Siapa yang hendak membeli burung diharap waspada, karena banyak yang ditipu. Contohnya Bu Ti yang geram karena burung yang dibelinya di mikrolet sesampainya di rumah tidak mau berkicau. Padahal, saat di dalam mobil angkutan, burung itu rajin sekali ngoceh. "Burung beo apa? Ini burung merpati yang dipoles pewarna kain!" Pak Jo, suaminya, tidak kalah geram.
"Jadi saya telah kena tipu?" seru Bu Ti. "Kupikir dengan burung itu Nin bisa senang saat kita tinggal bekerja, habis, burung itu tadi juga bisa ngomong."
Pak Jo ngomel tidak habis-habis, karena uang seratus ribu rupiah melayang begitu saja. "Makanya harus hati-hati, jangan mudah percaya sama orang di kota besar ini. Banyak orang bertindak kriminal dengan aneka macam cara."
Snot tertawa ketika Nin cerita kepadanya tentang penipuan itu. "Burung merpati yang diwenter, hi-hi lucu sekali," kata Snot.
"Burung itu oleh ayahku dilepas, biar terbang bebas," sungut Nin. Snot mengulang cerita itu kepada Vista. Vista pun tertawa, tetapi campur kasihan dan geram. Penipuan dengan modus operandi menjual burung kini marak lagi. Bukan hanya di mikrolet saja, tapi juga di pasar-pasar burung seperti Pasar Burung Pramuka maupun Jatinegara. Saudara mereka, Cuk, yang jauh-jauh dari Cipete hendak membeli burung di pasar Jatinegara juga "dimakan" oleh kawanan bandit itu. Sampai di rumah, burung yang dibungkus kardus bekas semen ternyata burung puter. Bukan burung poksay seperti yang dikatakan pedagangnya. Anehnya itu lho, Cuk yang biasanya pelit kok gampang mengeluarkan duit.
"Habis bunyinya sangat merdu," kata Cuk berkilah, tak mau dikatakan bodoh karena bisa dikibuli.
"Itu namanya beli burung dalam karung," ejek Vista.
"Bukan karung, tapi kardus," kata Cuk. Uang dua ratus limapuluh ribu rupiah melayang untuk seekor burung puter. Harga yang sangat tak sepadan, puter adalah burung yang paling murah, mungkin hanya sedikit di atas harga pipit.
"Tidak ada burung dalam kardus yang mau bernyanyi," kata Pak Ri, tetangga belakang rumah. "Dulu saya juga kena oleh mereka, malah burung yang saya beli itu burung mati."
Snot sangat gemas dengan ulah komplotan itu, dia mengajak Vista untuk menyelidikinya. Tapi mereka harus waspada karena gerombolan penipu itu juga sering memaksa, apalagi kalau calon korbannya hanya seorang diri. "Bagaimana kalau hari Minggu kita jalan-jalan ke Senen? Siapa tahu kita bisa menemukan jejak mereka."
Vista setuju. "Kita bolak-balik naik mikrolet?'
Snot tertawa, "Tak apa-apa. Topi Merah tidak akan menyerah hanya karena itu."
"Baik, tapi siapkan es lilin yang banyak biar saya tidak minta jajan," kata Vista.
"Ya, akan saya bawa termos es," seru Snot.
"Tapi kamu yang minta izin kepada Mama dan Papa, ya!"
"Beres!"
Izinnya tentu saja hanya jalan-jalan, bukan mencari penjahat. Minggu pagi Snot dan Vista sudah siap, masing-masing mencangklong ransel kecil yang berisi tempat minum dan beberapa kue. Juga beberapa lembar uang karena mereka harus bolak-balik naik mikrolet. Dari Pos Topi Merah mereka naik Metromini 46, jurusan Pulo Gadung - Kampung Melayu, turun di Gereja Matraman lalu menyeberang dan mencegat Mikrolet 01 jurusan Kampung Melayu- Terminal Senen, ke arah Senen. Sampai Terminal Senen tidak terjadi ada apa-apa. "Kamu yakin mereka di Mikrolet 01?" tanya Vista.
"Ya kira-kira saja, tapi hanya jalur ini yang melewati pasar burung. Pasti mereka belanja burung dulu, kan?" balas Snot. "Jadi masih perkiraan yang jenius."
