langsung menoyor kepala Bara, namun dengan cepat Bara menepis tangan Bea. Bea jadi kesal karena toyorannya belum sampai kepala Bara, jadi kepuasan hatinya belum terpenuhi.

"Bar, cowok itu kok pengennya menang sendiri ya?" keluh Bea. Bara bisa menangkap kenapa Bea bisa bertanya seperti itu, pasti ada hubungannya dengan pria itu. Siapa lagi kalau bukan, Agam.

"Engga tuh, kata siapa?"

"Kata gue. Kan barusan bilang."

"Sotoy! Gak semua cowok kayak gitu, Bea. Sikap itu tergantung gimana pribadinya masing-masing," tandas Bara santai. Bea menganggukan kepalanya tersenyum tipis menatap lurus dengan tatapan kosong.

"Kenapa? Kok nanya gitu? Lo ada masalah sama Agam?"

Bea terdiam, menolehkan kepalanya menatap Bara sendu. "Agam berubah, Bar," balas Bea lirih.

Bara tertegun. Ternyata ucapan Agam akan balas dendam padanya tidak main-main. "Berubah gimana?"

"Dia kayak udah gak perduli sam gue, Bar."

"Jangan sedih! Cewek kayak lo gak pantes dibikin sedih kayak gini. Cewek kayak lo pantesnya dibahagiain." Bara berusaha memenangkan hati Bea walaupun sebenarnya Bara juga ikut kesal atas perbuatan Agam yang menurutnya keterlaluan.

"Bea sebenarnya ...." Bara menarik nafas dalam sebelum melanjutkan pembicaraannya " ... sebenarnya Agam itu musuh gue waktu SMA."

Bea terhenyak mendengar pengakuan Bara. Tapi apa maksudnya Bara berbicara seperti itu padanya? Memangnya ada urusannya dengan Bea? Tidak kan?

"Terus apa hubungannya sama gue?" tanya Bea heran.

"Dia ... mau balas dendam sama gue dengan manfaatin lo."

Deg.

Bea tersenyum miring seolah tak percaya dengan ucapan Bara. "Lo bohong kan, Bar? Jangan suka fitnah orang kayak gitu gak baik!"

"Gue gak bohong, Bea. Gue serius."

"Gue kira lo cowok baik. Tapi ternyata pikiran lo picik, Bar."

"Bea gue serius! Coba lo lihat mata gue apa ada kebohongan di mata gue? Gak ada kan?"

Bea menggeleng masih tak percaya, menatap Bara dengan tatapan yang tak terbaca. "Lo mending pulang, Bar. Gue mau istirahat."

"Oh iya, satu lagi. Jangan suka jelek-jelekin orang. Gak baik," sambung Bea diiringi seulas senyum miring.

"Oke. Gue pulang. Tapi asal lo tau, Bea. Gue serius, gue gak mau lo disakitin lebih dalam lagi! Jika suatu saat omongan gue terbukti dan membuat lo sedih, jangan sungkan, pundak gue selalu siap jadi sandaran lo," ungkap Bara kemudian segera melompat ke balkon kabarnya dengan rasa kecewa karena Bea tak mempercayainya.

***

Bea terus saja memperhatikan langit-langit kamarnya perkataan Bara selalu terngiang-ngiang di pikirannya.

'Dia ... mau bales dendam sama gue dengan manfaatin lo.'

Bea mengacak-acak rambutnya frustasi. Ucapan Bara tadi berhasil membuat Bea susah tidur. Apa benar Agam setega itu?

Pikirannya mengatakan Agam itu gak mungkin melakukan hal sejahat itu. Tapi di sisi lain hatinya lebih mempercayai ucapan Bara yang terlihat serius. Bea jadi bingung sendiri harus mengikuti pikirannya atau hatinya? Pikiran Bea sekarang benar-benar kacau balau.

"Bea! Ada temen nih. Cepat turun." Suara Monic begitu menggelegar. Bea bergegas turun untuk menghampiri ibunya dan temannya yang tak tau itu siapa.

"Iya, Mah. Otw turun."

***

Bea tersentak kaget saat melihat siapa orang yang bertamu hari ini. Bea merasa bahagia ternyata ucapan Bara itu salah!

Kalau memang ucapan Bara benar, lalu untuk apa Agam menghampirinya lagi ke rumah? Bea memasang seulas senyuman manis kemudian segera menghampiri Agam.

"Eh, Agam. Yuk masuk! ayo duduk," suruh Bea.

