Kening Lydia berkerut melihat bosnya yang tersenyum. Ya, saudara-saudara. Seorang Reino Andersen yang tak pernah tersenyum, pagi ini masuk ke ruangannya dengan senyuman. Thalita saja kaget, apalagi Lydia.
“Aku punya kabar baik untukmu,” gumam Reino dari mejanya. Moodnya masih amat sangat bagus.
Lydia tidak langsung menjawab. Dia terlebih dulu meletakkan tablet berisi jadwal Reino, sebelum berbicara dengan nada profesionalnya yang biasa. Padahal dalam hati Lydia sudah mengharapkan dia bisa kembali ke divisi keuangan. Bekerja dengan Reino membuatnya sakit kepala.
“Boleh saya tahu berita bagus apa yang Pak Reino maksud?”
“Aku sudah membereskan orang-orang yang mengganggumu kemarin,” jawab Reino jemawa.
Senyum langsung menghilang di wajah Lydia. Kening wanita muda itu berkerut dalam, berusaha untuk mencerna kata-kata atasannya yang terdengar sangat absurd.
“Maksudnya, Pak?”
“Aku menghajar mereka dan melunasi utangmu,” jawab Reino masih dengan mood yang sangat bagus. Padahal biasanya dia sudah memaki jika ada yang bertanya seperti itu.
Lydia menarik napas sebanyak mungkin dengan mata terpejam. Jadi rupanya ini alasan Reino bekerja sama dengan para rentenir itu? Agar dirinya bisa berutang pada lelaki sialan itu, kemudian dia akan meminta tubuh kurusnya sebagai bayaran?
Picik sekali. Sangat picik.
“Pak. Maaf jika harus mengatakan ini, tapi..." Lydia perlu menarik napas panjang dulu.
"Saya tahu kok, anda kan yang meminta para rentenir itu datang,” gumam Lydia masih salah paham.
“Bapak kan yang menyuruh mereka datang ke rumah saya dan ke kantor ini, supaya Pak Reino bisa pura-pura jadi superhero. Biar saya punya utang banyak pada anda dan anda berharap saya berutang budi dan mengiyakan ajakan anda tempo hari.”
“Ck. Ketahuan,” Reino berdecak kesal.
“Aku memang ingin membuatmu berutang budi padaku, tapi...” Reino menggerakkan tangannya di udara.
“Apa yang kau maksud dengan menyuruh mereka datang?” tanya blasteran itu dengan raut bingung.
“Pak Reino bekerja sama dengan mereka untuk mengancamku.”
“Kau gila?” tanya Reino dengan suara meninggi. “Untuk apa aku menyuruh mereka mengancammu?”
“Seperti yang anda akui tadi. Untuk membuat saya berutang budi,” jawab Lydia dengan wajah diusahakan setenang mungkin.
“Utang budi dan mengancam itu dua hal yang berbeda. Aku jelas jauh lebih bisa mengancammu,” desis Reino mulai marah. Dia merasa tersinggung.
Seorang Reino Andersen, mengancam orang menggunakan jasa rentenir? Itu adalah hal tergila yang pernah didengar Reino seumur hidupnya.
Reino tidak butuh bantuan untuk mengancam seseorang. Dia amat sangat mampu untuk melakukan pengancaman. Dan kalimat Lydia tadi sangat menghina harga dirinya.
Merasa perlu untuk membuktikan diri, Reino berdiri dari kursi kebesarannya. Dia bergerak maju dengan sangat perlahan ke arah Lydia, membuat wanita itu mundur setiap kali dia mendekat.
“Pak Reino mau apa?” tanya Lydia ketika bokongnya menyentuh pinggiran meja kerjanya.
Lydia masih bisa lari, tapi sulit karena kini Reino memenjarakan dirinya di antara tubuh pria itu dan meja kerjanya sendiri. Dalam keadaan tersudut seperti ini, Llydia tidak bisa mengendalikan suaranya yang tadi terdengar bergetar.
“Menurutmu?” tanya suara rendah dan dingin itu.
Tatapan mata Reino yang setajam elang, membuat Lydia tidak berkutik. Jangankan melakukan sesuatu, berdiri saja rasanya dia sudah nyaris tak mampu lagi. Jelas kalau Reino tak membutuhkan bantuan siapa pun dalam urusan ancam mengancam.
“Pak ini-“
“Apa? Kau sudah merasa takut sekarang?” tanya Reino dengan desisan yang terdengar seperti ular.
“Masih mau mengatakan aku tidak sanggup mengancammu?”
