webnovel

Bagian Kedua

Aku menghela nafas dan kemudian membasuh mukaku dengan air keran dan melakukan wudhu hendak melakukan ibadah, gue selama ini tidak pernah meninggalkan ini karena pesan almarhum ayah dan juga ibu. Setelah selesai aku menelpon ibu, mba dan keluargaku yang lain apa mereka sudah makan atau belum. Mereka bisa memesan makanan dari kamar hotel.

Pernikahan ini bisa dibilang mendadak bagi aku dan keluarga besar dari pertama permintaan bos sampai sekarang kurang lebih tiga bulan ! seminggu setelah Mariana setuju, aku minta ijin untuk pulang kampung kepada pak Joko dan langsung di perbolehkan. Sudah 5 tahun aku merantau ke Jakarta meninggalkan kampung halaman.

Desa Mekar Sari terdapat di kaki gunung Gede, tapi sayangnya rumahku, sudah tidak ada. Karena sudah di jual untuk biaya kuliah tahunan sisanya adalah beasiswa hanya untuk 2 tahun pertama saja. Ternyata hal itu tidak bisa di perpanjang lagi. Bukannya tidak bisa hemat atau berpangku tangan dengan keadaan ini, aku sudah berupaya bekerja sambilan apapun itu untuk menutupi biaya kuliah walau negeri tetap saja biayanya mahal dan untuk hal yang lainnya bagi orang seperti aku. Aku bertekad untuk mengembalikan hal itu terhadap kedua orang tua suatu hari nanti.

Sejak Ayah meninggal satu tahun sebelum, aku lulus kuliah dan di wisuda karana kena serangan jantung, dan itu mengejutkan bagiku, karena ayah selalu sehat dan kuat walau harus diakui beliau suka merokok dan minum kopi, baik sebelum berangkat ke sawah maupun pulang dari sana. Justru ibu yang beberapa kali sakit karena darah tinggi.

Aku telah tiba di rumah mba Dewi, yang untungnya kondisinya cukup baik sekarang ini perekonomiannya, setelah mulai berdagang sayuran di pasar dan mempunyai kios sendiri. Sehingga bisa menampung ibu dan adikku di rumahnya, aku bukannya tak pernah mengirim uang ke rumah, malah setiap bulan aku sisihkan dari gaji buat ibu dan adikku untuk bersekolah.

"Assallamualikum !" Aku mengucapkan salam.

"Waalaikum sallam !" ada jawaban dari dalam ketika dibuka ternyata ibu.

"Bu !" Aku menyentuh tangan ibu untuk mencium tangannya.

"Mario !" ucapnya kaget dengan kedatanganku. Tak lama mba Dewi dan Rani pun keluar mereka sama terkejutnya.

Akhirnya, aku ceritakan alasan pulang ke rumah, kembali mereka terkejut tak percaya dengan semuanya.

"Kok mendadak gitu Mario ?" tanya ibu heran.

"Iya, apa lagi yang kamu akan di lamar itu adalah putri dari bos sendiri !" mba Dewi menatapku sambil menambahkan. aku terdiam, apa harus diceritakan juga tentang semuanya ?

Aku menceritakannya hanya sekilas saja, karena perjanjian ini rahasia antara aku bersama bos tak boleh ada boleh yang tahu.

Akhirnya dengan berat hati ibu dan mba pun menerima dan menghubungi paman adik dari ibu yang bersedia menjadi saksi menggantikan almarhum ayah. Dari situ sebulan kemudian lamaran ke rumah bos hanya diterima keluarga besarnya saja yang menerima aku dan keluarga sekaligus pertunangan di saat yang sama, setelah itu tinggal persiapan pernikahan yang semua di lalukan oleh pihak mertua alias si bos sendiri.

-----------------

Ponselku pun berdering ternyata itu dari bos aku sendiri, dia bertanya tentang keadaanku sekarang ini.

"Iya, pak dia ada di kamarnya sendiri !" jawabku. Perjanjian dengan Mariana, aku pun memutuskam untuk memberitahu kepada bos, papanya sendiri dan dia pun menyetujui semuanya dan aku hanya bisa menerima saja.

Setelah itu pak Joko menutup pembicaraan, aku pun mengambil nafas dan kemudian menuju telpon kamar untuk menghubungi Mariana, walau aku sudah tahu jawaban apa yang diberikan.

"Hallo ..."

"Apaan sih, kan gue udah bilang ! jangan ganggu gue !

ngerti !" ucapnya marah dan ketus.

"Engga, saya ..."

