webnovel

Elbara : Melts The Coldest Heart

"Gray describes my life before you come." Elbara Geofano Adalard Satu-satunya penguasa sekolah yang memiliki sifat dingin dan tidak tersentuh, kecuali pada Alvira, adik kesayangannya. Hari-harinya biasa saja, ditemani oleh kedua sahabatnya yang sangat konyol. Untuk menghadirkan senyum saja ia tidak minat, tapi banyak sekali cewek yang mengincar hatinya termasuk Priska Andini Adibanyu. Sampai seorang cewek yang lugu dan memiliki rasa penasaran yang tinggi mulai masuk ke dalam kehidupannya. Satu-satunya cewek yang berhasil membuka akses untuk masuk kedalam kehidupannya lebih jauh. Entah apa yang spesial dari cewek itu, sampai sekarang ia tidak tau apa yang menjadi alasan dirinya berprilaku berbeda hanya pada cewek itu. Namanya Venusa Angelica.

zakiasyafira · Ficção Científica
Classificações insuficientes
364 Chs

Rasa Peduli El Untuk Nusa

Nusa berguling ke kanan dan ke kiri dengan perasaan bosan yang di landa kuat. Sebenarnya ia tidak ingin membolos, tapi tidak ada pilihan yang jauh lebih baik, bukan? Memangnya siapa yang ingin di perlakukan seperti itu? tidak ada, perlakuan bully adalah hal yang paling buruk. Ah baiklah, lebih baik tidak perlu diingat kembali, hanya membuat hatinya berdenyut perih.

Ia menyalakan speaker kecil yang berada di kamarnya, terus menerus memutarkan lagu barat sebagai pengisi kesunyian. Ya anggap saja tengah menghibur hari yang tengah kacau akibat dari semua yang terjadi ini.

"Kak Rehan marah gak ya kalau tau aku bolos kayak gini? aish.."

"Nanti Nusa gak di kasih jatah makan siang nih jangan-jangan."

"Eh tapi kan Kak Rehan gak jahat kayak Bara, mana mungkin biarin sang adik tercinta kelaperan."

"Apaan kata lo?"

Pada detik itu juga, Nusa langsung menegakkan tubuh yang awalnya tengkurap di atas kasur. Ia melihat El yang sudah berdiri tepat di pintu kamarnya sambil menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Menatap Nusa dengan tatapan dingin yang terasa sangat mengintimidasi, astaga sangat membuat dirinya takut.

"Eh, Bara? Kok ada disini sih? Gak bilang-bilang juga lagi, kan Nusa masih jelek." ucap Nusa dengan gugup sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia benar-benar ingin menghilangkan diri saja dari muka bumi karena sudah terlewat malu.

"Pikun lo."

Nusa melihat El yang melangkah mendekatinya, wajah cowok itu selalu menjadi daya tarik bagi dirinya. "Eh, siapa yang izinin kamu buat masuk ke kamar aku?" tanyanya dengan pipi yang menggembung lucu, meminta kejelasan dari hadirnya seorang cowok yang selalu membuat dirinya penasaran itu.

Terlihat El yang menaikkan sebelah alis, lalu menggelengkan kepalanya dengan gerakan perlahan saat melihat tingkah aneh yang ditunjukkan Nusa. "Gak jelas lo." ucapnya sambil menaruh tas milik Nusa di atas kasur, tepat di samping cewek itu.

"Eh? Iya aku lupa kalau nyuruh kamu buat bawain tas aku." ucap Nusa sambil meringis kecil, astaga kenapa dirinya menjadi pelupa seperti ini?

"Hm." Padahal mah El tau kalau membawa tas Nusa adalah inisiatif dari jalan pikirannya sendiri, bukan cewek itu yang meminta. Tapi ya sudahlah, Nusa pun ingatnya seperti itu dan dirinya juga malas untuk menjelaskan yang benar.

Nusa membenarkan letak tasnya ke kasur bagian lain, lalu menatap tubuh atletis El yang masih berdiri menatap ke arahnya dengan tatapan dingin. "Kamu gak mau duduk? Nanti pegal loh, aku gak jago pijat soalnya." ucapnya.

"Iya."

Ia melihat El yang sudah duduk di tepi kasur, tepat berhadapan dengannya yang berada di tengah-tengah kasur. "Lo gak apa-apa?" tanya cowok itu menatap ke arah dirinya dengan sebelah alis terangkat, apapun ekspresinya pun tak dapat di tebak kalau dia sedang marah atau biasa saja.

