"Aku ... tak pernah meminta sosok pendamping sempurna. Cukup dia yang selalu sabar menemani dalam kekuranganku. Namun Tuhan menghadirkan ... Kamu wanita terhebat. Kuat tak pernah mengeluh, bahagia ku selalu bersamamu. Andai ada keajaiban ingin ku ukirkan namamu di atas bintang-bintang angkasa. Agar semua tahu kau berarti untukku, selama-lamanya kamu milikku."
Belum puas Alfito menyanyikan lagu milik Natta Reza yang berjudul kekasih Impian, dia melanjutkan lagu yang berjudul, surat cinta untuk Starla dari Virgoun.
"Kutuliskan tentang, caraku menemukan dirimu. Tentang apa yang membuatku mudah berikan hatiku padamu, tak kan habis sejuta lagu untuk menceritakan cantikmu. Kan teramat panjang puisi tuk menyuratkan cinta ini. Telah Habis sudah cinta ini tak lagi tersisa untuk dunia. Karena telah kuhabiskan sisa Cintaku hanya untukmu. Aku pernah berpikir tentang hidupku tanpa ada dirimu, dapatkah lebih indah dari yang kujalani sampai kini. Aku selalu bermimpi tentang indah hari tua bersamamu. Tetap cantik rambut panjangmu meskipun nanti tak hitam lagi."
Dia memandangi istrinya yang tertidur lelap, laki-laki ini tidak berani menyentuh istrinya dia hanya menyelimutinya. Lalu duduk di sofa yang lain dan mulai bekerja.
'Sepertinya, kekasih Anaya ini pantasnya untuk menjadi artis atau vokalis band. Suaranya merdu. Dia terlalu bucin ... hah ... apa tega aku berkata jujur,' batin Fania yang terbangun karena suara Alfito. Dia pura-pura terpejam.
'Walau aku tidak tahu dia sedang apa, kenapa aku yakin dia memandangiku? Aduh ... ingin buang air kecil pula,' batin Fania yang lalu bangun dan berlari ke kamar mandi.
Alfito mengawasinya lalu tersenyum entah apa maksudnya. Dia tertawa bahagia karena istrinya bangun.
Pria tampan itu terus menggerakkan kakinya, membentuk desain tapi belum selesai, dia sering menoleh ke arah kamar mandi. Imajinasinya terpecahkan, karena dia tidak henti menunggu istrinya keluar dari kamar mandi.
Sementara di sana, di kamar mandi Fania tetap berlama-lama walau dia sangat bosan bertahan di dalam ruangan yang dingin itu. Wajahnya karena telapak tangan yang mendingin.
Dia menghela napas lalu membuka pintu. Seketika Alfito langsung menghadap kertasnya, setelah melihat istrinya keluar dari kamar mandi.
"Ehekm. Apa masih belum selesai?" tanya Fania yang lalu duduk di pinggir ranjang.
'Apa dia akan mengajak bermesra-mesraan?' tanya Alfito dalam hati yang sudah teramat bahagia. Terlihat jelas jika dia sudah tidak sabar ingin bercumbu mesra dengan istrinya.
"He ...?" tanya Alfito memastikan lagi apakah istrinya akan mengajaknya bermesraan. Pikirannya mulai berfantasi.
"Kalau masih sibuk, lanjutkan ... aku sangat lelah. Aku tidur lebih dulu ya?" tanya Fania yang lalu berbaring dan meletakkan bantal guling di tengah.
"Siapa bilang? Aku sudah selesai kok. Lagian aku ingin memeluk istriku juga," kata Alfito yang membuat Fania menelan salivanya dengan susah payah. Seketika Fania menjadi tegang.
Alfito pun merapikan semua barang-barangnya dan segera berjalan menghampiri Fania.
"Tu tu tu tu," gumamnya. Fania sangat tak karuan, dia menelan ludah berkali-kali dalam hitungan menit. Memejamkan mata dengan sangat rapat dan menekan dada yang terus berguncang. Detak jantungnya semakin keras, aliran darahnya mulai naik.
Lebih parah lagi ketika dia merasa kalau Alfito sudah naik ke atas ranjang. Terasa kasur itu bergerak. Fania semakin gugup, dia bangun dan membenarkan hijabnya.