"Udah, ah ! fuck !" dia memaki dan menutup telpon, aku hanya menggeleng kepala. Aku tahu tingkat pendidikan sama dia tak jauh berbeda, hanya dia lulusan luar negeri dan aku hanya lulusan dalam negeri.

Aku memutuskan berbaring untuk istirahat tak memikirkan apapun, sorenya aku bangun dan mandi, setelah itu melakukan ibadah dan mendapat telpon untuk makan malam bersama. Aku pun menelpon keluarga dan meminta mereka pergi duluan, sementara itu aku akan ke kamar Mariana untuk berakting sebagai suami istri yang bahagia karena sudah sah sebagai suami istri. Aku hanya memakai kemeja biasa.

Kamarnya berbeda lantai denganku, dia di suit room mewah sedang aku di kamar biasa. Suit ini memang di peruntukan untuk pasangan baru menikah dengan fasilitas lengkap. Aku pun mengetuk pintu, karena tadi di telpon tidak menyahut. Tak lama pintu pun di buka, dia sudah siap dengan memakai pakaian seperti mau ke pesta padahal hanya untuk makan malam.

"Maaf ... " dia tak bicara sepatah kata pun langsung pergi begitu saja, sementara dia berjalan di depanku, sedang aku membuntutinya dibelakang mengikuti, bagai pembantu saja bukan suami.

Kami naik lift dengan berjarak seperti orang lain, tapi secara mengejutkan ketika pintu lift terbuka sampai di tempat tujuan dengan sigap dia merangkulkan tangannya ke lenganku, bau harum menyeruak hidungku entah itu sabun atau parfum mahal miliknya, senyumnya mengembang. Pandainya dia berakting bagai aktris peraih oscar. Kami berjalan mesra cocok bagai suami istri. Ketika melewati kaca terlihat jelas status sosial kita berdua terlihat jelas dari cara berpakaian.

Ada 3 meja, dua untuk keluarga besar dan teman besan, satunya untuk keluargaku. Kami berpisah meja bagai bumi dan langit. Mereka asyik mengobrol sendiri sedangkan akh berusaha tersenyum melihat kelakuanku dan dari keluargaku melihat hal ini cukup mengejutkan seperti ini. Makan malam dilakukan dengan prasmanan, dimulai dengan keluarga besar pak Joko dilanjutkan dengan keluargaku.

Kami makan dengan hati-hati dan sopan, aku tahu banyak yang ingin ditanyakan oleh keluarga besar terhadap gue. Tapi mereka hanya terdiam.

"Cie, yang sudah menikah! bagaimana perasaannya ?" tanya teman dari Mariana yang tergabung arisan sosialitanya, yang di undang secara khusus untuk makan malam kali ini.

"Biasa aja ah !" jawab Mariana singkat.

"Mau bulan madu, kemana nih !" kulik yang lainnya.

"Ke Bali aja yang dekat, hanya dua hari! soalnya gue sibuk !" dengan acuhnya, semua tahu pertanyaan itu hanya basa basi belaka.

Setelah itu obrolan beralih ke yang lain, sedang aku berusaha membuat keluargaku terlihat bahagia.

"Ayo, paman, bibi dan lainnya tambah makanannya masih banyak kok !" ujarku sambil tersenyum bahagia padahal itu hanya akting.

"Sudah cukup Mario !" jawab paman seperti menyadari.

"Ada kue dan es krim loh ! Dodi mau enggak ?" Aku menawarkan sesuatu kepada putra dari paman dan dia pun mengangguk, aku pun mengantarnya untuk mengambil es.

"Mom, aku mau es krim !" teriak seorang anak kecil dari pihak keluarga besar besan yang tak kuketahui namanya siapa, kecuali keluarga inti.

"Ambil saja sendiri !" tungkas seorang perempuan, si anak cemberut. Aku pun datang dan memberikah satu untuknya yang sebenarnya buatku, anak itu menatapku dan kemudian tersenyum. Sedang aku kemudian duduk di meja.

"Rio, ayo kita ambil es krim !" ujar perempuan itu sambil mengambil gelas dari tangan anak lelaki itu dan menarik tangannya untuk pergi, sementara anak lelaki itu hanya bengong tidak mengerti, sedang akh tahu itu penolakan kasar dari keluarga pak Joko. Ternyata bukan hanya putrinya yang bersikap seperti itu tapi keluarga yang lain menganggap aku dipandang sebelah mata.

Aku melihat sorot mata sedih dari keluarga besar, yang hanya terdiam ...

Bersambung ....