Untuk mengisi liburan semester Snot dan Vista diajak Mayor Dud memancing di laut. Mereka pergi ke Pantai Cobek dan menginap beberapa hari di sana. Mayor Dud menyewa perahu nelayan agar bisa memancing lebih ke tengah. Mayor Dud yang hobi mancing tidak puas kalau hanya memancing di pantai. "Ikan di pantai hanya ikan-ikan kecil. Tidak sepadan dengan tanganku yang besar," kata Mayor Dud. "Akan asyik kalau saya mendapat ikan pari, kakap, atau ikan hiu." Demi keamanan mereka memakai pelampung karet. Memang kita harus sedia payung sebelum hujan. Bukankah malapetaka sering terjadi ketika kita mengabaikan faktir keselamatan?
Tetapi Snot dan Vista hanya memancing di siang hari. Sementara Mayor Dud siang malam memancing. Kalau perlu Mayor Dud tidur di perahu, sementara pancingnya dibiarkan saja disambar ikan. Mengapa Snot dan Vista tidak mau mancing di malam hari? Laut di malam hari sangat gelap. Apalagi kalau langit berawan. Kalau sedang bulan purnama memang asyik. Tapi saat ini bukanlah malam purnama, bukan masih seujung kuku. Selain itu anginnya dirasa terlalu kencang dan terasa dingin. Berkali-kali Mayor Dud mengajak Snot untuk memancing malam hari. Tetapi Snot tidak pernah terbujuk.
"Ayolah, ikan lebih gampang dipancing di malam hari," kata Mayor Dud. Tetapi Snot tidak bergeming.
"Kalau siang sih oke-oke saja, Om. Tapi kalau malam lebih baik saya tidur di penginapan," kata Snot.
Tetapi pada pagi ke tiga Mayor Dud belum muncul di penginapan. Padahal biasanya ketika terdengar adzan subuh Si Kumis Delapan itu sudah datang dari laut. "Mengapa Om Dud itu tidak jadi nelayan sekalian," kata Vista.
"Hobi sama pekerjaan itu beda. Om Dud kan hanya hobi memancing. Bukan setiap hari mencari ikan dan menjualnya," kata Snot. "It is only fun!"
"Uh, kamu sok pintar inggris," kata Vista. "Kamu bikin roti bakar sendiri, ya!"
"Lho, kok jadi sewot sih," seru Snot, yang akhirnya membuat roti bakar sendiri. Kalau sudah ngambek mana mungkin Vista akan berubah pikiran. Sampai jam delapan pagi Mayor Dud belum juga muncul dipenginapan. "Jangan-jangan sedang jalan-jalan pagi," kata Snot.
"Tidak mungkin. Kalau pulang saya akan tahu. Semalam saya tidak bisa tidur. Banyak nyamuk dan lotion anti-nyamuknya habis," kata Vista. Mendengar keterangan saudara kembarnya itu Snot lantas berpikir yang tidak-tidak akan nasib pimpinan Detektif Topi Merah. Snot mengambil handphone dan menghubungi Mayor Dud. Tetapi tidak ada jawaban. "Tidak ada jawaban!" seru Snot, mulai cemas.
"Gawat kalau Om Dud mendapat kecelakaan," kata Vista. Mereka pergi ke tempat mereka biasa menaruh pelampung. Hanya ada dua pelampung, jadi Mayor Dud memang belum pulang.
Mereka lalu pergi ke rumah Pak Rambe, nelayan yang disewa Mayor Dud. Ternyata Pak Rambe juga belum pulang, keterangan itu didapat dari istrinya. Tetapi istri Pak Rambe justru berusaha menenangkan mereka. "Jangan khawatir, Nak. Pak Rambe pintar berenang."
"Pak Rambe pintar berenang, tetapi Om Dud bagaimana?" sungut Snot, pelan. Mudah-mudahan saja mereka hanya tertidur di perahu saja sehingga belum mendarat.
"Bagaimana, kita lapor ke tim SAR untuk mencari mereka?" tanya Vista, cemas. Tetapi sebelum mereka bertindak lebih jauh, Mayor Dud dan Pak Rambe sudah muncul. Pakaian mereka basah kuyup. Wah, pasti kecempulng ke laut!
Snot tertawa, "Mengapa bisa begitu? Diseret ikan hiu ya, Om?"
