webnovel

FIREFLIES : first love

Simon merasa tak pernah merasakan cinta sekalipun dirinya telah banyak berpacaran dan tak jarang berhubungan intim dengan wanita bahkan yang umurnya jauh lebih tua darinya. Ia selalu merasa hampa dan tak mengerti apa itu cinta ? kasih sayang ? mungkin tak hanya sebatas itu. Ia menjadi dingin dan tak berperasaan. Ia telah mati rasa. Namun semua berubah saat seorang pemuda yang adalah adik tingkatnya datang untuk memintanya menjadi model majalah kampus. Pemuda tinggi dengan rambut cepak yang suka sekali membawa kamera ternyata adalah anggota club jurnalistik. Di balik lensa kamera itu, hatinya berdebar. Mungkinkah ia sedang jatuh cinta ? Pada lelaki juga ?!!! "YANG BENAR SAJA !!" "sebaiknya kau terima saja jati dirimu sebenarnya~" "Pergi atau sepatu ini akan masuk ke mulutmu !"

JieRamaDhan · LGBT+
Classificações insuficientes
165 Chs

Sikap Aneh

"Ugh.." Si pemuda besar melenguh ketika kesadarannya kian penuh. Entah sudah berapa lama dia tertidur, hal pertama dilihatnya adalah cahaya berwarna putih yang sangat terang. Ashley harus mengerjapkan mata beberapa saat untuk membiasakan retinanya pada perubahan kepadatan cahaya. Cukup membantu meningkatkan kesadaran, juga memunculkan pening. Terasa berdenyut-denyut di sekitaran pelipis dan dahi, lalu sekelilingnya seakan berputar. Itu membuat tubuhnya kembali limbung. Ashley menyandarkan kepala pada sandaran sofa. Beruntung sofa ini sangat empuk, bahkan lebih empuk ketimbang ranjangnya di kosan.

"Sudah bangun?"

Ashley reflek menoleh ke sumber suara dengan cepat. Tentu saja berimbas pada rasa pusing yang kian mendera. "Aakh!" erangnya sambil menekan pelipis sebelah kanan.

"Ya ampun.." Suara langkah kaki terdengar mendekat. "Kau benar-benar tidak bisa minum alkohol rupanya," cibir Simon tetapi kali ini lebih terdengar nada kekhawatiran.

"Aku kan sudah bilang," sahut si pria besar. Meski masih dalam recoveri pasca mabuk, Ashley masih memiliki tekad untuk menjawab apapun yang dikatakan Simon. Hanya saja, pria besar itu sama sekali tak membuka mata. Saat ini cahaya sekecil apapun akan berimbas buruk pada intensitas rasa pusing.

Ini hal baik bagi Simon. Karena dia bisa dengan mudah tersenyum tanpa takut dianggap aneh oleh Ashley.

"Kau sebaiknya minum ini dulu," ujar Simon setelah meletakan mug berukuran sedang di atas meja kaca. Uap putih tipis melambai-lambai tertiup angin.

"Itu.. apa?" Ashley akhirnya membuka kedua kelopak mata setelah selesai berkutat untuk membiasakan pandangan. Di depannya telah terpampang mug berwarna biru keabu-abuan dengan gambar siput-siput laut. Satu hal lagi yang baru dia ketahui mengenai Simon.

"Ramuan pereda mabuk. Setelah minum ini pengar mu akan segera membaik," jelas Simon lalu beralih dari sisi Ashley menuju salah satu kursi yang kosong. Dia harus menjaga jarak dengan pria besar itu. Harus.

Ashley mencondongkan pandangan untuk mengintip isi dari mug menggemaskan namun simpel itu. Cairan merah transparan mengisi hampir penuh, ada beberapa benda di dasar mug terendam oleh air merah. Entah apa yang telah dimasukan oleh Simon ke dalam sana. Namun karena aromanya lumayan enak, maka Ashley memberanikan diri untuk menyeruput. Tak sampai dua detik mug biru abu-abu itu diletakkan kembali di atas meja. Penyebab utama bukan karena sensasi panas menggerogoti permukaan lidah, memanggangnya dari dalam.

"Rasanya... sedikit unik." Ashley meringis, berkomentar tanpa menatap ke arah sang tuan rumah. Bagaimanapun dia dididik untuk menjunjung tinggi rasa sopan, dan menghina pemberian langsung di depan orang tersebut merupakan larangan tak tertulis yang wajib dilakukan. Sekalipun minuman tadi benar-benar aneh.

"Itu teh, resep dari nenek ku, dia berasal dari Asia. Sebutannya saja 'Teh', tapi sebenarnya minuman itu berisi rempah-rempah yang biasa didapat di daerah sana." Simon tampaknya menyadari raut wajah Ashley. "Rasanya lumayan pedas yah? Itu bukan cabai kok. Hanya jahe merah yang dibakar lalu ditumbuk sebelum dicampurkan dengan air panas. Aku tak akan memaksamu untuk menghabiskannya. Tapi kalau kau ingin pusingnya reda, kau bisa mencoba lebih banyak."