"Sombong!" sergah Vista sambil menyodok perut Snot dengan siku. Mereka naik lagi Mikrolet 01 lagi, kini ke arah Kampung Melayu. Juga tak ada hasilnya, lalu mereka balik lagi ke Senen. Saat itulah, selepas perempatan Jalan Raden Saleh, ada laki-laki kribo setengah baya dengan rambut ikal naik mobil yang mereka tumpangi. Di tangannya tergenggam kardus yang berlubang-lubang. Lima puluh meter berikutnya ada dua laki-laki naik, salah satunya mencoba duduk di depan pintu, tapi disuruh sopir agar masuk saja karena di dalam belum penuh. Tidak lama kemudian ada yang naik lagi, kini duduk di bangku yang dekat pintu, menghadap ke belakang.
Kresek-kresek! Kardus di tangan laki-laki itu bergerak menimbulkan suara cukup berisik. Laki-laki yang duduk dekat pintu bertanya, "Apa itu, pak? Bawa anak monyet ya?"
Laki-laki yang membawa buntalan menjawab, "Bukan, ini burung. Kebetulan saya mau pindah rumah hanya saja saya kebingungan dengan burung ini." Lalu, terdengar suara burung yang sangat merdu, suara burung poksay. Snot diam-diam menginjak jari kaki Vista, yang diiinjak tanggap. Mereka diam melihat perkembangan. Tampaknya ada penumpang yang curiga, tapi diam saja karena takut. Namun bagi orang yang belum pengalaman tidak akan menyangka kalau mobil yang mengangkut mereka telah disusupi gerombolan penipu.
"Burung apa?" tanya yang di depan pintu mikrolet.
"Poksay, sudah jadi kok," kata si kribo.
"Boleh kupinjam sebentar?"
"Boleh saja," lalu si kribo menyerahkan kardusnya. "Hati-hati, nanti bisa terbang!" Burung berbunyi merdu sekali. Orang di depan pintu membuka sedikit mulut kardus semen, lalu mengintipnya. "Betul burung poksay!" Lalu dia bersiul memancing agar burung itu berbunyi. Tampaknya burung itu menyahut siulannya, sehingga terdengar kicau merdu lagi. "Apakah hendak djual? Saya berminat dengan burung bagus ini."
Si kribo menatap orang itu lalu berkata, "Enam ratus ribu saja."
Orang di depan pintu itu terkejut, "Mahal amat, bagaimana kalau tiga ratus ribu saja."
"Belum boleh, bang! Saya masih sayang dengan burung itu. Bagiamana kalau lima ratus ribu!" Burung berkicau merdu. Snot dan Vista tertawa dalam hati. Tapi hati mereka sedikit ciut, muncul kekhawatiran bagaimana kalau kawanan pencoleng itu mengetahui aksi mereka yang sok jagoan.
Orang yang duduk di depan si kribo ikut bicara, "Coba saya lihat burungnya," Burung berpindah tangan, tetap dengan kicau yang merdu. "Bagaimana kalau tiga ratus ribu, saya bayar sekarang?"
Si kribo berkata, "Saya belum cocok dengan harga itu."
Burung diberikan lagi kepada si kribo. Si kribo menatap tajam perempuan berjilbab yang berada di hadapannya. "Ibu mau beli burung ini?"
Perempuan itu menjawab, "Tidak, saya tidak mempunyai uang."
"Murah, lho, untuk harga poksay yang sudah jadi," bujuk si kribo.
"Tapi saya tidak punya uang. Betul, ini hanya ada uang lima ribu untuk ongkos ke Sunter."
Merasa tidak berhasil, si kribo mengalihkan pandangannya ke penumpang lain. Poksay tetap berbunyi nyaring. "Bagaimana, pak. Mau beli burung ini?" Bapak yang ditanya menggeleng. Si kribo merayu tapi tidak berhasil. Lalu si kribo bertanya kepada Vista dan Snot. "Kalian ingin pelihara poksay, ini burung hebat. Dan harganya sangat murah."
"Saya tidak punya uang, om!" jawab Vista. Orang itu menyodorkan burungnya ke muka Snot untuk dilihat. Tapi Snot menggeleng sambil tersenyum. Lalu si kribo kembali kepada orang yang duduk di depannya. "Sudah deh, jadi dibeli berapa?"