"Perahunya bocor dan tenggelam. Ya, terpaksalah kami terapung-apung di laut," jawab Mayor Dud.
Sambil menatap Pak Rambe, Vista berkata, "Lho bukankah perahunya dijamin masih bagus?"
Giliran Snot akan membuka mulut. Tetapi sebelum itu dilakukannya Mayor Dud menjelaskan, "Kami ditembaki orang-orang tak dikenal. Untung saja hanya perahu kami yang kena."
Pak Rambe menambahi, "Tampaknya mereka sengaja tidak mengenakan ke tubuh kami."
"Mungkin yang dikatakan Pak Rambe benar," kata Mayor Dud. Tetapi mereka tidak berniat melaporkannya kepada polisi.
"Bajak lautkah?" tanya Snot.
"Tidak tahulah. Perahu motor mereka segera meninggalkan kami dalam kegelapan. Tetapi selama ini tidak ada bajak laut di sini. Karena di sini tidak ada kapal-kapal kargo pengangkat barang," kata Pak Rambe. "Tak mungkin bajak laut merampok ikan para nelayan."
"Sial betul kami malam ini," kata Mayor Dud. "Gara-gara mereka, ikan paus hasil pancingan kami pun terlepas." Masih melawak juga.
"Untung Om Dud pandai berenang," kata Vista sambil senyum-senyum penuh arti.
Mayor Dud tersenyum dan berkata, "Pak Rambe menolong saya. Dengan berpegangan badan perahu, Pak Rambe membawa saya ke pantai."
"Mengapa Mayor Dud dan Pak Rambe sampai ditembaki? Pak Rambe lebih tahu, ada apa di sekitar sini," kata snot.
Pak Rambe berkata, "Tampaknya perahu kami terseret arus sampai lumayan jauh. Mungkin kami berada di atas pipa minyak bawah laut."
"Pipa minyak bawah laut?" tanya Vista.
"Ya, kalau tidak salah," kata Pak Rambe. "Di tengah laut ada pengeboran minyak. Pipa panjang dipasang untuk mengalirkan minyak mentah ke tangki yang berada di pantai."
"Tapi mengapa mereka menembaki kami? Bukankah kita tidak mengganggu pipa itu?" kata Mayor Dud. "Jangan-jangan mereka orang mabuk."
"Ya, mabuk laut," kata Vista. Sejak itu Mayor Dud tidak memancing pada malam hari. Perahu Pak Rambe yang rusak pun sudah diperbaiki, dibiayai oleh Mayor Dud. Kalau sedang kebelet mancing di malam hari maka Mayor Dud memancing di pinggiran pantai. Tak tahulah, instink polisinya kok sudah tidak tertarik untuk menyelidiki penembakan itu.
****
Pada suatu hari kantor Detektif Topi Merah kedatangan seorang tamu, Pak Narayana. Pak Narayana adalah seorang administrator kilang minyak dari PT Domino dan sahabat Mayor Dud ketika duduk di bangku SMA. Pak Narayana dipindah dari kantor lama ke kantor yang baru. "Jadi kamu sekarang mengurusi tangki minyak di Pantai Cobek?"
"Ya," jawab Pak Narayana. Mereka pun bersendau-gurau, biasa bertemu teman lama. Tetapi pada suatu kesempatan Pak Narayana mengeluhkan minyak mentah yang hilang. "Catatanku tentang isi tangki sering ada selisih yang sangat besar. Pihak pengeboran di laut melaporkan memasok minyak mentah sekian ribu barel. Seharusnya begitu pula yang masuk ke dalam tangki di pantai. Tetapi yang kami dapati tangki kami penuh air laut. Seharusnya tidak ada air laut sebanyak itu di tangki. Bukankah yang dipompa itu minyak mentah dari perut bumi yang tidak mengandung air laut. Kalaupun terjadi kebocoran tentulah tidak sebanyak itu. Aku menengarai ada yang tidak beres."
"Tangki minyak di Pantai Cobek bermasalah. Saya sendiri mendapat masalah di pantai itu," gumam Mayor Dud. "Hm, apakah kamu memiliki peta keberadaan pipa bawah laut itu?"