Nusa terkekeh kecil, astaga akhirnya ia bisa melihat ekspresi lain yang di tunjukkan oleh El. "Gak apa-apa, emangnya aku kenapa?" jawabnya.

"Lo bolos."

"Ya terus?" tanya Nusa sambil mengusap lengannya dengan pelan. Ia merasakan hawa dingin saat El mulai memasuki kamarnya, entahlah ini hanya perasaannya saja karena mungkin merasa takut dengan cowok itu.

"Punya keberanian apa lo sampai bolos?" tanya El dengan nada bicara yang terkesan mengintimidasi karena Nusa bernotabene sebagai murid baru namun sudah berani membolos sekolah —ya walaupun ada alasan yang mendasari keputusannya tersebut—.

"Hah? Ak--aku, gak tau, maaf." ucap Nusa yang sudah kebingungan menjawab pertanyaan El. Ia mulai menundukkan kepalanya, tiba-tiba merasa bersalah dengan tindakan membolosnya ini.

Terdengar El yang menghela napasnya, hal itu mengakibatkan degup jantungnya yang semakin di pompa dengan cepat.

"Lo kenapa?" tanya El lagi, belum puas dengan jawaban tidak jelas yang diberikan oleh Nusa.

Satu pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut El. Dengan rasa tidak percaya, Nusa mendongakkan kepalanya, menatap wajah El yang kini masih terlihat tampan walau sudah hampir seharian berada di sekolah. "Bara nanya sama aku, serius?"

"Sama angin."

"Oh... kirain nanya sama aku."

El menatap lurus kedua bola mata Nusa dengan perasaan sedikit jengkel. "Gue nanya lo, lemot."

Lagi dan lagi, degup jantung Nusa terasa berdetak tidak karuan. "Oh tadi aku bolos karena mau bolos." jawaban yang sangat fantastis.

Tunggu, alasan seperti apa itu? Nusa merutuki kebodohannya di dalam hati. Bagaimana ada cewek lugu seperti dirinya yang ingin membolos?

El menaikkan sebelah alisnya merasa tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Nusa. "Jelasin." Entah kenapa, ia sangat ingin tahu mengenai kejadian yang di landa oleh Nusa dari mulut cewek itu sendiri. Merasa gagal saja sebagai seorang cowok namun tidak bisa memerikan pelindungan bagi cewek yang mendapatkan perlakuan buruk dari teman seangkatan.

Nusa menghela napas, mungkin tidak bisa mengulur waktu lebih lama lagi. "Priska bully aku katanya gak boleh dekat-dekat sama kamu. Dia gak suka sama aku yang katanya bisa berangkat sekolah bareng kamu." ucapnya sambil menekuk senyuman yang tadi membingkai di permukaan wajahnya, ya walaupun hanya seulas senyuman saja. Ia kali ini tidak menangisi kejadian tadi lagi, tapi rasa sebal menguasai dirinya yang tidak bisa melawan nenek sihir itu.

El bergeming menunggu kelanjutan dari cerita Nusa, belum bisa memberikan tanggapan yang terbaik saat mendengar seorang cewek bercerita.

"Dia bilang kalau aku dekat kamu lagi, dia akan ngelakuin hal yang lebih parah dari ini."

El menaikkan sebelah alisnya, ia merasa kalau batasan Priska sudah keterlaluan. "Terus lo takut?"

Nusa mengangguk kecil. "Takut." cicitnya dengan nada yang terdengar menggemaskan. Wajah lugunya kini terlihat sembab lagi, seperti memberitahu pada orang lain dengan tidak sengaja kalau cewek itu habis menangis dalam jangka waktu yang cukup lama.

"Kalau gitu, gue yang tanggung jawab atas terjadinya hal ini sama lo."

Astaga, Nusa mengerjapkan matanya berkali-kali. Ia tidak percaya dengan apa yang di dengarnya saat ini. Tanggung jawab? El ingin bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada dirinya pada hari ini dan seterusnya? Sepertinya benar ia sedang bermimpi, atau mungkin menghalu?

"Gak perlu kepedean." ucap El saat melihat raut wajah nusa yang terlihat sedikit berseri.

Nusa kembali ke alam sadarnya setelah melamun beberapa detik. "Eh? Maksudnya Bara apa?"

"Anggep aja sebagai ucapan makasih gue karna Rehan udah kerja dengan baik di kedai uncle gue."

Nusa menepuk-nepuk kedua pipi El dengan tangannya. "Ini Bara kan? Bukan Mario ataupun Reza yang menyerupai seorang El?" tanyanya sambil mendekatkan wajahnya pada wajah El. Memeriksa apakah ada luka yang menyebabkan perubahan sifat pada cowok ini.