"Sekarang saya mau dua ratus ribu saja. Kalau tidak mau, ya, sudah," kata orang itu.
"Ya sudah, bayar sekarang," kata si kribo. Orang di depannya mengeluarkan dompet dan menyerahkan dua lembar uang ratusan ribu rupiah. Di depan RS Gatot Subroto, si kribo turun, lalu di kelokan dekat Lapangan Banteng si pembeli turun. Lalu di lampu merah Jalan Gunung Sahari berturut-turut yang lainnya turun.
"Mereka tidak mendapat mangsa," kata Snot pada Vista saat turun dari mikrolet di Terminal Senen.
"Lho, yang beli tadi?" tanya Vista.
Snot bibirnya mecucu kaya cecurut. "Uh, itu tadi temannya sendiri. Karena tak ada orang lain yang beli maka yang satu pura-pura jadi pembeli."
"Dengan uang betulan?"
"Hya-iyalah, tapi nanti dikembalikan lagi. Toh itu uang mereka juga," terang Snot. Vista manggut-manggut. Di terminal itu tidak sengaja mereka bertemu salah satu penumpang mikrolet. Snot mengajaknya berbicara, "Untung bapak tadi tidak mau beli burung itu."
Orang itu tertawa, "Saya tahu mereka itu penipu. Burung itu hanya burung tipuan, paling-paling hanya burung puter yang dicat."
"Tapi burungnya berkicau terus, pak," kata Vista.
Orang itu tertawa, "Masing-masing dari mereka punya peluit yang disembunyikan di bawah lidahnya. Sehingga ketika burung itu berpindah tangan tetap saja berbunyi, karena masing-masing yang pegang burung membunyikan peluitnya."
"Tapi bibir mereka terkatup saat burung itu berbunyi, jadi mereka tidak bersiul," kata Snot belum percaya dengan kata-kata orang itu.
"Ah, kalian belum pengalaman. Oya, bagaimana kalau kita minum es dulu," ajak orang itu. Snot dan Vista berpandangan. "Tak usah khawatir, nanti saya yang bayar. Sekalian saya beritahu tentang peluit yang mereka pakai." Snot dan Vista lalu mengikuti langkah orang itu, masuk ke warung mie ayam. Sambil menunggu dilayani orang itu mengeluarkan bungkus rokok dan menyobeknya lalu menggambar sesuatu. "Lihatlah, bentuk peluit mereka seperti ini. Terbuat dari lembaran karet atau plastik sangat tipis yang diregangkan di seng." Snot dan Vista bergantian melihat gambar yang disodorkan. "Kalian bisa membuat sendiri dengan plastik. Cobalah, tapi sengnya harus betul-betul halus agar lidah kalian tidak terluka."
Orang itu terus memberi petunjuk cara-cara membuat peluit itu. Dari orang itu pula Snot dan Vista mendapat pengetahuan baru bahwa peluit sudah digunakan manusia sejak zaman purba. Dimulai dengan terompet yang disediakan oleh alam, misalnya cangkang keong atau kerang. Mula-mula, mungkin lho, karena iseng-iseng mereka tiup dan menimbulkan bunyi. Seiring waktu, bunyi terompet diolah sehingga menghasilkan nada-nada musik. "Terompet termasuk alat bunyi-bunyian pertama yang dipakai manusia, selain tabuhan. Dan peluit yang dipakai para bandit ini, dulu, sering dijual pedagang mainan saat ada pertunjukan wayang kulit."
Snot termangu, "Jadi bukan teknologi mutakhir, ya, pak? Boleh gambar ini kami bawa?"
"Tentu saja boleh," kata orang itu sambil tertawa lepas dan menepuk-nepuk pundak Snot. "Bilang sama para penipu itu, katakan, jika teknologinya itu sudah using."
"Saya akan mencoba membuatnya," seru Vista.
"Tapi jangan disalahgunakan, lho, ya," pesan orang itu sambil tertawa. Setelah membayar minum dan mie ayam mereka berpisah. Snot dan Vista berkali-kali mengucap terima kasih, bukan hanya karena mie ayamnya.