Lydia segera menggeleng sebagai jawaban. Inginnya sih menggeleng dengan cepat, tapi dia tidak bisa. Seolah ada penghalang yang membuat lehernya tidak bisa bergerak dengan leluasa.
“Aku tidak mendengar suaramu,” bisik Reino yang membuat bulu kuduk Lydia meremang.
“Ma... maaf, Pak.”
“Untuk apa?”
“Ka... karena meragukan... kemampuan Anda,” jawab Lydia terbata-bata.
“Good girl,” Reino masih betah berbisik.
Suara bisikan Reino yang rendah dan nyaris serak itu, membuat Lydia makin merinding. Rasanya seperti menonton film horor sendirian di tengah malam dan filmnya sedang memainkan musik mistis yang lembut, mendayu dan menyeramkan.
Belum ditambah dengan belaian tangan Reino di pipinya. Ya. Entah kerasukan setan apa, tiba-tiba saja Reino mengelus pipi Lydia dengan sangat pelan.
Permukaan jemari Reino menyentuh dengan sangat pelan. Tepatnya hanya sedikit saja yang menyentuh kulit Lydia. Benar-benar hanya sedikit dan sekilas saja, tapi efeknya luar biasa.
Degup jantung Lydia bertambah nyaring. Dia sampai berpikir mungkin Reino bisa mendengar suara degupan itu. Napasnya yang sempat tertahan, kini menghembus dengan terpatah-patah.
Lydia bernapas menggunakan mulutnya karena merasa hidung saja tidak cukup untuk memasok oksigen ke dalam tubuhnya. Akibatnya, suara deru napas Lydia yang memburu terdengar cukup jelas di telinga Reino. Posisi pria itu yang sangat dekat dengan Lydia lah penyebabnya.
Suara napas wanita di depannya itu membuat Reino sedikit kehilangan kendali. Perasaan marah yang tadinya bercokol di kepala dan hati pria itu, kini telah pergi entah ke mana. Tergantikan oleh gairah hanya karena deruan napas seorang wanita yang harusnya tidak menarik dimatanya.
“Damn,” geram Reino merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya perangkatnya yang di bawah bereaksi hanya karena deruan napas seorang wanita kurus?
“Maaf, Pak. Boleh saya-“
“Tidak,” desis Reino memotong kalimat Lydia. Apa pun yang perempuan itu inginkan dia tak akan mengizinkan.
“Kau tidak akan ke mana-mana,” bisik Reino makin mendekatkan wajahnya dengan wajah Lydia, membuat wanita itu terkesiap.
Lydia sudah memejamkan mata dengan sangat rapat, ketika Reino mengecup sudut bibirnya. Kemudian beralih pada bibirnya. Hanya kecupan ringan, tapi mampu membuat sekujur tubuhnya bergetar.
Padahal baru kecupan, tapi Lydia sudah merasa lemas. Ingin melawan pun dia sudah tidak punya tenaga lagi. Menyadari itu, Reino mengangkat bokong Lydia. Mendudukan wanita yang baginya sangat ringan itu duduk di atas meja kerjanya sendiri.
Lydia terkejut, tapi dia tidak bisa menahan ketika pria di depannya itu memagut bibir bawahnya. Awalnya pelan saja, tapi lama kelamaan makin menuntut. Membuat Lydia yang tak berpengalaman kewalan dan dilema. Dilema ingin membalas Reino atau tidak.
Satu sisi Lydia penasaran ingin mencoba membalas pagutan itu. Tapi disisi lain, dia tak tahu caranya dan juga tak ingin terlihat murahan.
Pada akhirnya pemikirannya itu membuat Lydia tersadar dari buaian Reino. Matanya terbuka nyalang, tapi masih belum mendapatkan kembali tenaganya untuk melawan.
“Balas aku, Lydia,” desis Reino marah karena pagutannya tidak di balas sama sekali.
Reino tahu wanita di depannya itu mungkin tidak tahu apa-apa, tapi dia ingan Lydia membalas. Sekaku apa pun itu dia tidak ingin pagutannya tidak dibalas karena itu sama saja meremehkan kemampuannya.
Dan karena tidak ada yang dikatakan Lydia, Reino kembali berniat menempelkan bibir mereka. Namun kali ini, Lydia berhasil menahan bibir itu melekat di bibirnya menggunakan tangan. Atau lebih tepatnya jemari kurusnya.
“Maaf, Pak,” serunya dengan napas memburu. “Saya tidak menjual tubuh saya.”
***To Be Continued***