webnovel

Bab 27 - Sengsara Menginap Satu Malam

Keadaan semakin memanas, terlebih lagi Callista yang mulai ikut campur dalam perbincangan penuh ketegangan. Kenzi dari tadi terus membela istrinya mati-matian dari omongan pedas oma-nya, sedangkan sang oma terus-menerus membanggakan Callista.

"Kalau Oma memang tidak menerima kehadiran istriku, maka kami akan pulang. Bagaimanapun, aku dan dia adalah satu. Bila seseorang tak menginginkan dia, itu sama saja tak menginginkan diriku."

Keputusan Kenzi terdengar begitu menyentuh hati Widya. Tak pernah terbayangkan selama ini akan menerima pembelaan sebesar sekarang. Berbeda pada sang oma, dari ekspresi yang mendadak datar dapat dikatakan ia tak tahu lagi harus menjawab. Sampai pada akhirnya pun menyetujui. "Baiklah kalau begitu. Silakan duduk dan makan, Cucuku."

Setiap kaki melangkah, tangan Kenzi tak pernah melepas genggaman jari istrinya. Dia tahu perasaan tak nyaman yang dialami Widya, terlebih lagi pada semua tatapan tampak menyudutkan.

Dalam meja makan ada delapan lima orang duduk melingkar, mereka semua adalah paman dan bibinya Kenzi. Saat menikah, mereka semua diundang. Namun, Kenzi tak memperdulikan pada acara pernikahannya sebab ia tahu sifat buruk mereka.

"Cucuku, papa dan mama-mu masih dalam perjalanan pulang. Mereka akan datang besok." Penjelasan yang oma-nya sampaikan tak mendapat respon apapun dari sang cucu. Malahan Kenzi sedang asik menggoda Widya dengan menyuapi makanan ke dalam mulut sang istri.

Aksi dua pasutri itu disaksikan seluruh keluarga yang tengah duduk berkumpul. Berbagai macam ekspresi mereka tunjukkan, terlebih pada Callista yang sangat terlihat jelas. Tangannya sudah menggenggam sendok sekuat tenaganya, serta kedua alisnya tampak menyatu tanda emosi. Malam yang harusnya dingin tak berlaku bagi Callista yang sedang kepanasan akibat terbakar api cemburu. Dalam sepersekian detik, dirinya menghempaskan sendok ke piring sehingga menimbulkan dentingan yang sangat keras.

Semua mata teralih ke sumber suara. Ditatap secara bersamaan, membuat Callista malu sendiri dan ia pun berdiri untuk izin ke kamar mandi.

"Kenzi, sebaiknya kamu fokus ke keluarga kamu," saran Widya merasa tak enak.

Namun, Kenzi tetaplah Kenzi. Tak akan mungkin pernah mendengar ucapan siapapun yang memerintahnya. Semakin dilarang maka akan semakin dia kerjakan. Malah sengaja memanas-manasi setiap orang, seperti sekarang Kenzi terlihat layaknya anak kecil yang sedang membuka mulut untuk minta disuapi.

"Tingkahmu makin hari makin tidak tahu malu. Oma bahkan hampir tak mengenalimu jika terus-terusan bersikap seperti ini." Ungkapan oma yang terdengar sedih membuat Kenzi menghela napas. Sedangkan sang oma hanya menatap nanar ke arah sang cucu. "Kamu mendengarnya, Kenzi?" sambung sang oma bertanya.

"Ya, aku mendengarnya," balas singkat tanpa mengalihkan tatapan.

Beberapa menit setelahnya, datanglah Callista dari arah dapur. Terlihat wajah angkuh layaknya nona besar. Wanita itu terus menatap ke arah tangan yang saling menggenggam erat, membuat hati panas bagaikan api membakar seluruh perasaan.

Di meja makan, Callista mengambilkan beberapa lauk ke atas piring sang oma dari nada bicara dapat dibilang sengaja membesar-besarkan.

"Oma, makan banyak ikan ini. Aku tahu bahwa ikan ini makanan favoritmu." Tanpa henti terus mengambilkan setiap lauk yang terhidang. Lalu beralih ke samping kiri ada dua orang bibi yang terus menatapnya. Dengan inisiatif juga melakukan hal yang sama. "Ah, iya! Bibi juga makan ini. Tahu tidak, kalau daging yang kupesan tadi sangat lembut dan nikmat."

"Terima kasih, Callista sayang."

"Terima kasih, Sayang. Memang dirimu yang paling terbaik dan paling pengertian."

Terasa seperti menyindir, Widya hanya dapat menundukkan kepala. Bahkan jari-jarinya saling bertaut cemas satu sama lain.

"Callista, aku sangat bangga padamu. Sudah cantik, berpendidikan, memiliki segudang prestasi, lantas pria mana yang akan beruntung mendapatkanmu?" Sang oma memuji begitu panjang, tak menunjukkan rasa peduli pada seseorang yang dari tadi menahan tangis.

"Ah, Oma terlalu memujiku. Harusnya cucumu yang beruntung, sayang saja dia malah menikah dengan wanita sial. Eh, bercanda, hahaha!"

Semua langsung tertawa, membuat emosi Kenzi sebagai pendengar ikut naik. Tak ada basa-basi ia langsung berdiri membuat semua orang terdiam dalam posisi masing-masing.

"A–ada apa, Kenzi?" tanya sang oma gugup. Mendapatkan tatapan tajam, mereka serentak menelan ludah secara kasar.

"Kami pamit pulang!"

"Lho? Kenapa kamu pulang? Papa dan mamamu besok pagi-pagi akan datang. Tinggallah sehari, lagian rumah kalian sangat jauh bila harus datang lagi."

