Tuan John menaikkan sebelah alisnya ketika mendapati pintu kamar yang berada di belakang dinding itu terbuka.
Tadinya Tuan John pikir ancaman mengenai ranjang itu hanya gertakan Evan saja demi membuat Luci tetap melanjutkan perjanjian.
Tapi ketika melihat tuannya, Evan, sudah menanggalkan pakaian yang dipakainya, Tuan John agak sedikit terkejut.
Pasalnya selama ini Evan sangat tidak suka mengekspos bagian tubuhnya di depan wanita lagi, apalagi setelah kejadian sepuluh tahun silam itu.
Dan sekarang tiba-tiba saja Evan bisa berubah seketika hanya karena Luci.
'Apakah Tuan begitu putus asanya soal perjodohan ini, sampai dia rela melanggar apa yang dia kutuk selama ini?' batin Tuan John di dalam hati.
"John, perjanjian ini tetap dilangsungkan. Siapkan dokumen pengikat!" teriak Evan dengan posisi masih berada di dalam kamar.
"Baik, Tuan," bungkuk Tuan John tanda bahwa dia menyanggupi perintah dari tuannya.
Dinding di kamar itu tertutup lagi, pertanda Evan sudah tidak ingin berurusan dengan Luci lagi hari ini.
Sangat aneh, padahal biasanya Evan selalu ingin memantau setiap perjanjian yang akan diadakan oleh Evan dengan orang lain.
Itu disebabkan karena Evan itu bisa dibilang sama sekali tidak bisa mempercayai orang lain. Bahkan kepada Tuan John yang sudah bekerja untuk perusahaan Hudan Grup selama dua puluh lima tahun lamanya sekalipun.
Dulu, bagi Evan semua orang hanya akan mengecewakan Evan jika Evan tidak mengawasinya. Tapi tiba-tiba saja Evan berubah lagi hari ini.
Sementara itu dengan posisi masih berdiri, Luci gemetar ketakutan.
Gadis itu masih bisa merasakan bibir Evan yang menempel pada bibirnya tadi saat berada di dalam kamar.
Luci juga masih bisa merasakan perih dari gigitan Evan pada bibirnya yang sintal. Keringat mengucur di dahi gadis itu.
Luci juga nampak pucat, tak jauh berbeda dengan Tuan John saat ini. Bedanya adalah Tuan John berwajah pucat karena memang sudah aslinya begitu.
Selain itu pucatnya Tuan John sekarang ini disertai oleh rasa penasaran di dalam otaknya. Sementara Luci berwajah pucat karena ketakutan dasyat yang dimilikinya.
Mata Luci yang biasanya memancar hidup dan jernih kini mulai sekarat dan hampir padam. Kejernihan di dalam raut mukanya telah tercampur bersama noda abu-abu yang Luci dapatkan setelah dominasi tubuh Evan menyerang tubuh Luci saat di dalam kamar tadi.
Bibir merah dan ranum gadis itu juga mulai mengering, seolah dia telah berada di sebuah padang pasir yang dikutuk oleh Dewa sehingga tak diperbolehkan untuk memiliki satu tetes air pun pada datarannya.
"Kemarilah, Nona!" undang Tuan John kepada Luci.
Luci tidak diarahkan pada sofa empuk yang tadinya digunakan untuk tanda tangan berkas perjanjian. Akan tetapi Luci diarahkan ke tempat lain.
Tuan John pun bergerak untuk menuju sebuah meja dan kursi yang lain yang berada di samping meja besar dengan kursi putar yang sepertinya adalah milik Evan.
Meja dan kursi yang dituju oleh Tuan John itu berada agak jauh dari sofa empuk tadi.
Bagi Luci tidak masalah duduk di kursi lain, lebih baik duduk di kursi biasa dari pada duduk di sesuatu yang terasa empuk karena mungkin keempukan itu akan membuat Luci teringat akan kejadian di ranjang tadi.
"Akan saya buatkan dokumen pengikat. Karena memang ini sangat mendadak, oleh karenanya Anda diharuskan menunggu." Tuan John berkata seraya menyalakan monitor komputer yang berada di atas meja.
Matanya yang kelabu tapi masih awas itu sama sekali tidak memandang Luci. Mata Tuan John kini sibuk untuk menyusuri monitor komputernya sendiri.
Untuk ukuran orang yang berusia empat puluh tahunan Tuan John orangnya cepat juga dalam mengoperasikan komputer.
Jemari Tuan John yang kurus dan bengkok itu seperti berlarian di atas papan keyboard. Suara cetak-cetak dan klik-klik banyak sekali terdengar.
Dan kemudian setelah beberapa saat Tuan John sepertinya telah selesai membuat, atau mengedit, dokumen pengikat itu.