"Kebetulan ada di mobil. Saya ambilnya," jawab Pak Narayana, lalu keluar dan tidak lama kemudian kembali. "Ini petanya," katanya sambil menjereng sebuah peta. "Pipa membujur dari tangki da lurus ke laut."
Begitu melihat peta itu Mayor Dud garuk-garuk kepala. "Jangan-jangan penembakan terhadap saya dulu ada hubungannya dengan ini?"
Pak Narayana terkesiap mendengar kata-kata Mayor Dud, "Apa? Kamu ditembaki?"
"Ya, saat memancing di sini," kata Mayor Dud sambil menunjuk peta. Padahal mereka sudah melupakan peristiwa tersebut.
"Empat bulan yang lalu kami memancing di sana," kata Snot.
"Kalau tidak salah di titik inilah kami ditembaki," kata Mayor Dud.
Pak Narayana bertanya, "Kalian bertiga yang ditembaki?"
"Bukan kami bertiga. Tetapi Om Dud dan Pak Rambe, nelayan yang menemani kami memancing!" kata Vista. "Om Dud hampir tenggelam." Mayor Dud segera memberi kode jari di bibirnya. Supaya Vista tidak membuka aib kalau dirinya tidak bisa berenang.
Tapi Pak Narayana sudah terlanjur mendengarnya. "Mayor Dud hendak tenggelam? Padahal dulu jago renang, lho."
Mayor Dud tertawa, "Dulu ketika saya masih langsing."
"Jangan-jangan yang menembaki kami itu komplotan pencuri minyak mentah," kata Mayor Dud.
"Dengan alasan apa mereka menembak? Bukankah kalian hanya mencari ikan?" tanya Pak Narayana.
"Ada dua kemungkinan yang dilakukan maling bila aksinya dipergoki. Mereka akan lari atau melawan," jawab Mayor Dud.
"Tetapi kalian saat itu hanya memancing?"
"Namanya juga penjahat, ya, suka-suka mereka saja," kata Mayor Dud, asal bicara. Snot dan Vista yang mendengar kata-katanya sampai garuk-garuk kepala.
"Bila benar begitu maka mereka itu bisa dipastikan pencuri minyak mentah," kata Pak Narayana. "Begini saja, saya akan menyewa kalian untuk menyelidiki kasus ini. Biaya operasional akan kami tanggung. Kita harus merahasiakan hal ini." Detektif Topi Merah tentu menerima tantangan itu.
Detektif Topi Merah lalu membahas strategi penyelidikan pencurian minyak itu. "Apakah pencurian minyak ini melibatkan kapal tangker?" tanya Snot.
Mayor Dud menjawab, "Bisa saja. Tetapi dengan ukurannya yang besar saya rasa dilakukan oleh kapal berukuran tanggung." Mayor Dud menemui Om Sondag, adik sepupunya, seorang ahli pertambangan yang hobi fotografi. Om Sondag sering melakukan penyelaman untuk melakukan pemotretan. Malah jasanya sering diminta beberapa perusahaan untuk memotret instalasi bawah laut. Dia juga pernah memotret pipa minyak. Dengan begitu dia juga tahu aliran minyak mentah dari pertambangan ke tangki penampungan di pantai.
"Mengapa mesti memakai pipa? Bukankah bisa diangkat dengan kapal?" tanya Snot.
Om Sondag menjawab, "Dengan kapal ongkosnya terlalu mahal. Jauh lebih irit dengan pipa."
"Apakah pipa itu dibuat dari besi?" tanya Vista.
"Ya, pipa besi. Pipa non-logam akan patah dihantam arus air laut. Atau tidak kuat menahan tekanan air," kata Om Sondag. "Kurasa mereka mengebor pipa itu dan memasangi kran untuk mencurinya! Kalian pernah melihat orang memasang pipa paralon untuk mengalirkan air? Seperti itulah cara kerjanya. Mereka memasang kran untuk membuka dan menutup aliran minyak."
"Bagaimana dengan air laut yang masuk ke tangki?" tanya Mayor Dud.
Om Sondag menjawab, "Mereka sengaja memompanya. Begitu minyak sudah selesai disedot maka giliran mereka memasukkan air laut. Jumlahnya sebanding dengan minyak yang mereka curi."
"Untuk menghindari kecurigaian. Betulkan, Om?" tanta Snot. "Mengapa mereka harus memompa air laut itu? Bukankah cukup membuka lubangnya maka air laut akan masuk ke dalam pipa dengan sendirinya?"
