webnovel

Mengambil Sedikit Kewarasan

"Laura, kamu belum pulang?"

Laura menoleh ke arah pintu ruangannya yang terbuka. Wanita itu berdiri, sedikit membungkuk pada Edgar yang telah bersiap untuk pulang.

"Hari ini saya harus lembur, Pak. Ada beberapa berkas yang harus diselesaikan secepat mungkin, karena beberapa produk harus segera dipasarkan."

Memang sosok pekerja kerasa sekali Laura ini.

Edgar mengangguk mengerti dan sedikit bergeser, menatap layar komputer yang masih menyala dengan tampilan proposal yang siap cetak.

"Kamu ngerjain ini sendirian? Di mana tim kamu yang lain?"

"Ah, tim di bawah naungan saya hanya bertugas mengatur cara promosi dan menghubungi beberapa media cetak, maupun iklan di internet, Pak. Kami sudah membagi tugas dengan porsi masing-masing." Laura mengatakan hal itu dengan percaya diri. Dia memang memiliki beberapa karyawan untuk mengurus iklan dan melalukan promosi secara terbuka di lapangan, sedangan surat menyurat, biarlah dia yang mengurusnya sendiri.

Divisi Pemasaran dan Periklanan yang dipimpin langsung oleh Laura sering mendapat pujian dari atasan mereka, termasuk sang Presdir, Dewantara. Itu semua karena kerja keras yang Laura lakukan, begitu pula dengan para tim yang berada di bawah naungan dirinya.

"Kamu sangat luar biasa. Kamu nggak papa sendirian di sini?" Edgar memperhatikan sekitar, sudah tidak ada orang di perusahaan mereka, selain Laura dan dirinya.

"Nggak papa, Pak. Saya udah biasa kok. Pak Edgar mau pulang?"

Pria itu mengangguk. "Pekerjaan saya sudah selesai separuh. Kalau begitu saya pulang dulu."

"Silakan, Pak."

Sungguh, wanita itu sangat menarik perhatian Edgar. Selain sifatnya yang baik dan sopan, penampilannya pun selalu terlihat segar serta menarik.

Jam di tangan Edgar sudah menunjukkan pukul delapan malam, namun penampilan Laura sama sekali tidak lusuh. Bahkan aroma wangi menguap dari tubuhnya. Hal itu membuat Edgar seperti mau gila rasanya. Dia yang belum pernah memiliki kekasih pun merasa goyah, melihat wanita seperti Laura.

Belum pernah berpacaran, bukan berarti tidak pernah bermain atau mencicipi tubuh wanita. Edgar adalah pemain. Ia lebih senang bermain dengan wanita bayaran di kelab malam. Pria itu tidak ingin dipusingkan oleh wanita berisik yang selalu mengikuti ke mana pun ia pergi.

Seperti kekasih, tentunya.

Berbeda ketika ia bermain dengan wanita bayaran. Mereka hanya akan merengek dan mengeluarkan suara ketika Edgar menghamburkan uang di wajah para wanita jalang itu. Setelahnya, tentu saja mereka kembali bersikap seperti tidak saling mengenal.

Pria seperti itu sangat berserakan di bumi ini, bukan? Bahkan bagi Edgar, untuk apa memiliki kekasih, kalau hanya membuat pusing?

"Pak, ini pesanannya."

"Tolong antar ke lantai lima, dan berikan kepada seorang wanita di dalam sana. Jangan berani berbuat macam-macam, karena semua ruangan dilengkapi dengan kamera pengintai."

"Baik, Pak."

Benar. Edgar baru saja memesan beberapa makanan untuk Laura. Dia melakukan itu karena merasa kasihan dan rasa peduli terhadap pegawai.

Setelah memberi instruksi, pria itu memasuki mobil dan membelah jalanan menuju bar yang biasa ia kunjungi hanya untuk sekadar minum-minum bersama teman.

Beruntunglah Laura. Wanita cantik itu tidak bertemu dengan Edgar dalam keadaan mabuk atau tak sadarkan diri. Dengan seperti itu, citra baik yang Edgar miliki akan tetap terjaga.

"Bro, lo baru balik kantor?"

"Iya, nih. Pusing banget gue. Padahal gue bisa aja jadi Bos di perusahaan bokap."

Teman lelaki Edgar bernama Matthew itu pun tertawa. Pertemanan keduanya sudah terjalin sejak kecil, di mana Edgar dan Matthew pernah bersekolah di tempat yang sama.