Dokumen atau surat pengikat adalah sebutan untuk surat yang mana akan dipergunakan oleh Evan agar CEO itu bisa mengikat orang yang berada di dalam perjanjian, agar orang tersebut sama sekali tidak bisa kabur sebelum perjanjian berakhir.
Surat pengikat juga bisa berisi tentang konsekuensi dan hukuman yang bisa didapatkan jika pihak yang diikat (saat ini pihak diikatnya adalah Luci) melakukan pelanggaran-pelanggaran pada poin-poin perjanjian yang mereka setujui tadi.
Tuan John terlihat memeriksa kembali hasil pekerjaannya.
Setelah semuanya dipastikan beres Tuan John pun mengambil kertas tambahan dari dalam laci mejanya, karena kertas yang berada pada mesin printer dirasa kurang.
Padahal setidaknya ada sekitar dua lusin kertas pada mesin printer saat ini.
Luci menelan ludahnya ketika kertas sebanyak itu masih harus ditambahi lagi oleh kertas dengan jumlah setidaknya dua kali lipat dari kertas yang ada pada mesin printer.
Jadi bisa dibilang Tuan John mengambil kertas dari dalam laci dengan jumlah sekitar empat lusinan.
GLEK!
'Apa yang direncanakan oleh orang-orang ini sebenarnya?' batin Luci dengan wajah menganga dan kosong.
Sepertinya setelah ini hidup Luci tidak akan berjalan dengan baik. Sepertinya setelah ini Luci akan kesusahan untuk menjalani hidupnya dengan normal seperti dulu. Lagi pula Luci juga tidak tau kapan perjanjian ini akan diakhiri.
'Atau jangan-jangan ini adalah pekerjaan terakhirku menjadi joki?' pikir Luci dengan ketakutan.
'Tapi, jika Tuan Evan bisa membayarku dengan jumlah bayaran yang banyak maka bisa tidak mungkin aku bisa berhenti menggeluti pekerjaan ini.
Oh ya, aku tidak ingat tentang bayaran yang akan aku peroleh. Sial, apa aku tidak akan dibayar?,' lanjut Luci dengan cemas.
Mesin printer sudah berderak halus dan lembut. Kertas-kertasnya mulai bergulir dengan tenang dan teratur.
Kertas-kertas itu tadinya sudah ditata sangat rapi oleh Tuan John. Pekerjaan Tuan John memang selalu saja rapi dan tertata.
Sekarang hanya suara derak printer bergerak yang didengar oleh keduanya.
Mata Tuan John masih saja dingin dengan wajah pucat miliknya layaknya patung yang dicat berwarna putih kelabu. Mata lelaki itu saat ini menyusuri wajah Luci dan menatapnya dengan tajam.
Luci, si gadis yang tengah diawasi sedang tidak sadar jika dia diamati oleh seseorang.
Di dalam pikirannya sendiri Luci terlalu disibukkan oleh prasangka-prasangka tentang masa depannya sendiri.
Selain itu Luci masih mengingat-ingat tentang berapa bayaran yang akan dia dapat dari misi ini.
'Astaga, mereka benar-benar ingin menjebakku apa? Kenapa aku tidak tau sama sekali tentang bayaran yang akan kudapat?' Luci mengutuk di dalam hatinya.
Lalu mata gadis itu melirik pada kertas printer yang bergulir itu.
Warna kertas yang tadinya putih telah ternodai oleh bentuk-bentuk kata-kata yang nanti akan menyengsarakan hidup Luci.
Andai saja kertas itu tetap putih ketika keluar dari printer. Huff, Luci menghela.
"Tuan John." Luci mulai angkat bicara. Rasanya Luci menjadi seorang pengemis di sini bukannya seorang pemberi jasa.
Padahal yang menemui Luci terlebih dahulu adalah timnya Evan, bukannya Luci.
"Ada apa?" jawab Tuan John dengan nada penuh disiplin miliknya.
Demi Tuhan, Luci benci nada itu. Karena nada penuh disiplin itu selalu Luci dapatkan ketika Luci berada di dalam kandang.
Saudara tertuanya yang bernama Lion memiliki nada bicara seperti itu. Luci masih sangat mengingatnya.
"Eh, saya tau ini kurang sopan. Tapi bisakah saya tau berapa gaji yang akan saya terima nanti?" Luci menarik napas panjangnya dulu sebelum menanyakan hal memalukan itu.
Ini kali pertama Luci menanyakan bayarannya terlebih dahulu.
Padahal baisanya yang menanyakan tentang bayaran adalah kliennya terlebih dahulu.
Atau bahkan Luci akan menyerahkan rincian bayaran yang gadis itu butuhkan. Berurusan dengan Evan sangatlah rumit.
"Anda akan mendapat bayaran yang sangat mahal jika Anda bisa melakukan tugas ini dengan baik. Maka dari itu, jangan pernah lakukan kesalahan!" jawab Tuan John dengan wajah datarnya.
***