"Ya, tetapi hanya sampai ke pipa saja. Sedangkan tangki di pantai harus diisi air laut juga. Satu-satunya jalan untuk mengalirkan air ke tangki hanya dengan pompa," kata Om Sondag. "Kalau tanpa pompa maka minyak akan bocor ke laut. Dan itu akan mengundang kecurigaian! Mereka tidak mau ambil risiko ini."
Mayor Dud mengambil napas dalam-dalam, mungkin teringat dengan kejadian yang hampir merenggut nyawanya di Pantai Cobek itu. "Bagaimana dengan orang dalam? Apakah menurutmu mereka terlibat dalam kasus pencurian minyak ini?"
"Pasti," jawab Om Sondag sambil mencoret-coret di whiteboard menggambar sketsa aliran minyak. "Kapal itu 'menyusu' minyak pada malam hari. Orang dalam bertugas membuka kran tangki untuk mengalirkan minyak ke pipa. Jadi ada koordinasi di antara mereka. Tanpa adanya orang dalam yang membuka kran tangki maka minyak di dalam akan pipa kosong. Bila begitu kapal pencuri hanya mendapat angin."
Mayor Dud menggerutu, "Aduh, sudah berapa triliun kerugian negara akibat penyelundupan minyak ini."
"Sudah banyak sekali. Kurasa ini sudah berlangsung lama," kata Om Sondag.
"Membobol pipa bawah laut bukanlah pekerjaan mudah. Pasti dikerjakan oleh mereka yang ahli," kata Mayor Dud. "Dalam hal ini siapa yang kamu curigai?"
"Orang-orang yang pernah bekerja memasang pipa itu. Atau orang yang bertugas memelihara dan mengawasi pipa itu," jawab Om Sondag. Mereka lalu menghubungi Pak Narayana dan meminta data perusahaan rekanan yang bertugas memelihara dan mengawasi pipa bawah laut itu. "Pemeliharaan pipa kami percayakan pada PT Kodo," kata Pak Narayana.
Mereka mendatangi PT Kodo untuk mendapat laporan terakhir kondisi pipa. Mereka diterima ramah oleh Pak Soni, pimpinannya. Pak Soni melaporkan dengan data-data bahwa kondisi pipa bawah laut baik-baik saja. "Pantuan terakhir kami pipa dalam kondisi bagus. Demikian juga dengan sambungan-sambungannya, tidak ada masalah," kata Pak Soni. "Begitu kan Pak Majun?" Snot menangkap ada nada tekanan pada kata-kata Pak Soni terhadap Pak Majun.
"Betul, Pak Narayana," jawab Pak Majun yang tampak sedikit gugup. Pak Majun masih muda dengan pandangan mata tampak aneh. Apakah gara-gara sering menyelam sehingga matanya hampir menyerupai mata ikan?
"Banyak air laut yang masuk ke tangki penampungan minyak mentah. Aku pikir telah terjadi kebocoran di pipa," kata Pak Narayana.
Pak Soni segera menanggapi kata-kata Pak Narayana, "Menurut saya kebocorannya bukan di pipa, melainkan di tempat pengeboran. Air merembes sehingga ikut masuk ke dalam tangki." Pak Narayana tidak mendebat, melainkan mengangguk-angguk saja. Tidak lama kemudian mereka mohon diri.
Di dalam mobil mereka membahas pertemuan mereka dengan PT Kodo. "Saya rasa ada yang mereka sembunyikan," kata Snot.
"Maksudmu?" tanya Pak Narayana.
Snot menjelaskan, "Kalau air laut hanya rembesan maka tidak akan bisa masuk ke dalam tangki."
"Benar katamu. Mereka menyimpan rahasia," kata Pak Narayana. "Itulah sebabnya saya tidak mendebatnya agar mereka tidak curiga kalau kita sedang menyelidikinya."
"Mengapa mereka mencuri minyak mentah? Bukankah lebih menguntungkan mencuri minyak yang sudah diolah?" tanya Snot.