"Lo ngapain?" tanya El sambil mendorong pelan pundak Nusa supaya menjauh dari dirinya. Ia merasakan perasaan aneh saat cewek itu menatap intens wajahnya dengan jarak yang terbilang tipis. Yang berani melakukan hal itu padanya hanya Alvira, bahkan saat Priska mendekati dirinya pasti ia akan memberontak. Tapi kenapa kali ini rasanya berbeda dengan Nusa?

Nusa terkekeh kecil. "Habisnya kamu kayak bukan Bara sih. Tumben banget kamu pengertian terus juga ngomongnya jadi gak singkat banget, kan kalau begini enak ngobrolnya." ucapnya, tanpa sadar pun jatuh air mata kian melambat dan berakhir mengering di pipinya.

El menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak merasakan perubahan sedikitpun pada dirinya. Atau dia yang terlalu tidak peka terhadap dirinya sendiri?

"Sok tau."

"Ih Nusa emang tau kok! Bara itu sebenarnya malaikat tapi bedanya memiliki hati yang seperti batu, ah ya dan menyebalkan."

"Hm."

"Tuhkan kamu jangan dingin lagi, kulkas berjalan."

"Apa lo kata?"

"Enggak, tadi ada lalat lewat."

"Gak jelas."

Nusa mengulum senyumnya. Lalu menatap El dengan alis yang dinaik turunkan. "Cie, jangan bilang Bara berubah itu karena Nusa. Iyakan?" tanyanya dengan deretan kalimat yang di lontarkan dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi.

"Pede lo."

"Ngaku, hayo!!"

"Hm."

"Tuhkan iya!"

"Hm bukan berarti iya."

"Bara kok tiba-tiba peduli sama Nusa? Kenapa? Ya kan setau Nusa itu peduli tanda sayang, jangan-jangan Bara udah mulai sayang ya sama Nusa? Oh my god!!"

"Gak tau."

Nusa menggembungkan pipinya dengan kesal. Ia menggoyang-goyangkan lengan kanan El. "Ayolah Bara jangan cuek dong sama aku!"

"Penting?"

"Penting banget dong!"

"Kenapa?"

Nusa membungkam mulutnya tidak tau ingin membalas apa. Jujur, ia juga tidak sadar kenapa menjadi keceplosan seperti ini. Bisa-bisa rasa penasarannya dengan El terbongkar sudah.

"Ah, eng-enggak kok!" ucapnya dengan nada gugup, ia menggaruk pipinya yang tidak gatal dengan senyuman yang sangat canggung.

El memutar bola matanya. "Gue balik." ucapnya sambil bangkit dari duduk.

Nusa menganggukkan kepala, lalu turun dari kasur dan berdiri tepat di samping cowok itu. Ah ternyata tingginya hanya sepundak El, kenapa cowok-cowok selalu lebih tinggi daripada dirinya?

"Iya, hati-hati ya."

"Jaket punya Bian ada dimana?" tanya El yang menghiraukan kalimat hati-hari yang dikatakan oleh Nusa, ia masih mengincar barang lainnya.

"Aku udah masukin ke keranjang pakaian kotor, memangnya kenapa?"

"Siniin."

Dengan perasaan bingung dan pikiran bercabang yang bertanya-tanya mengenai hal apa yang selanjutnya di lakukan El, ia berjalan mengambil jaket milik Bian yang tadi dipinjamkan cowok itu di sekolah. Lalu kembali berjalan ke arah El. "Nih." ucapnya sambil menyodorkan jaket milik Bian yang tadi dipinjamkan untuknya.

El langsung saja merebut jaket itu dari tangan Nusa. "Bilang aja sama dia kalau jaketnya ilang."

"Loh kenapa kayak gitu?"

"Gak apa-apa, mau gue buang."

"Tapi kan itu mahal, Bara."

"Barangnya mungkin emang mahal, tapi yang punya gak lebih dari kata sampah."

"Maksud Bara apa sih?"

"Dah, gue mau balik."

Nusa menatap tubuh El yang perlahan menjauh dari dirinya dan menghilang tepat di balik pintu kamar miliknya. Ia masih memikirkan ucapan El, merasa ada yang janggal dengan cowok itu dan Bian. Apa mereka punya masalah?

"Ah biasa paling urusan cowok yang suka berantem gak jelas, sekarang mah waktunya Nusa istirahat aja deh." gumam Nusa sambil melempar dirinya kembali ke atas kasur, melanjutkan kegiatan bermain game puzzle yang berada di ponselnya.

...

Next chapter