"Masa sama suami pakai hijab? Ayolah lepas." Alfito mendekapnya dari belakang. Fania sedikit menghindar namun dia ingat tutur kata Diana. Fania tersenyum walau batinnya menjerit.
"Mas ... aku gugup," ujar Fania dengan menolak halus sambil menurunkan tangan Alfito yang berada di lengannya. Kedua lengan kekar itu semakin mendekap, bahkan hembusan napas Alfito pun membuat Fania merinding setengah mati.
"Mas ...." Fania menghindar saat Alfito membuka hijabnya. Alfito berhasil melepaskan hijab sang istri, dia akan mendaratkan bibirnya di leher jenjang sang istri.
"Au ...." Alfito menekan perutnya yang nyeri.
'Yes, Alhamdulillah pasti perutnya sakit.' Fania bersyukur dalam hati. "Sabarlah Mas, malam kita masih panjang ... oh ya. Aku lupa belum ganti perban," ujar Fania bangun sambil mengikat rambutnya.
"Hehehe. Sejak kapan kamu kribo?" tanya Alfito karena dia tahunya Anaya yang berambut lurus.
"Apa ... tidak suka rambutku kribo?" tanya Fania dengan wajah kesal dia lalu duduk. Alfito sangat suka memandangi wajah bidadarinya.
"Kan, setahuku rambutmu lurus. Kribo juga cantik, semua ciptaan Allah cantik kok," kata Alfito sambil tersenyum.
"Jangan menatapku terus," ucap Fania yang lalu menatap tajam. Fania merasa sangat canggung ketika hendak menaikan kaos Alfito.
Alfito malah menumpangkan dagunya ke atas telepak tangan. Dia benar-benar menikmati pemandangan indah luar biasa yang berada di depannya. Fania memutar pandangannya karena malas.
"Lebih baik aku tidur, kalau Mas terus menatapku seperti itu," ancam wanita cantik itu.
"Wanita yang enak dipandang suaminya akan mendapat pahala. Jadi bersyukurlah, karena dengan aku yang tidak henti memandangmu. Kamu akan mendapat pahala." Alfito meraih tangan istrinya lalu menciumnya.
Fania merasa tidak enak suaminya mencium punggung tangannya, dia balik mencium punggung tangan Alfito.
"Ah ... ini pun sudah menjadi obat. Tidak perlu ganti perban, asal kamu tidur dalam pelukanku."
"Stop! Stop!" Fania yang sangat tidak suka dengan gombalan Alfito segera melepaskan baju Alfito.
"Ah ... istriku ternyata ganas dan berani, lagi ... ke bawah dikit. Aku suka kamu agresif." Alfito tidak henti menggoda istrinya. Fania sangat muak namun dia terus berpura-pura.
Fania menatap tajam membuat Alfito terbungkam. Alfito salah tingkah, Fania segera mengganti perban. Saat melingkarkan perban Fania terpaksa mencondongkan wajahnya agar pas. Alfito menikmati hembusan napas yang seperti tertahan dari sang istri.
"Kenapa tidak bernapas normal? Apa sangat gugup?" tanya Alfito sambil memainkan rambut kriting sang istri. Pria tampan ini hendak mencium pipi istrinya. Namun dia memahami Fania yang kurang nyaman. Dia sama sekali tidak memaksa karena menghargai sang istri.
Fania sudah menyelesaikan tugasnya. Dia menghindari tatapan Alfito.
"Aku pernah trauma. Kamu wanita yang berhasil membuat aku percaya dan berani mencintai. Terima kasih ya Allah Engkau menciptakan dia untuk menjadi tulang rusukku," ucap Alfito sambil menatap langit-langit.
'Tulang rusuk? Apa mungkin tulang rusuk tertukar?' batin Fania sambil mengembalikan kotak obat. 'Bagaimana pun yang dimaksud dia adalah Anaya. Bukan aku,' batin Fania yang lalu gundah.
'Jika aku tidur di sofa pasti dia sangat curiga. Anaya ... sikapmu dulu bagaimana?' batin Fania yang lalu minum satu gelas air, dan langsung habis.
"Jangan seperti itu. Aku hanya ingin kamu tidur di sampingku. Aku akan menunggumu siap," kata Alfito yang lalu memakai kaosnya lagi.
Fania yang tak karuan kembali ke ranjang. Fania berbaring dan Alfito bermain dengan rambut istrinya yang kriting.
Bersambung.