Pak Narayana menjawab, "Mencuri minyak yang sudah disuling lebih sulit. Mereka tidak bisa memasukkan air laut sebagai gantinya. Berbeda dengan minyak mentah, mereka cukup mengambil dari tangki penampungan. Kalau tangki minyak mentah terisi air laut masih bisa dimaklumi, bisa beralasan terjadi kebocoran di tempat pengeboran sehingga tercampur air laut."
Minyak mentah Indonesia menjadi primadona di dunia karena kandungan timbalnya lebih rendah bila dibandingkan dengan minyak mentah dari tempat lain. Dengan demikian harga minyak mentah Indonesia lebih mahal dibanding lainnya. Pencuri itu jelas-jelas untung karena tinggal mengambilnya. Tidak usah membayar pengeboran atau lainnya. Biasanya pencurian dilakukan kapal asing. "Bagaimana kapal asing bisa masuk tanpa diketahui?" tanya Snot.
"Mereka memakai bendera merah putih dengan awak kapal pribumi. Setelah mendapat minyak mentah di tengah laut awak kapal itu diganti awak kapal asing dan meninggalkan perairan Indonesia! Kalau tidak begitu, kapal itu menjual minyak mentahnya ke kapal penadah di tengah laut," kata Pak Narayana.
"Canggih juga pemikiran mereka. Dasar penyelundup," kata Snot.
Om Sondag sudah melakukan penyelaman untuk mendapatkan gambar pipa minyak mentah bawah laut Pantai Cobek. Itu pun dilakukan dengan diam-diam. Didapatinya beberapa kran yang digunakan untuk menyedot minyak mentah. "Mereka membobol pipa yang berkedalaman 25 meter," kata Om Sondag. Manusia tidak bisa menyelam lebih dari 40 meter di bawah air, karena tekanan air sangat besar. Di kedalaman lebih dari itu maka diperlukan alat khusus.
"Sebaiknya kita menangkap basah mereka sehingga tidak bisa berkelit lagi," kata Pak Narayana.
"Ya, harus ada bukti kuat untuk menyeret orang-orang dalam. Bila tidak ada kapal pencuri yang tertangkap basah maka komplotan itu akan lolos," kata Mayor Dud.
Karena risikonya terlalu besar maka Snot, apalagi Vista, tidak diizinkan ikut. Bahkan Om Sondag pun tidak dilibatkan dalam pengintaian dan penyergapan. "Kalian di rumah saja. Berdoa untuk saya! Mudah-mudahan tidak ada korban," kata Mayor Dud.
Segera Mayor Dud menghubungi Pak Rambe dengan telepon, "Apakah penginapan yang saya sewa dulu kosong, Pak?"
"Disewa orang. Tetapi saya bisa mencarikan yang lebih baik," jawab Pak Rambe.
"Oke. Tetapi Pak Rambe tetap menemani saya memancing," kata Mayor Dud.
Pak Rambe tertawa lalu berkata, "Bukankah dulu sudah pernah berkata kepada saya kalau tidak akan memancing di laut lagi?"
"Ya, tetapi orang jawa bilang hanya 'kapok lombok'. Seperti makan cabe, walaupun kepedasan tetapi akan diulangi lagi," kata Mayor Dud. "Siapkan perahu seperti dulu lagi."
Beberapa malam Mayor Dud melakukan pengintaian tetapi tidak melihat tanda-tanda kemunculan kapal pencuri minyak. Malam kelima mereka melihat sebuah kapal mendekati area pipa. Setelah kapal itu melego jangkar muncul speedboat yang segera mendekati kapal itu. Ada lima orang di speedboat itu. Orang speedboat naik ke atas kapal dengan tangga yang diulurkan, lalu sejenak kemudian mereka melakukan pembicaraan. Tetapi suara mereka tidak terdengar. Dua orang di speedboat cepat-cepat mengenakan perlengkapan selam lalu menyeburkan diri ke air untuk membuka kran dan memasang selang untuk mengalirkan minyak ke kapal.
Pak Rambe terkejut ketika Mayor Dud menyuruhnya untuk mengarahkan perahu di tempat mereka dulu ditembaki. Dia tidak tahu kalau Mayor Dud sudah menyelipkan pistol jenis bareta untuk berjaga-jaga. Perahu nelayan di sekitar perairan itu juga berisi polisi berpakaian sipil, menyamar sebagai nelayan. Kapal patroli cepat sudah disiagakan untuk melakukan penyergapan.
