Jam makan siang masih berlangsung. Laura baru saja menghabiskan bekal berupa sandwich yang ia bawa dari rumah. Wanita yang hanya mengenakan kemeja berwarna putih itu pun berjalan ke arah pantri, berniat untuk membuat sirup atau minuman manis lainnya.
Tidak ada banyak orang di kantor pada jam istirahat. Semua karyawan rata-rata pergi ke bawah, untuk menikmati makan siang di sebuah kafe yang berada di lantai satu bangunan perusahaan mereka.
Ketika hendak membuka lemari pendingin, Laura dikejutkan oleh tangan seseorang yang muncul dari arah belakang. Wanita itu sedikit terperanjat dan menoleh ke belakang dengan ekspresi terkejut.
"Pak Edgar? Ah ... saya minta maaf, Pak. Silakan Bapak dulu." Laura tersenyum kaku dan sedikit menghindari tatapan Edgar.
"Kamu nggak makan di bawah, Laura?"
"Ya?"
"Kamu nggak makan di bawah?" tanya Edgar, mengulang.
"Nggak, Pak. Kebetulan saya bawa bekal dari rumah. Bapak sendiri, nggak makan siang?"
Direktur Laura itu meletakkan botol minuman soda di atas meja pantri. "Belum. Kerjaan saya masih banyak," ucapnya.
"Masih banyak? Tapi harus tetep makan dong, Pak." Seperti rencana awal, Laura mengambil sirup dan beberapa potong es batu, lalu memasukkannya ke dalam gelas. Wanita itu mengaduk minuman tersebut di depan Edgar, setelah menambahkan air putih ke dalamnya.
"Pak Edgar itu Direktur, apalagi baru hari pertama kerja. Emangnya udah banyak kerjaan ya, Pak?" Benar-benar lancang! Laura rasanya ingin menghilang dari hadapan Edgar saat ini juga. Mengapa dia selalu seperti itu?
Ya. Laura selalu spontan mengeluarkan perkataan yang ada di dalam pikirannya. Kadang gadis itu merasa tidak enak, ketika mengajukan pertanyaan yang mungkin saja bisa membuat orang-orang di sekitarnya tersinggung.
"A-anu, Pak ... saya minta maaf. Saya nggak bermaksud nggak sopan." Laura menunduk, mengambil langkah di mana seorang karyawan harus meminta maaf pada atasan dengan posisi seperti itu.
"Haha ... nggak papa, Laura. Saya ngerti kok." Untungnya Edgar lumayan baik. "Direktur kalian yang lama ninggalin banyak banget kerjaan. Jadi, saya yang harus selesaikan, bukan?"
Wanita di hadapan Edgar mengangguk cepat. "Maafin beliau ya, Pak. Emang orangnya kayak gitu. Udah mau korupsi, eh, malah ketahuan."
Edgar terkekeh pelan mendengarnya. Ternyata Laura sangat menyenangkan. Wanita itu tidak membosankan sama sekali, dan ramah.
"Oh ya, kamu jangan canggung kalau deket saya, ya. Anggap aja kita ini teman." Bahkan, Edgar berharap lebih dari teman.
"Lho ... nggak bisa gitu dong, Pak. Teman dari mana, nya? Kasta kita aja udah beda jauh." Laura tersenyum miris dengan alis bertaut. "Bapak itu Direktur. Sedangkan saya? Cuma karyawan biasa. Bisa ngobrol kayak gini aja rasanya jantung saya udah mau copot, Pak."
"HAHAHA .... " Lagi dan lagi, tawa Edgar memenuhi pantri yang hanya ada mereka berdua. "Sori, sori. Tapi kamu itu orangnya humble, dan beban saya jadi merasa bekurang kalau ngobrol sama kamu. Nggak papa ya, kalau sekarang kita temenan?"
Bukan. Bukan ini yang Laura pikirkan sebelumnya. Dia juga tidak pernah meminta kepada Tuhan, untuk didekatkan dengan atasannya sendiri.
Laura bukannya tidak mau mendapat pasangan atau teman dekat laki-laki seorang Direktur. Hanya saja ... dia merasa tidak pantas bergaul dengan mereka. Laura juga takut berubah menjadi manusia yang kurang ajar dan tidak tahu diri.
"Pak, ta-tapi sa-saya .... "
"Saya Edgar."
Wanita dengan rambut seukuran bahu itu terkejut, tatkala Edgar yang tiba-tiba menjabat tangannya.