"Mengapa mereka memilih mikrolet bukan bus?" tanya Snot, sekadar mengetes saudaranya. Vista tidak segera menjawab, berpikir untuk menemukan jawaban. Snot tidak sabar lalu menjawab sendiri. "Karena di mikrolet penumpangnya duduk berhadap-hadapan, sehingga memungkinkan untuk melakukan bujukan terhadap calon korban."
Vista segera menyambung, "Juga karena jumlah mereka lumayan banyak sehingga bisa menggentarkan hati penumpang mikrolet." Hari itu petualangan dirasa cukup, mereka pulang ke Pos Topi Merah. Mayor Dud tidak ada, entah di mana. Snot pergi ke warung membeli balon, lalu mencari seng tipis, didapat kaleng bekas susu. Balon dan seng diguntingnya sesuai gambar. Dicobanya, dikulumnya di bawah lidah dan ditiup-tiupnya. "Kok tidak bisa bunyi?" Dikeluarkannya lagi, dan dilihatnya dengan seksama. Rentangan karet balon yang di lipatan seng ternyata tidak kencang.
"Karetnya kurang meregang," seru Vista yang mencoba membunyikannya. "Coba kita tarik lebih kencang lagi!" Dengan bantuan Vista peluit bisa berbunyi, tapi belum begitu sempurna. Mereka mengulang lagi, untuk mendapatkan regangan karet yang lebih tipis dan kuat. Nah, peluit pun berbunyi nyaring. Mereka mencoba menirukan berbagai suara burung. Memang bibir dan mulut mereka tidak usah bergerak, tapi dihasilkan suara. Peluit tipis itu diletakkan di bawah lidah, sampai lidah mereka agak sakit karena tergesek seng. Suara burung beo, poksay, juga prenjak berhasil ditirukan. "Kamu buat satu lagi, ya, untuk saya."
"Asal disediakan es kelapa muda," jawab Snot. Toh, tanpa rengekan lagi Snot membuat satu lagi. Mereka berdua semangat sekali menirukan suara burung. "Wah, kalau kita buat banyak pasti teman-teman mau beli."
"Dan kita bisa segera kaya seperti Paman Gober. Selain itu, bila peluit ini dimainkan banyak orang maka para penipu itu tidak bisa beraksi lagi."
"Kapan kita beroperasi lagi?" tanya Snot.
"Tapi kita mesti lapor ke Mayor Dud. Kalau hanya kita sendiri yang bergerak, tanpa ada tindak tindak lanjut percuma saja. Malah kita yang dalam bahaya," ujar Snot. Snot segera menghubungi Mayor Dud. "Kami akan mencoba menangkap basah penipu di mikrolet. Mohon bantuannya, agar teman Om Dud dari kepolisian bisa memantau kami. Mereka sering beroperasi di jalur Kampung Melayu-Senen."
Mayor Dud mendengar laporan intel-intel kecilnya. Lalu berkata, "Memang sudah banyak laporan yang masuk ke pihak kepolisian. Tapi polisi kesulitan melacak mereka, berkali-kali tim mereka menyamar jadi penumpang tapi tidak berhasil. Mereka seolah bisa mencium keberadaan petugas, sehingga polisi tidak pernah memergoki aksi mereka!"
"Apa mungkin sopir mikrolet ikut terlibat, Om?" tanya Snot.
"Saya rasa tidak, mereka tidak berani bertindak karena sudah diancam," jawab Mayor Dud. "Sopir lebih suka cari selamat."
Snot menutup telepon, tapi sesaat kemudian telepon Mayor Dud lagi. "Om, saya akan tunjukkan penemuan kami."
"Saya ada di kantor polisi Jatinegara, rindu ngobrol sama teman-teman. Kamu ke sini, ya," jawab Mayor Dud.
Tidak berapa lama Snot keluar dari Pos Topi Merah. "Saya akan ke kantor polisi dulu."
"Pasti akan menggelas pameran, deh," sungut Vista. "Jangan lupa bilang kalau peluit itu hasil kerja sama berdua, bukan hasil kerja kerasmu sendiri."
Snot nyengir, lalu pergi. Ketika sampai di kantor polisi dan bertemu Mayor Dud dia menyerahkan peluit, dan dicoba. "Betulkan, mereka itu penipu! Kalau kami memergoki aksi mereka bagaimana? Tentu saja kami tidak bisa berbuat apa-apa."
