webnovel

Ide Reino

Rasanya bahkan belum 10 menit berlalu, tapi wanita yang dibawa Reino sudah keluar dengan wajah marah. Bahkan pintu ruangan bosanya itu menjadi sasaran.

Bukan hanya Lydia, tapi Thalita juga sampai kena damprat perempuan itu. Tentu tidak ada yang menggubrisnya, tapi setelahnya tingkat percaya diri Thalita membuat Lydia ingin muntah.

Wanita Genit itu dengan percaya dirinya mulai memulas bibirnya dengan cepat, kemudian merapikan pakaiannya dan menyemprotkan parfum. Semua dilakukan sangat cepat, sampai Lydia berpikir Wanita Genit menyebalkan itu bukan manusia.

“Mau ke mana?” tanya Lydia bingung ketika Thalita menarik kenop pintu ruangan Reino.

“Tentu saja menemui Pak Reino. Kamu yang gak tahu apa-apa mending gak usah ikut campur,” geram Thalita dengan mata menatap tajam.

Lydia sebenarnya tidak perlu dijelaskan apapun. Dia sudah bisa menebak kalau Thalita akan menawarkan tubuhnya karena sepertinya perempuan tadi tidak berhasil memuaskan Polar Bear.

“Waktumu lima belas menit. Pak Reino masih ada rapat 30 menit lagi,” seru Lydia tanpa peduli dengan tampang mencebik si Ganjen itu.

Tapi rupanya, Polar Bear sedang tidak ingin melakukan olah raga apapun siang ini. Buktinya, belum juga tiga menit Thalita masuk ke dalam, suara Reino yang sanggup mengguncang satu gedung terdengar. Lelaki itu sepertinya mengusir sekretarisnya itu.

“Lydia masuk.”

Suara Reino kembali terdengar saat Thalita membuka pintu ruangan dengan tampang kesal. Lydia yang awalnya terkejut, malah jadi tertawa karena wajah Thalita terlihat lucu.

“Makanya jangan kepedean,” bisik Lydia saat melewati rekan kerjanya itu. Membuat Wanita Ganjen itu mendelik marah ke arahnya.

“Ada yang bisa dibantu, Pak?” Lydia menghadap pada Reino dengan senyum lebar menyungging. Terlihat sangat puas melihat wajah nelangsa Reino.

“Siapkan materi trainingnya,” hardik Reino kesal.

***

Reino memejamkan matanya serapat mungkin. Kepalanya sedang sakit karena tidak bisa melampiaskan hasrat yang sudah lama terpendam. Dan ini semua gara-gara mantan istri, sekaligus asisten pribadinya itu. Sejak tidur bersama wanita tanpa lekuk itu, Reino tak bisa lagi tidur dengan perempuan lain.

“Maaf, Pak.”

Seseorang dengan jas hitam dan berbadan besar datang mendekati Reino yang masih duduk dengan terpejam di sofa ruang tamu penthouse miliknya. Reino tidak perlu diberitahu siapa yang datang karena dia mengenali suara serak itu.

“Dapat?” tanya Reino tanpa membuka matanya.

“Sudah saya kirimkan semuanya ke email anda,” jawab kepala pengawal Reino.

“Beritahu saja aku apa yang kau dapatkan,” geram Reino sedang malas bergerak. Bahkan kalau bisa dia juga tidak ingin berpikir atau bernapas.

Kepala pengawal Polar Bear itu mengambil ponselnya. Walau ringkasan informasi yang diinginkan Reino sudah ada di kepalanya, rasanya lebih baik kalau dia juga memegang data. Atasannya itu kadang suka tiba-tiba meminta data.

“Kesimpulan yang bisa diambil adalah keluarga Lydia...”

“Nona,” hardik Reino masih terpejam, tapi nada suaranya cukup untuk membuat siapapun merinding.

“Maksud saya keluarga Nona Lydia punya utang pada rentenir. Yang tadi pagi datang ke kantor itu orang rentenir,” jelas si kepala pengawal.

Mata Reino yang sedari tadi terpejam, seketika membuka begitu mendengar keluarga Lydia punya utang. Padahal tadinya Reino berpikir wanita itu yang punya utang, tapi rupanya hanya keluarga wanita itu yang punya utang.

“Lalu kenapa dia yang membayar?” seru Reino penuh keheranan.

“Ah, sepertinya tata bahasa saya tadi salah. Maksud saya, almarhum ayah Nona Lydia yang punya utang.”

“Almarhum?”

“Benar, Pak. Nona Lydia sudah menjadi yatim sejak SMP. Saya rasa di cv yang dulu disetornya saat melamar pekerjaan pasti tercantum.”