"Lagian Om Evan kenapa sih, nyuruh lo kerja di perusahaan Om Dewa? Harusnya kan elo, yang nerusin perusahaan keluarga."

Edgar hanya mengangkat kedua bahu dan menenggak minuman yang sudah Matthew sediakan. "Gue nggak mau pusing mikirin itu. Yang terpenting, gue ketemu sama cewek cantik di sana."

Matthew yang tertarik dengan topik yang akan Edgar ceritakan pun membulatkan mata. Dia mengubah posisi duduk menatap Edgar. Bisa dilihat, manik mata Edgar nampak berbinar, seperti benar-benar berhasil menemukan batu permata di atas tumpukan pasir.

"Lo jatuh cinta? Sejak kapan?"

"Gue nggak tahu ini cinta apa bukan. Yang jelas, gue seneng ketemu cewek ini. Dia baik dan dewasa banget. Menurut lo ... dia mau nggak, ya, sama gue?"

"Kalau ngasih pertanyaan yang masuk akal dikit kenapa sih, Gar?" Matthew menggeleng pelan dan menenggak habis sisa minuman di dalam gelas kaca miliknya. "Siapa cewek yang nggak mau sama lo, hah? Lo itu cakep, kaya, berpendidikan. Seandainya lo mau, sekali kedip pun semua cewek udah kumpul di sini."

Berlebihan sekali memang ucapan Matthew satu ini.

Meski begitu, Edgar tidak mengelak sedikitpun. Pria itu hanya tersenyum miring, sembari memperhatikan para wanita yang sedang menari di depannya.

Seperti kelab pada umumnya, semua ruangan didominasi oleh dentuman musik yang bisa membungkam semua obrolan. Edgar yang sudah terbiasa dengan pemandangan dan suara-suara berisik seperti langsung mengangguk-anggukkan kepalanya. Menikmati setiap detik kebisingan yang berhasil menenangkan raga yang lelah setelah seharian bekerja.

"Tapi bener deh, gue penasaran sama cewek yang lo maksud. Namanya siapa?"

"Nanti juga lo tahu. Gue nggak mau ngenalin dia dulu, takutnya lo malah suka."

"Sialan!" umpat Matthew. "Emang lo pikir gue temen apaan, hah?"

Edgar hanya tertawa dan meletakkan gelas minumannya. "Gue nggak bisa lama-lama di sini. Gue harus cabut oke. Lo minum aja sendiri."

"Gar, lo nggak mau indehoy sama cewek dulu, gitu?"

"Gak. Kalau ada karyawan yang liat gue di sini, bisa-bisa citra gue sebagai Direktur ternodai." Edgar berdiri dari duduknya, sambil menepuk bahu Matthew berulang kali. "Gue cabut. Lo jangan sampe mabok, gak ada yang nganter pulang." Pria itu pergi meninggalkan kelab dengan jas yang telah tersampir di tangan.

Sesampainya di depan mobil, ponsel milik Edgar berdering nyaring. Pria itu sedikit berdecak, karena merasa terganggu oleh kebisingan dari ponselnya sendiri.

"Nomor kantor?" gumamnya. "Halo?"

"Halo, Pak Edgar. Saya Laura. Maaf sudah menganggu waktu Bapak, dan saya lancang memakai telepon kantor."

Kekesalan di dalam diri Edgar mencari seketika. Pria itu berdeham dengan tubuh bersandar di pintu mobil. "Nggak papa, Laura. Saya pikir siapa. Ada apa, ya? Kamu butuh bantuan saya?"

"Saya mau tanya, Pak. Tadi ada yang anter makanan buat saya. Apa itu dari Bapak?"

Suara Laura yang lembut berhasil membuat Edgar menggeram gemas. Dia bisa membayangkan, seperti apa ekspresi Laura saat ini. Meski wanita itu sangat tegas, namun tidak menutupi wajah imutnya sedikitpun.

Bibirnya yang sedikit tebal hampir setiap hari membuat Edgar terbayang-bayang. Apalagi ditambah dengan kedua pipi yang sedikit mengembung. Sudahlah, Edgar bisa gila jika membayangkan Laura.

"Ah, iya. Saya takut kamu belum makan dan jatuh sakit, Laura. Kalau besok kamu nggak masuk kerja gara-gara sakit, gimana? Perusahaan juga yang repot."

"Wah ... terima kasih banyak, Pak. Sekarang saya bisa makan dengan tenang."