"Terima kasih," ucap Nadhira seraya tersenyum saat memberikan belanjaan yang sudah dihitungnya pada pembeli yang ada di depannya. Pembeli yang seorang wanita itu pun mengangguk dan tersenyum seraya mengambil alih kantung belanjaan dari tangan Nadhira, lalu pergi keluar dari toko.
Seraya berusaha mengejar impiannya, seperti itulah keseharian Nadhira. Dia bekerja di sebuah toko sebagai seorang kasir.
"Lihat, Nad, ada oppa Korea masuk," ucap Lili sumringah seraya membenahi rambut sekaligus merapihkan pakaiannya.
Pria itu baru saja masuk lalu segera menuju rak snack. Nadhira hanya melihatnya sekilas, itu pun karena Lili begitu heboh tentangnya.
"Nad, kali ini biar aku aja yah yang ngasirin." Pinta Lili memelas pada Nadhira.
"Iya silahkan aja atuh. Kalo bisa pikat semaksimal mungkin. Oke," ledek Nadhira seraya mengedipkan matanya sebelum pergi dari samping Lili menuju gudang toko. Lili yang merasa malu dan tersindir sedikit kesal hingga mengerucutkan bibirnya, membuat Nadhira tersenyum sebelum pergi meninggalkannya.
Pria itu terus mengambil berbagai snack dari rak yang berjejer panjang. Setelah dirasa cukup dia lalu berjalan menuju meja kasir.
Namun saat beberapa langkah lagi sampai di depan meja kasir seorang anak lelaki tiba-tiba menabraknya.
BRAKK... anak itu pun jatuh terduduk dan tak lama kemudian menangis.
Setelah beberapa detik terkejut, pria itu mulai berjongkok hingga sejajar dengan anak lelaki itu. Mencoba untuk menenangkannya.
"Tidak apa-apa. Berhentilah menangis! Anak pintar nggak boleh nangis," bujuknya seraya mengusap kepalanya.
"benarkah?" jawab anak itu polos dengan sesekali masih terisak.
Pria itu tersenyum dan kembali membelai kepala anak itu dengan lembut.
"Tentu saja. Lelaki harus kuat untuk bisa melindungi orang yang disayanginya."
Lili yang melihat hal itu semakin merasa kagum dan terpesona dengan pria yang disebutnya seperti Oppa Korea tersebut. Ternyata dia bukan hanya tampan, tapi juga tampak baik dan penyayang. Lili semakin terpesona.
"Apa Kakak mau ini?" Tawar anak kecil itu seraya menyodorkan wadah yang berisi kue kering dengan ukuran sedang.
"Tidak, untuk kamu saja," tolak pria itu lembut.
Anak lelaki itu kemudian tak terima dan kembali menangis. Membuat pria itu sedikit panik dan serba salah.
"Kakak marah sama aku, kan? Makanya kakak gak mau kuenya," gumam anak itu kemudian menangis lagi. Membuat pria itu semakin kebingungan.
"Baiklah-baiklah, kakak mau dan akan memakannya, jadi berhentilah menangis." Bujuk pria itu seraya mengelus-elus kepalanya.
Anak itu pun menurut dan menghentikan tangisnya. Dia menghapus air matanya dengan punggung tangannya sebelum memberikan beberapa potong kue ke atas telapak tangan pria tersebut.
Nadhira yang berdiri tidak jauh di belakang antara anak lelaki dan pria itu tampak cemas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dalam per sekian detik pria itu mulai membawa kue itu ke dalam mulutnya. Memakannya tanpa ragu sedikit pun.
Nadhira yang menyaksikannya tampak cemas hingga meremas kedua tangannya. Dengan gugup seraya mengetuk-ngetuk kan kakinya ke lantai, dia berpikir apa yang harus dia lakukan. Dia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi.
Setelah berpikir beberapa saat, Nadhira segera menghampiri pria itu. Lantas segera menepuk punggung bawah leher pria itu dengan lumayan keras.
