webnovel

Fake Friends for Future

Setelah bersahabat 3 tahun lamanya, Rea mengaku kalau ia jatuh cinta pada Al, sejak awal menatapnya di rooftop kampus. Pada dasarnya, pasangan sahabat jadi cinta sudah menjadi hal yang sangat lumrah. Tapi, apakah Al bisa menerima Rea? Sementara selama ini, Al kerap berpaling hati dari satu wanita, ke wanita yang lainnya. Sebuah cerita sahabat jadi cinta, yang tidak semulus seperti dalam cerita novel, sinetron, maupun film layar lebar. Inilah, cerita sahabat jadi cinta yang sesungguhnya .... Selamat menikmati karya terbaru saya ^.^ Salam hangat, dari Between Him and Us

Ajengkelin · Urbano
Classificações insuficientes
232 Chs

Gebetan

"Al," panggil Hans mendekat pada Aldy.

"Hm? Iya Hans?" tanya Aldy, melihat Hans kini sudah duduk bersebelahan dengannya.

"Ada yang sedang kamu pikirkan?" tanya Hans.

"Hm? T—tidak. Aku hanya memikirkan tugas saja," jawab Aldy berusaha mengelak.

"Apa kamu merasa tidak enak dengan Rea?" tanya Hans.

"Hm? Apa yang kamu bicarakan, Hans. Santai saja," balas Aldy terkekeh.

"Aku tidak memaksa kamu harus tetap berada di band ini. Jika kamu merasa tidak enak pada Rea, kamu boleh berhenti, Al. Persahabatan kalian jauh lebih penting dari band ini."

***

Cklek!

Pintu rumah Rea dibuka. Bucket bunga mawar dihadapkan pada Rea. Dimana Rega menyembunyikan wajahnya dibalik bucket tersebut.

Pipi Rea merona, ia menerima bucket bunga tersebut.

"Terima kasih, Rega … kamu tidak perlu repot-repot seperti ini," tutur Rea, sekaligus mempersilakan Rega untuk masuk ke rumahnya.

Rega duduk di sofa yang sudah dipersilakan oleh Rea sebelumnya. Rea meminta pada Rega untuk menunggunya selama beberapa menit, karena ia belum selesai bersiap-siap.

Sementara itu Rega duduk dengan sedikit tegang dan juga segan. Kedua orang tua Rea sedang tidak berada di rumah dan itu membuat Rega menjadi tidak nyaman.

Hanya berselang beberapa menit, Rea sudah kembali dengan dandanan yang lebih baik dari sebelumnya.

"Ayo!" ajak Rea, meminta Rega untuk lekas beranjak.

Rega tersenyum dan menyusul Rea keluar dari rumah.

Rega dan Rea pergi, namun belum memutuskan akan pergi kemana.

***

Sebuah kafe dengan pengunjung yang berasal dari kalangan remaja, menjadi tempat yang sangat pas untuk Rega dan Rea yang sedang melakukan pendekatan. Suasana modern dengan musik akustik sebagai penghibur, membuat nuansa romansa anak muda yang sedang dimabuk cinta menjadi merasa nyaman di tempat tersebut.

Rega menyuguhkan buku menu kepada Rea, ingin Rea memilih apa saja makanan yang ingin dipesannya.

"Aku tidak menerima jawaban 'terserah' atau 'aku ikut kamu saja', pilih apa yang kamu inginkan, aku tidak ingin kamu menyesal kelak," tutur Rega memberikan reminder kepada Rea.

Rea menyeringai, malu.

Sebagai seorang perempuan, kata 'terserah' memang sangat lumrah digunakan untuk memberikan jawaban kepada pria yang mengajak atau menanyakan pendapat.

"Aku ingin pesan yang ini, Rega," ujar Rea, menunjuk sebuah menu seafood, dimana itu adalah makanan kesukaannya.

"Aku juga akan pesan makanan yang sama denganmu," balas Rega.

"Rega … kamu memintaku untuk tidak seperti itu, tetapi kamu sendiri mengikuti apa yang aku pesan?!" protes Rea, mengerucutkan bibirnya.

"Bukan seperti itu, Rea … aku memang menyukai seafood. Bahkan sangat menyukainya," ujar Rega, membela diri dengan kebenaran yang ada.

Kencan pertama mereka berjalan cukup baik dan juga sedikit ada kemajuan diantara keduanya.

***

"Rea, sudah sampai," ujar Rega, membangunkan Rea.

Rega menepikan mobilnya di depan rumah Rea dan menoleh pada Rea, yang kini matanya sedang terpejam.

"Tidur?" tanya Rega, bergumam.

Rega membangunkan Rea dengan sangat lembut dan berhati-hati, khawatir kalau Rea akan kaget saat bangun.