Agam mengangguk dan mendudukkan dirinya di bangku single.

"Mau apa?" tanya Bea.

"Enggak, cuma mau ajak lo jalan-jalan aja mau gak? Sebagai permintaan maaf gue atas sikap gue tadi." Bea tersenyum tipis, pipinya berubah merah dia bahagia, Agam mau meminta maaf dan sadar atas perlakuannya tadi. Ternyata pikirannya berkata benar dan hatinya salah.

"Oh iya kalem. Yaudah gue ganti baju dulu ya. Tunggu bentar." Bea bergegas menaiki satu persatu anak tangganya menuju kamar untuk segera bersiap-siap jalan bersama kekasihnya.

Bea memilih-milih baju mana yang akan dipakai. Apakah dress? Longdress? Baju sport? Baju santai? Atau apa? Argh sungguh bingung sekali harus memilih yang mana karena sekarang Bea harus tampil cantik di depan kekasihnya itu agar Agam tambah mencintainya lagi.

Setelah sekitar 5 menit memilih-milih baju akhirnya Bea menemukan baju yang cocok untuk dipakainya sekarang. Dia akan memakai celana levis putih dan baju santai berwarna abu-abu dengan rambut diikat seperti ekor kuda dan memakai sneakers.

Wow, betapa kecenya Bea sekarang.

"Yuk," ajak Bea.

Agam langsung berdiri memasang seulas senyum dan berjalan mendahului Bea untuk keluar, tanpa menggandeng tangan Bea sama sekali. Bea mengerucutkan bibirnya sebel betapa cueknya Agam.

Tapi Bea harus berpositif thinking agar hubungan mereka baik-baik saja.

Kini Agam mengajak Bea menuju taman bunga di dekat cafe favorit Bea. Mereka duduk di sebuah kursi bawah pohon besar. Agam hanya sibuk dengan handphone-nya dan mengabaikan Bea yang dari tadi duduk di sebelahnya, hingga beberapa menit hanya ada keheningan di antara mereka.

Hingga akhirnya, Bea membuka pembicaraan. "Gam."

"Hmm..." Masih dengan kepala menunduk memperhatikan layar di handphone-nya.

Bea menarik napas kasar ia merasa tak dipedulikan saat ini. "Lo ngajak gue kesini. Kok sibuk maenin handphone terus?"

Agam menoleh sebentar sebelum akhirnya sibuk kembali dengan handphone-nya tanpa menjawab pertanyaan Bea.

Bea merasa kesal lagi-lagi Agam bersikap tak acuh padanya. Apa bener yang di ucapkan Bara kalau Agam itu sebenarnya gak cinta sama Bea, Agam hanya ingin membalas dendam kepada Bara? Pikiran Bea dihantui beberapa pertanyaan yang selalu membuat dirinya pusing.

"Lagi chattingan sama siapa sih?" tanya Bea lagi. Dan lagi-lagi pertanyaan Bea tak digubris sama sekali oleh Agam.

Bea berdiri dari tempat duduknya penuh emosi dan menghentakan kakinya kesal. Kemudian Bea memutuskan untuk pulang sendiri dengan harapan Agam akan mencegahnya.

Namun, harapannya tak sesuai dengan kenyataan. Agam sama sekali tak mencegah Bea, Agam malah memperhatikan Bea yang berjalan untuk pulang tanpa berkata apapun.

Kejam!

Bea memutuskan pulang dengan naik taxi. Namun tak ada satupun taxi yang lewat. Bea akhirnya kesal sendiri sudah menunggu lama namun taxinya tak kunjung datang. Akhirnya dia berjalan kaki sambil terisak menangis membayangkan kejadian tadi. Menyesal dia mau jalan sama Agam kalau tahu akhirnya seperti ini.

"Bea!" teriak seorang pria.

Bea menoleh setelah menyadari namanya dipanggil. "Iya?"

Bea mengerutkan keningnya bingung. "Bara?" sambungnya.

"Lo kok jalan kaki sendirian? Lah nangis pula? Kenapa?" tanya Bara cemas.

"Gue ... gak apa-apa," balas Bea menyunggingkan senyum tipis.

"Lo jangan bohong, Bea. Siapa yang udah nyakitin lo? Agam?" Bea mendongkakan kepalanya saat Bara menyebut nama 'Agam'.

"Jangan sotoy!"

"Ngaku aja, Bea! Ayo cepat pulang. Bareng gue, gak ada penolakan!" ajak Bara tegas.

***

Bersambung.