Pria itu terkejut hingga ia memuntahkan makanan yang baru ditelannya. Itulah tujuan Nadhira. Dengan sigap dia menadahkan telapak tangannya tepat di depan mulut pria itu hingga saat pria itu muntah, muntahan itu tepat mendarat di tangan Nadhira.
Hening beberapa saat. Pria itu terkejut. Begitu pula Lili yang juga menyaksikan adegan itu. Lain halnya dengan bocah lelaki itu yang tampak polos dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi di hadapannya.
"Maaf, ini terbuat dari kacang. Bapak alergi kacang, bukan," ujar Nadhira memecah keheningan dan kebingungan pria itu.
Pria itu hanya bisa tercengang dengan apa yang terjadi di hadapannya.
Sedang Lili yang berada di balik meja kasir hanya bisa menghela nafas lega saat mendengar penuturan Nadhira.
"Tapi bagaimana kamu bisa tahu?" tanya pria itu masih dengan keheranan.
"Bukankah saat terakhir kali Bapak kemari, Bapak minta dicarikan coklat pada teman saya yang tidak ada kacang di dalamnya karena Bapak bilang Bapak alergi dengan kacang?"
Pria itu mencoba berpikir, tapi tidak lama. Fokusnya kini bukan lagi kapan dia pernah mengatakannya, tapi kini fokusnya tertuju pada telapak tangan Nadhira yang menjadi alas muntahannya.
Pria itu kemudian mengalihkan tatapannya dari telapak tangan Nadhira menuju ke wajah Nadhira. Dia kemudian begitu intens menatapnya hingga membuat Nadhira canggung dan tidak nyaman. Nadhira kemudian memilin bibirnya dan mengalihkan pandangannya ke bawah.
"Tanganmu," ucap pria itu masih menatap Nadhira.
"Tanganmu terkena kotoran makanan yang ku muntah kan," ulangnya sambil dagunya menunjuk ke arah tangan Nadhira.
Nadhira sedikit terkesiap.
"Oh, i..ya benar. Aku lupa," jawab Nadhira gagap karena masih sedikit gugup.
"Jangan khawatir. Aku tidak apa-apa," lanjutnya seraya mengangkat tangannya yang tidak terkena muntahan.
Nadhira melirik ke arah tangan yang terdapat muntahan itu. Dia kemudian segera menutup muntahan itu dengan jari-jari tangannya, kemudian sedikit tersenyum ke arah pria itu.
"Kalau begitu aku permisi," pamitnya sebelum pergi meninggalkan pria itu.
"Tt..tunggu," seru pria itu.
Nadhira tidak menghiraukannya. Dia justru semakin berlari untuk cepat sampai ke kamar mandi.
Pria itu menghela nafas dan tidak lama kemudian tersenyum. Tidak berapa lama seorang Ibu paruh baya datang menghampirinya.
"Sayang, kenapa pergi jauh dari Ibu?" ucap Ibu itu seraya mengelus anak itu dengan raut wajah khawatir.
"Oh, maaf, apa dia membuat masalah?" tanya Ibu itu setelah mengalihkan perhatiannya dari anaknya.
Pria itu menggeleng sambil tersenyum.
"Oh, tidak. Dia tidak membuat masalah."
Ibu itu pun menghela nafas lega dan segera membangunkan anaknya. Lalu tersenyum sebelum meninggalkan pria itu dan berjalan menuju meja kasir.
Pria itu juga bangun. Melanjutkan tujuannya yang semula akan menuju meja kasir.
Mata pria itu terus menjelajah mencari keberadaan sosok Nadhira saat belanjaannya tengah dihitung oleh Lili.
Lili yang tengah menghitung belanjaan merasa sedikit gugup dengan sesekali melirik ke arah pria itu. Dan untuk menghilangkan kegugupannya dia sesekali menghela nafas pelan.
"Total semuanya dua ratus lima puluh tiga ribu," ujar Lili setelah memasukkan semua belanjaan di kantung plastik.