Rega mendekatkan wajahnya pada wajah Rea.

'Kamu sungguh cantik, Rea … pantas saja, Hans begitu tergila-gila padamu. Meski itu dulu, tapi saat ini aku yakin Hans menyesal karena melepaskanmu,' batin Rega, merasa beruntung bisa dekat dengan Rea.

Rega semakin mendekat dan bibirnya sudah siap untuk mendarat di bibir Rea.

Namun sayangya, hawa napas Rega dari hidungnya, membuat Rea risih dan membuka matanya.

"Rega?" tanya Rea, heran mengapa Rega menatapnya dengan jarak yang sangat dekat.

"R—rea? Kamu sudah bangun?" tanya Rega mundur, ia menjadi salah tingkah.

"Hmm … terima kasih untuk hari ini, Rega … aku pulang, ya …," ujarnya memberikan usapan lembut di pipi kiri Rega.

Rea keluar dari mobil Rega dan segera masuk ke dalam rumahnya. Tidak lagi menunggu mobil Rega berlalu, ia sudah sangat mengantuk.

Sementara itu, Aldy menghabiskan akhir pekannya hanya di rumah saja bersama laptop yang dihadapkan dengan tugas dan ponsel yang sejak tadi memubuatnya hilang fokus akan tugas-tugas kampusnya yang sebenarnya sudah mendekati deadline.

Aldy mengambil air minum yang disimpannya di dalam lemari es. Menurutnya, air dingin dapat menyegarkan pikirannya dari tugas-tugas yang sudah membuat pikirannya tersiksa.

Ia kembali ke kamarnya dengan satu gelas air yang diisi oleh es batu.

Aldy menaruh gelas tersebut di atas meja belajarnya dan memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia kembali memainkan ponselnya, membalas pesan.

Aldy tersenyum menatap layar ponselnya. Sedari tadi, ia masih asyik dengan ponselnya yang tidak pernah berhenti berdering. Pesan selalu masuk dan membuat Aldy memilih untuk bertahan pda room chat dari gadis bernama Soraya.

Sedikit ada perasaan senang dihati Aldy ketikan chatting-an dengan gadis itu dan membuat Aldy melupakan dunianya sejenak.

Soraya : Kamu tidak tidur? Ini sudah dini hari.

Aldy : Masih ada beberapa tugas yang mesti aku selesaikan. Kamu tidur duluan saja, ya.

Soraya : Baiklah. Sampai bertemu besok siang, di kampus.

Aldy : Selamat malam, Soraya ….

Aldy membuat janji temu dengan Soraya esok hari, di kantin kampus, pada saat jam makan siang. Mungkin ia tidak akan bergabung bersama Rea ataupun Ferdinan, karena makan siangnya dengan Soraya terhitung sebagai kencan.

***

Aldy menelurusi jalan yang menurutnya masih sangat asing. Koridor yang menjadi penghubung antara gedung jurusan yang satu dengan yang lainnya. Ia sudah berjanji untuk menjemput Soraya di depan kelasnya, sebelum mereka melakukan makan siang bersama di kantin.

Sementara itu, Rea dan Ferdinan sudah menunggunya di kantin dan sengaja tidak memesan makanan karena menunggu kedatangan Aldy.

"Aku sudah lapar, Rea … mau sampai kapan menunggu Aldy?" gerutu Ferdinan yang sejak tadi mengomel karena Aldy tak kunjung datang dan juga memberi kabar.

"Sebentar lagi, Fer … ditahan, dong …," pinta Rea, melirik kesana kemari, mencari keberadaan Aldy.

"Ah! Itu dia!" seru Ferdinan menunjuk Aldy yang terlihat dari jauh, sedang berjalan menuju ke kantin. "Aku segera pesan makan, kamu mau pesan apa?"

"Fer … itu Aldy sedang jalan bersama perempuan, ya?" tanya Rea, heran.

Mata Ferdinan menyorot pada Aldy yang semakin dekat menghampiri mereka.

Aldy terlihat menyeringai, menyapa Rea dan Ferdinan.

"Kalian menungguku?" tanya Aldy, terkekeh.

"Bukan menunggu lagi. Kamu juga sudah membuatku kelaparan, Al," gerutu Ferdinan. "Sudah cepat, kamu ingin makan apa. Aku yang akan pesankan."

"Hmmm … tapi … hmmm gimana, ya? A—aku tidak ikut gabung dengan kalian siang ini. A—aku akan makan bersama Soraya. Kalian tidak masalah, 'kan? Maaf aku tidak mengabari sebelumnya," tutur Aldy.

"Ah! Karena perempuan. Soraya ini, siapa kamu?" tanya Ferdinan, sebenarnya kesal dengan Aldy.

"Ouh … kenalkan, ini Soraya … gebetan-ku …."