Seketika kepala Kenzi menunduk menatap wajah istrinya. Seperti sedang mempertimbangkan pertanyaan, Widya kelimpungan mencari jawaban.

"Bagaimana, Sayang? Keputusanmu pasti akan kuturuti."

"Ehmmm, s–sebaiknya ikuti kata oma saja karena menurutku ada benarnya."

"Baiklah, karena itu maumu maka kita akan tinggal semalaman."

"Kenzi!" pekik sang oma marah karena merasa cucunya begitu semena-mena kepadanya. Berbeda pada Kenzi, dia malah menaikkan sebelah alisnya seraya memasukkan tangan ke dalam saku celana.

"Kamu gak ada sopan banget terhadap oma!" Callista menyambung saat menangkap ekspresi sang oma yang terlihat sedih.

"Maaf, Nona Callista yang terhormat. Urusan antara aku dan oma tak ada sangkut pautnya dengan anda! Mohon bantuannya untuk tak ikut campur!" Nada ketus Kenzi menusuk tembus hati Callista, bahkan sekarang dia menyatukan gigi karena merasa dipermalukan.

"Aku memang bukan bagian dari keluarga ini, tapi setidaknya aku tahu caranya sopan pada oma kamu sendiri, Kenzi!"

"Sopan santun anda bilang? Sudah berkaca kah anda?" Setelah mengatakannya, Kenzi menatap pada tarikan tangan seseorang. Ternyata istrinya terlihat ketakutan, ia pun memutuskan untuk menyudahi keributan dan langsung membawa ke lantai atas menuju kamar.

Tak terasa malam telah berlalu, kini hari mulai menunjukkan sinarnya. Di balik selimut ada sosok wanita yang masih nyaman dalam mimpi indahnya. Dia adalah Widya, tangannya bergerak mengucek mata saat merasakan sesuatu yang menusuk.

Hingga terduduk lah dia saat melihat hari telah pagi dan sama sekali belum turun untuk membantu orang rumah, bisa-bisanya dia akan dimarahi. Hanya sekedar cuci muka dan gosok gigi Widya lakukan, sialnya lagi saat mengetahui sang suami telah bangun tanpa membangunkan dirinya juga.

Saat menuruni tangga, seluruh mata menatap ke arahnya. Ada oma, bibi pertama, bibi kedua, serta beberapa pelayan yang saling berbisik seperti menyindir. Meski ragu-ragu tetap saja Widya berjalan mendekati mereka yang terasa seperti ingin mengibarkan bendera peperangan.

"Duh, enak banget jadi istri orang kaya. Berasa tuan putri yang memiliki pelayan pribadi," sindir oma tepat saat Widya berdiri di hadapannya.

"Oma, Widya bantu iris brokolinya, ya?"

"Gak usah! Nanti suami kamu marah pula ke Oma!"

"E–enggak kok, Oma. A–aku udah terbiasa masak juga," balas Widya seraya tersenyum.

"Haha, ya memang harus begitu. Namanya juga anak desa, mau menikah dengan suami orang kaya juga harus sadar diri. Ya, kan, Ma?" Giliran salah satu bibi berambut pendek ikut nimbrung pembicaraan.

"Sttt, nanti Kenzi marah ke kamu kalau istrinya sedih, hahaha!"

Telinga memanas saat semua orang menghinanya bahkan ingin rasanya menangis sesenggukan, sayang saja dia tak ingin menjadi bahan hinaan lagi. Ia pun hanya menghela napas mencoba untuk bersabar.

"Oma, aku bantu, ya?" Kembali Widya bersuara saat semuanya tengah tertawa.

"Oh, yakin mau bantu?" tanya sang oma dan diangguki oleh Widya. "Kalau begitu di ember belakang ada beberapa ikan yang harus dibersihkan. Sana kamu kerjakan!" sambungnya memerintah.

Mendapatkan tugas membuat Widya merasa senang, karena menganggap bahwa oma sudah mau menerimanya dengan cara diberi tugas. Ya, ia pun mengangguk cepat lalu melangkah pergi ke dapur sesuai arahan, tak melupakan senyum tipisnya.

••••

"Lho? Widya mana Oma?" pertanyaan terlontar pertama kali saat melihat sekeliling ruangan dan tak mendapati istrinya.

Sedangkan sang oma langsung mengubah raut wajahnya menjadi tak suka. "Kamu baru datang kok langsung cari istri gak becus kamu itu? Bukannya kumpul-kumpul sama mama dan papa kamu ini."

Pandangan Kenzi mengarah kepada dua orang yang berdiri dengan tersenyum. Salah satu dari mereka maju dan merangkul sang oma. "Sudahlah, Ma. Namanya laki-laki beristri pasti yang dicari istrinya, gak mungkin lagi kita-kita, hahaha!" Pria berpakaian serba coklat dengan perawakan tinggi serta tegap bak prajurit.

"Iya, Ma. Biarkan saja namanya pasutri baru menikah," sambung istri dari pria itu yang tak lain adalah mamanya Kenzi.

Merasa tak dibela, oma melepaskan rangkulan anaknya lalu bersedekap dada. "Dia dibelakang, Oma suruh bersihkan—"

Belum lagi selesai, sudah lebih dulu Kenzi berlari menuju arah belakang. Dia takut sang istrinya diperlakukan tak baik, mengingat sikap sang oma yang tak menyukai. Sikap berbeda yang orang tuanya tunjukkan, mereka saling berpandangan kemudian menggelengkan kepala. Merasa geli dengan tingkah laku anaknya yang telah menikah.

Sesampainya dia, begitu terkejutnya saat melihat Widya seorang diri tengah berjongkok di ruangan belakang yang tak tertutup. Sehingga terik matahari mengenai kulit istrinya secara langsung dan belum lagi kerjaan yang tengah dilakukan.

"Sayang!"