Mayor Dud menoleh kepada Irjen Pol Joko, dan polisi itu yang menjawab. "Begini saja, kalian amati saja ciri-cirinya. Kalian jangan ambil resiko."
Pulang dari kantor polisi Snot kecewa, merasa tidak mendapat dukungan cukup untuk menggulung komplotan itu. Hari Minggu berikutnya Snot dan Vista kembali melacak para penipu. Mereka sudah beberapa kali bolak-balik naik mikrolet 01, tapi belum ada tanda-tanda penipu itu muncul. Sekitar jam sebelas siang mereka naik mikrolet lagi ke arah Senen. Penumpang sepi. Bagian belakang hanya ada Snot, Vista, dan seorang penumpang perempuan setengah baya. Sedangkan di samping sopir duduk dua orang pria yang asyik berbincang. Di depan toko buku Gramedia Matraman naik seseorang dengan membawa tas plastik kresek warna hitam. Langsung ambil posisi di pojokan mikrolet, tepat di depan Vista. Di depan Fuji Film ada lelaki yang naik lagi. Setelah lampu merah, di depan Departemen Sosial, naik satu orang lagi. Bagian belakang mikrolet belum begitu penuh, tapi orang itu pilih duduk di bangku pintu menghadap ke belakang. Sopir mikrolet yang memintanya masuk ke dalam tidak dihiraukan.
Snot menyenggol Vista dengan ujung sepatunya, yang disenggol peka isyarat. Mereka lalu pura-pura tidak memperhatikan mereka yang baru naik. Plastik di tangan orang depan Vista bergerak lalu orang itu mengaduh kesakitan, "Aduh!"
Snot terkejut dan bertanya, "Ada apa, pak?"
Orang itu tidak menjawab pertanyaan Snot, karena sibuk mengibas-ngibaskan tangan kanannya. "Ada apa, mas?" tanya yang lain.
"Burung, pak!" jawab orang itu. "Saya dipatuknya, tadi saya menemukan burung ini di pohon dekat pemadam kebakaran. Kata satpam, ini jalak bali."
"Coba saya lihat!" kata orang yang di samping kanan Snot. "Burung kok dibungkus plastik tanpa lubang. Diberi lubang, kasihan."
Pemilik burung menyobek plastiknya, lalu tampak sebuah bungkusan dari kertas semen. Setelah itu buntalan diserahkan kepada orang di samping Snot. Orang itu membuka mulut bungkusan dan melongoknya. "Ini burung beo! Bukan jalak, kamu telah dikibuli satpam itu!" seru orang itu sambil memperlihatkan kepada Snot dan lainnya. Snot melihat seekor burung dengan warna agak kekuningan. "Sudah berkicau?" tanya orang itu.
"Sudah. Coba saja disiul-siul pasti berkicau," kata si pemilik.
Orang di samping Snot bersiul dan terdengar suara merdu. "Wah bagus sekali, pasti ini burung mahal yang lepas. Dijual tidak?" Burung berpidah-pindah tangan dengan bunyi yang merdu, layaknya beo.
"Sebetulnya akan saya pelihara sendiri. Tapi kalau ada yang mau beli mahal saya akan menjualnya."
"Berapa?"
"Lima ratus ribu," jawab pemilik burung. Seperti yang sudah-sudah, komplotan penipu itu terlibat tawar-menawar untuk memancing calon korban.
Ketika burung itu berhenti berbunyi, Vista melirik Snot, lalu terdengar kicau burung prenjak. Semua penumpang celingukan, termasuk Snot dan Vista. "Katanya beo, kok bersuara prenjak?" kata salah satu penumpang.
Pemilik burung mukanya merah padam. "Tidak! Ini burung beo, bukan prenjak!" sergahnya sengit. Tapi saat itu terdengar suara kutilang. Snot terkejut, kalau suara prenjak tadi dia yakin ulah Vista. Tapi kicau kutilang, apa ada kelompok lain? Snot dan Vista belum tahu siapa yang terlibat lagi. Tapi suara terakhir tampaknya dari arah depan.