Ketika Mayor Dud mengeluarkan pistolnya maka Pak Rambe terkejut lagi. Tidak tahu kalau dia akan terlibat dalam petualangan seru. "Pak Rambe, bawa perahu mendekti speedboat pelan-pelan saja. Saya sudah menghubungi yang lainnya."
Beberapa kapal patroli laut segera mengepung tempat dan malah didukung beberapa helikopter untuk melakukan penangkapan. Orang di speedboat berusaha kabur tetapi perahu Pak Rambe sudah menempel sehingga Mayor Dud melompat ke speedboat dan melakukan penangkapan. "Pantas kamu ada di sini," kata Mayor Dud kepada Pak Soni, yang begitu pucat wajahnya. Mereka menunggu kemunculan orang-orang yang menyelam, begitu mereka muncul ke permukaan langsung ditangkap. Salah satu dari penyelam itu Pak Majun.
Penangkapan kapal pencuri minyak mentah di laut itu menyeret beberapa orang dalam PT Domino. Termasuk orang yang bertugas di tangki penampungan karena selama ini mereka bermain mata dengan para pencuri. Mereka membuka kran untuk mengalirkan minyak mentah kembali ke pipa itu agar disedot kapal pencuri. Begitu pencurian itu selesai, sementara minyak mentah sudah diganti air laut, mereka menutup kran tangki lagi.
Sebagai bentuk terimakasih kepada Detektif Topi Merah, Pak Narayana menghadiahi minyak perdana kepada Mayor Dud. "Ketika para pengebor berhasil mengeluarkan minyak dari bumi, maka minyak yang keluar pertama kali menjadi rebutan. Minyak perdana ini dipercaya mengandung obat yang manjur untuk berbagai jenis penyakit."
"Bagaimana dengan obat haus?" tanya Snot, sambil tersenyum.
"Oke, sekarang kita pergi ke restoran Raja Laut. Makan udang bakar yang terkenal dan minum sepuasnya," kata Pak Narayana sambil tertawa. Tetapi mereka mengajak Om Sondag juga. Di restoran itu pula Pak Narayana bercerita tentang proses pengeboran minyak sampai menjadi bahan bakar minyak. Bahan bakar minyak dan batu bara merupakan bahan bakar fosil. Minyak bumi dihasilkan oleh fosil binatang yang terpendam di dalam tanah pada jutaan tahun yang lalu. Oleh tekanan tanah dan bebatuan fosil itu berubah menjadi sumber energi. Sedangkan batu bara dihasilkan oleh fosil tanaman. Minyak mentah harus diolah dengan cara penyulingan. Caranya minyak mentah itu dipanaskan sehingga dihasilkan minyak matang. Minyak matang itu berupa bensin, solar, minyak tanah, dan lainnya. Sedangkan limbah dari penyulingan itu berupa aspal, bahan baku plastik, dan sebagainya. "BBM dari fosil tidak bisa terbarukan sehingga manusia harus mencari alternatif lain sebagai pengganti!" kata Pak Narayana, mengakhiri cerita.
"Dulu sebelum penemuan mesin berbahan bakar minyak, maka keberadaan minyak bumi tidak dilirik orang. Kini minyak sudah menjadi bahan pokok. Bila tidak ada minyak maka perekonomian dunia akan terhenti. Bagaimana dengan transportasi bila tidak ada minyak. Bagaimana industri bisa berjalan bila tidak ada minyak? Minyak betul-betul sudah menjadi sesuatu yang vital. Beberapa puluh tahun mendatang sudah tidak ada tambang minyak lagi, karena sudah habis," kata Mayor Dud.
"Kalau begitu mobil tidak bisa berjalan. Terus kita naik apa?" tanya Vista.
"Kuda lumping," sahut Snot, cepat.
"Di negara maju sudah banyak mobil yang menggunakan tenaga matahari. Mereka juga meneliti rumput agar bisa menjadi bahan bakar alternatif di masa mendatang," sambung Om Sondag.
"Kalau tenaga rumput sudah banyak dipakai sejak zaman dulu, Om," kata Vista. "Dengan memberi rumput maka pak tani bisa menjalankan sapinya untuk membajak sawah."
"Bukan begitu maksudnya, Vistaaaa....!" seru Snot. Dipikirnya Vista itu serius? Naip amat! (*)