Ashley rasa Seniornya ini mengatakan kebenaran dan bukan bermaksud mengerjainya. Karena, walau tak muncul dengan cepat, efek pening pada kepalanya berangsur-angsur pudar. Secara perlahan mengganti dengan kesadaran sempurna tanpa embel-embel sakit kepala. Ashley menyesap cairan merah agak bening lumayan banyak.

"Wow.. wow.. Kau tidak perlu langsung menghabiskannya."

"Ini sangat membantu, walau rasanya unik." Pria besar itu meniup-niup permukaan air lalu meminumnya setelah dirasa agak dingin.

Simon tersenyum saat memperhatikan apa yang dilakukan Ashley. Meskipun hanya berlangsung beberapa detik sebelum dia kembali ke wajah datar tanpa minat. "Lain kali jangan terlalu memaksakan diri."

"Aku kan sudah bilang—"

"Ini sudah malam, sebaiknya kita pesan apa untuk makan malam?" Simon bangkit, mengangkat ponsel setinggi wajah, bertindak seperti hendak memesan makanan pada situs pesan antar. Tidak bisa dibilang bentuk kepura-puraan, namun juga tak benar sepenuhnya. Sebagian alasan Simon adalah untuk mengalihkan pembicaraan. Menjauh dari pemuda besar itu lebih baik ketimbang teringat dengan kejadian beberapa saat lalu.

Beruntung Ashley masih berada diambang pasca mabuk dan pengumpulan kesadaran.

Ini memberi ruang lebih untuk Simon menenangkan diri. Padahal dia telah melewati cukup banyak waktu saat Ashley masih terlelap. Mondar-mandir di ruang belakang, menenggak air mineral sebanyak-banyaknya lalu berakhir bolak-balik ke kamar kecil. Kini, setelah melihat Ashley bangun, semua usaha menenangkan diri terasa sia-sia.

Karena, Demi Tuhan, setiap kali Simon melihat mmanik pria besar itu —baik sengaja maupun tidak— bayang-bayang sorot tajam beberapa saat lalu kembali berkelibat. Semakin lama dia menatap wajah Ashley, semakin parah sensasi menggeletik dalam perutnya.

"Bagaimana dengan ayam goreng?" Simon berteriak dari arah dapur, masih belum berani bertanya secara tatap muka dengan pemuda besar di sofa tengah.

"Sebaiknya aku pulang saja," jawab Ashley dengan suara serak khas orang bangun tidur. Dia sudah berdiri tepat saat seruan dari dapur menggelegar.

"Jangan!" Simon bahkan tak mempercayai kata itu keluar dari mulutnya. Seperti terucap sendiri tanpa dipikirkan lebih dulu. Kini Simon persis orang linglung saat mendapati tatapan penasaran dari pria di ruang tengah, sorot mata yang meminta penjelasan masuk akal dari seruannya barusan. 'Lalu apa Simon?' Tidak tahu. Otaknya terasa beku seperti nugget ayam yang terselip di dalam mesin pendingin berbulan-bulan lamanya. Tidak bisa digunakan lagi meskipun sudah dipanaskan. "Kau.. Setidaknya kau harus makan dulu sebelum pulang."

Ashley menggigit bibir, ekspresi wajahnya tampak meragu. Dan, entah kenapa Simon juga menjadi gelisah. "Aku sudah terlalu banyak merepotkan Senior. Tadi juga aku.." Ashley mengelus tengkuknya sambil menunduk, ini semakin membuat Simon cemas. Was-was dengan apa yang akan dikatakan oleh Ashley. Mungkinkah pemuda itu ingat kejadian beberapa saat lalu? "...Apa aku bertingkah aneh saat mabuk? Kepalaku sangat pusing tadi dan ku rasa Senior kerepotan karena itu, kan?"

Tentang bertingkah aneh, bisa dibilang benar. Tetapi kalau merepotkan? Simon tak yakin bagaimana jawabannya. Beberapa saat lalu sebelum semua ini terjadi -insiden di sofa- mungkin saja dia akan dengan senang hati membiarkan pria besar itu pulang. Tanpa perlu bertanya. Lalu, sekarang dia malah merasa perlu menahan Ashley lebih lama lagi di sini. Untuk apa? Entah. Simon terlalu banyak berpikir sampai menjadi linglung sendiri.

"Kau benar-benar ingin pulang?" Ashley menganggguk. "Ini sudah malam, biar aku antar saja."

"Tapi Senior—"

Simon sudah berlalu ke arah kamarnya. Menghilang dibalik daun pintu yang tertutup dengan keras. Simon melepas pegangan dan membuat pintu itu terbanting secara tak sengaja.

Tubuhnya bersandar pada daun pintu. Berdiam diri di sana dan bukannya melangkah ke arah lemari. Sudut matanya menangkap pantulan dirinya pada cermin persegi panjang di sudut ruangan. Oh, tidak.. Apa Ashley melihat perubahan air mukanya?