Pria itu kemudian mengambil kartu di dompetnya dan memberikannya pada Lili. Setelah digesek Lili memberikan kartunya lagi pada pria itu.
"Terima kasih," lanjut Lili dengan menahan rasa gugup yang masih menderanya.
Pria itu pun membalasnya dengan tersenyum sebelum dia Pergi.
Sambil berjalan pelan pandangannya menjelajah ke beberapa sudut toko berusaha menemukan wanita yang tadi membantunya. Namun nihil. Wanita itu tidak ia temukan.
Dengan perasaan kecewa dia keluar dari toko.
Tidak lama setelah pria itu pergi, Nadhira muncul menghampiri Lili di meja kasir.
"Kamu tahu, Nad, tadi aku itu gugup sekali ngasirin pria itu."
Nadhira tersenyum.
"Ya pantas saja, kamu kan menyukainya," balas Nadhira santai.
"Emangnya kamu enggak suka? Lihat aja wong tampannya enggak ketulungan gitu." Lili menjeda kalimatnya kemudian dia secara spontan menyatukan kedua telapak tangannya hingga tercipta satu tepukan.
"Oh, iya, aku lupa. Kamu kan udah punya seseorang yang kamu suka. Pantas saja kalau tidak terpengaruh oleh ketampanannya."
Nadhira tidak menangapi. Dia hanya tersenyum sembari membuka tutup botol air minum yang dipegangnya, lalu segera meneguknya setelah terbuka.
"Tapi tidak apa-apa kok, jika hanya mengaguminya saja," lanjut Lili mengerling nakal sembari mencondongkan kepalanya ke bahu Nadhira.
Nadhira menarik botol dari mulutnya dan menaruhnya di meja. Lalu menoleh pada Lili.
"Berhenti membahas itu. Kau berlebihan." Nadhira menarik bahunya yang ditempeli kepala Lili dengan tiba-tiba hingga tubuh Lili sedikit terhuyung.
"Is, kamu saja yang dasar aneh." Kesal Lili seraya memanyunkan bibirnya.
Nadhira yang melihat kelakuan Lili hanya bisa tersenyum geli .
"Jangan gitu, kamu jelek tahu," ejek Nadhira.
"Ah, aku juga kesal banget sekarang, aku yang dari awal niat cari perhatian sama dia, eh, malah kamu yang berhasil menggodanya," keluhnya dengan wajah tampak kesal menghadap ke arah layar komputer.
Nadhira membuka sedikit mulutnya tidak percaya.
"Hah, ku rasa ada yang salah dengan penglihatan mu. Mana ada orang yang menggoda dengan mengorbankan tangannya seperti itu. Kau benar-benar gila."
Lili tidak menjawab. Setelah melihat layar komputer dia pergi menuju gudang tanpa bicara sepatah kata pun. Nadhira hanya bisa menghela nafas.
Seperti itulah Lili, sahabat Nadhira yang suka ngambek, tapi cepat pula kembali ke mood asalnya.
***
Di tempat tidurnya. Pria itu terus membolak-balikkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan. Matanya tidak bisa di pejamkan. Pikirannya terus terngiang dipenuhi oleh wajah Nadhira.
Dia kini tidur terlentang. Menatap langit-langit kamarnya. Tak lama ia pun tersenyum.
"Siapa wanita itu? Sayang, aku tidak tahu namanya."
Dengan masih menatap ke atas dia tersenyum lagi.
"Wanita aneh. Bisa-bisanya dia membiarkan tangannya untuk menjadi alas muntahan ku."
Senyumnya semakin mengembang lebar.
"Tapi harus ku akui, justru karena itulah dia memikat hatiku. Ketulusannya membuatnya terlihat sangat cantik," gumamnya sendiri.
Dia menghela nafas, lalu memejamkan matanya, mencoba menghilangkan bayang Nadhira untuk segera tidur karena besok dia ada rapat.