"Jadi burungnya ada tiga macam? Beo, prenjak, dan kutilang?" ledek penumpang yang lain sambil tertawa. Orang yang duduk di dekat pintu langsung menyilangkan kakinya menutup pintu keluar dengan tatapam mata beringas. Snot dan Vista kebingungan. Terdengar suara beo, lalu disahut suara kutilang.
"Pir, hentikan mobil!" salah satu penumpang membentak sopir. Mikrolet pelan menepi di depan Kantor Pusat Pegadaian. Setelah berhenti salah satu dari mereka turun dan mengeluarkan pisau lipat dengan nada mengancam. "Siapa yang menantang kami?"
Tapi sebelum terjadi apa-apa, penumpang bagian depan turun dan mengacungkan pistol. "Buang senjatamu!" Cecunguk itu kaget lalu membuang pisaunya. "Penumpang keluar semua, satu persatu!" kata si pemegang pistol. "Kami polisi!"
Setelah semua penumpang turun. "Buka mulut dan angkat lidah!" perintah polisi yang satu, juga memegang pistol. Penumpang membuka mulut dan mengangkat lidah. Yang ragu-ragu langsung diborgol, dan dari mereka di dapat empat peluit tipis yang sembunyi di bawah lidah. Keempat pemilik peluit digiring masuk ke mikrolet lagi. Burung diambil alih salah satu polisi. "Kalian ikut kami ke kantor polisi!"
"Topi Merah, terima kasih. Ini diberi Mayor Dud," kata salah satu polisi.
Snot dan Vista tersenyum. "Untung ada pak polisi, jika tidak kami sudah diculik oleh mereka," kata Vista dengan wajah masih pucat.
"Kami memang ditugaskan melacak penjahat-penjahat ini, juga hanya kebetulan belaka kalau kami satu mikrolet dengan kalian," kata polisi yang satu. "Apa kalian ikut ke kantor polisi?"
Snot menggeleng. "Kami langsung pulang saja, untuk menenangkan diri."
"Tapi kalian siap bila dipanggil sebagai saksi?" tanya polisi itu sambil tersenyum. Snot dan Vista mengangguk. Dua polisi itu tertawa. Mikrolet berjalan, dan pintunya langsung ditutup, tanda tidak menerima penumpang. Snot dan Vista menyeberang jalan, lalu pulang ke Pos Topi Merah. Sorenya, ada mobil mendekat pos, ternyata Mayor Dud bersama beberapa polisi. "He, Topi Merah, ini ada oleh-oleh!" seru Mayor Dud sambil turun dari mobil. Vista dan Snot yang sedang membaca buku keluar dari pos. Ha? Dua sangkar kecil dari kawat ram, dengan burung pipit di dalamnya. "Ini hadiah untuk kalian! Beo asli!" Lalu terdengar kicau beo.
"Wah, kalau ini penipuan terang-terangan!" seru Vista. Oleh mereka burung pipit itu dilepas, dan terbang entah ke mana. "Bagaimana, kita jadi menjual peluit-peluit itu ke teman-teman?"
"Terus?" tanya Snot.
"Biar kita bisa mengadakan lomba kicau burung!" jawab Vista.
Snot bertanya lagi, "Yang ikut lomba bayar tidak?"
Mayor Dud tertawa mendengar kata-kata mereka. "Kalian ini memang pantasnya jadi pebisnis, bukan agen rahasia! Ha-ha-ha-ha!"
Tahukah kalian bahwa ada burung yang bisa menunjukkan bahwa desa itu sedang dimasuki maling atau orang yang tidak dikenal. Burung yang dimaksud adalah burung bence. Burung ini adalah burung malam dan ditakuti oleh anak-anak desa karena dianggap burung siluman atau temannya maling. Padahal bukan temannya maling. Justru sebaliknya karena burung itu akan menunjukkan posisi maling itu. Bila di tengah malam ada orang di bawahnya maka burung bence akan berbuci keras-keras sehingga warga yang masih terjaga mesti hati-hati karean di luar rumah ada orang yang berkeliaran. Bisa saja yang berkeliaran itu berniat jahat atau hendak mencuri. Mungkin burung itu berbunyi karena terkejut dengan kehadiran orang itu. Tentu saja dia tidak tahu itu orang jahat atau bukan. Tetapi kebaradaan burung ini sudah sangat langka. (*)