Reino langsung menggeram mendengar pernyataan kepala pengawalnya. Dia sama sekali tidak pernah memperhatikan bagian itu, padahal dirinya pernah membaca cv Lydia sebelum mengajukan kontrak nikah dulu. Bagaimana bisa tidak terbaca?

“Berapa utangnya?”

“Hm, menurut catatan dari kelompok rentenir itu...” Hadi si kepala pengawal perlu melihat ponselnya agar tidak salah ucap. “Pokoknya sekitar satu milyar ditambah bunga dengan nominal yang sedikit lebih besar dari pokok pinjaman.”

“Bunganya satu milyar?” tanya Reino dengan mata membulat.

“Satu milyar untuk jangka waktu hampir 10 tahun dan masih berbunga sampai sekarang. Padahal pihak Nona Lydia sudah menjual beberapa hal untuk membayar. Juga bulan lalu baru membayar pokoknya. Saat ini utangnya tinggal 400 jutaan dan masih berbunga.”

Hadi meringis saat mengatakan itu semua. Bunga yang diberikan rentenir memang luar biasa, sekitar 20 persen per tahunnya. Padahal pinjaman modal kerja dan cicilan rumah saja tidak seperti itu. Itu pun bunganya tidak berbunga lagi.

“Di mana orang gila yang memberi bunga setinggi itu?” tanya Reino dengan mata melotot.

“Kebetulan saya sudah mengamankan pimpinan dan orang yang tadi datang ke kantor di tempat biasa.”

Reino yang memang baru sampai di rumah dan belum berganti pakaian, melepas dasinya tuk kemudian di lempar ke sembarang arah. Setelahnya dia langsung beranjak dari sofa. Dia akan menghajar siapa pun yang cukup gila mengancam Lydia.

Tempat biasa yang disebut Hadi adalah sebuah gubuk yang cukup jauh dari penthouse. Tempatnya sangat terpencil dan terlihat seperti rumah hantu. Sengaja dibuat demikian agar tidak ada orang yang mendekat ketika Reino sedang ‘asyik’ di sana.

“Kau?” geram lelaki pelontos yang tadi pagi datang mengancam Lydia di kantor.

“Oh, senang kau masih mengenaliku,” seru Reino sembari tersenyum sinis.

“Apa-apaan ini? Bagaimana kau bisa terlibat dengan Reino Andersen,” geram pria tua di sebelah pria botak tadi. Mereka berdua dalam keadaan terikat.

“Reino Andersen?” tanya pria botak itu sedikit pucat.

“Senang rasanya kalian bisa mengenali aku yang biasa-biasa ini.” Senyum Reino makin mengembang dan makin terlihat dengan matanya yang menyipit.

“Maaf, Pak Reino. Anak buah saya sepertinya salah menyerang orang anda,” jawab Si Tua agak gugup.

“Oh, ya. Itu jelas sebuah kesalahan besar. Dan kebetulan saja sudah beberapa hari aku tidak olah raga dan itu membuatku sedikit… butuh pelampiasan,” gumam Reino penuh arti.

Baru digertak dengan suara halus saja dua orang di depan Reino itu sudah gemetaran. Apa jadinya kalau Reino sudah benar-benar mengancam? Hadi sendiri saja kadang ngeri melihat atasannya itu kalau sedang ‘kalap’.

“Tunggu Pak Reino. Katakan saja pada saya siapa nama teman anda itu, nanti akan kami hapuskan semua utangnya,” seru Pak Tua dengan raut wajah ketakutan

“Masa? Bahkan jika utangnya sampai setengah milyar?” tanya Reino dengan sebelah alis terangkat.

‘Ini sangat tidak seru,’ tambahnya dalam hati.

“Berapa pun nominalnya akan kami hapuskan,” jawab si Pria Tua dengan rambut memutih itu.

Reino baru saja ingin menghajar pria tua yang banyak bicara itu, tapi satu ide jenius terlintas dibenalnya. Ide yang sangat sederhana sebenarnnya, tapi Reino baru kepikiran saat ini. Dan baginya ini ide yang bagus untuk membuat Lydia mau menerima tawarannya.

“Hei, suruh mereka membuat surat pelunasan utang,” seru Reino pada Hadi. “Aku punya ide yang menarik.”

Reino akan membayar utang Lydia. Dengan begitu, wanita itu pada akhirnya berutang pada dirinya. Reino tidak akan meminta uang pembayaran, dia akan menagih jatah kapan pun dia mau sebagai gantinya.

***To Be Continued***