Tubuhnya mematung dan membeku, kedua matanya mengerjap, sambil menatap wajah Edgar yang tengah tersenyum.
"Ah, maaf." Buru-buru Edgar menarik kembali tangannya. "Saya lancang banget, ya? Maaf ya, Laura. Saya cuma nggak mau, ada kecanggungan di antara kita. Saya juga nggak mau bikin kamu takut, atau karyawan lain merasa nggak enak sama saya."
"Maaf, Pak. Seharusnya saya yang bicara seperti itu. Saya merasa nggak enak, karena justru Bapak yang mau temenan sama saya."
Sebenarnya Edgar ingin memastikan, bahwa Laura adalah wanita yang dia temui di kelab, malam itu. Jika dilihat dari wajah dan bentuk tubuhnya, memang benar itu Laura.
Namun yang membuatnya bingung, mengapa Laura tidak mengenali dirinya?
"Laura, sebenarnya saya ingin memastikan sesuatu."
"Apa, Pak?"
"Kemarin malam, kamu ke kelab malam, ya? Sama temen kamu yang namanya Jasmin?"
Bola mata Laura membulat sempurna. "Whoa ... kok Bapak tahu? Padahal kita baru kenal barusan, kan?"
"Kamu nggak inget sama saya?"
Laura menggeleng dengan polosnya.
"Saya ini laki-laki yang nganter kalian pulang. Saat itu Jasmin mabuk dan kamu sedikit kewalahan. Inget?"
Sembari mengingat, Laura memutar bola matanya ke atas. Dan beberapa detik kemudian, mulutnya menganga terkejut.
"Ya, Tuhan ... ternyata laki-laki itu Pak Edgar?"
Akhirnya ... Edgar mengangguk senang. Dia pikir Laura akan seperti wanita dalam cerita novel, yang di mana ia akan berpura-pura melupakan kejadian tersebut, hanya karena takut Edgar jatuh cinta.
"Syukurlah kalau kamu ingat." Edgar menenggak sisa minumannya, dan membuang kalengnya ke dalam tempat sampah.
"Ya ampun, Pak ... saya bener-bener minta maaf. Pasti malam itu Bapak kerepotan kan, nolongin saya dan Jasmin?" Laura mulai merasa tidak enak. Gara-gara Jasmin, dia harus merepotkan Edgar, yang sekarang menjadi atasan mereka sendiri.
"Nggak papa, kok. Saya juga seneng bisa bantu kalian."
Ting!
Suara pintu lift membuat keduanya menoleh. Edgar merapikan penampilannya dan pamit pada Laura. Pria itu berpapasan dengan beberapa karyawan ketika kembali, termasuk Jasmin.
"Lau, lo sama Pak Edgar lagi ngapain? Kok berduaan di pantri?" Jasmin menaik turunkan kedua alisnya, menggoda Laura.
"Nggak. Tadi gue lagi mau bikin minuman, terus kebetulan Pak Edgar juga mau minum. Makanya kita di sini."
"Oh ... gue pikir lo sengaja mau godain Direktur baru kita."
Laura menarik tangan Jasmin agar semakin dekat dengannya. "Lo tahu, nggak? Ternyata ... Pak Edgar itu cowok yang nolongin kita di klub semalam!"
Sama seperti reaksi Laura sebelumnya, bola mata Jasmin melebar, dan terlihat seperti akan melompat dari wadahnya.
"Lo serius? Kok bisa?!" tanya Jasmin, setengah memekik.
"Gue juga nggak tahu. Ternyata Pak Edgar masih hafal sama wajah gue, Jas. Padahal gue sendiri lupa sama dia."
Jasmin semakin mendekatkan wajahnya dengan Laura, diiringi dengan senyum penuh arti yang tak terbaca.
"Apa? Kenapa lo liatin gue kayak gitu?" Laura mendorong wajah Jasmin agar menjauh.
"Kayaknya gue mencium bau-bau jatuh cinta, deh."
"Nggak usah ngaco, lo. Ini itu namanya kebetulan. Dunia kan emang sempit, lebih lebar daun kelor." Jessika meninggalkan pantri dan kembali ke ruangannya. Namun, Jasmin tetap mengekori untuk menyampaikan teori-teori yang dia pikirkan.
"Tapi bisa aja iya lho, Lau. Kenapa dia bisa inget sama wajah lo? Sedangkan lo sendiri, udah lupa sama wajah dia. Ini namanya takdir. Dan Pak Edgar, ditakdirkan berjodoh sama lo."