Setelah makan malam selesai, gue mengantar keluarga ke kamar masing-masing. Tanpa di duga mba Dewi kepingin mengobrol dengan gue.
"Ada apa mba ?" tanya gue ketika sudah berada di dalam kamar.
"Ada apa sebenarnya ini Mario ! kok ini seperti pernikahan sandiwara ! mba engga bisa kamu diperlakukan seperti itu !" dia terlihat marah atas sikap keluarga besan yang seperti itu.
"Sabar mba, bu aku minta maaf ! sudah aku bilang, ini perjodohan yang dilakukan oleh bos aku ! semuanya adalah rencana beliau dan aku tak kuasa menolaknya !" jelas gue.
"Tapi engga bisa begitu dong! itu penghinaan terhadap keluarga kita! oke harus di akui mereka kaya kita apa atuh! tapi di saat ini seperti ini harusnya sedikit menghargai kamu dan keluarga kita !" mba Dewi terlihat makin marah dan tak terima.
"Sudahlah Dewi, ini semua keputusan Mario sepenuhnya ! ibu tahu, tapi kita tak bisa berbuat apa-apa !" jawab ibu, yang selalu sabar menghadapi setiap masalah.
"Sampai kapan hal ini terjadi ?" tanya ibu sambil menatap gue sepertinya sudah tahu apa yang terjadi.
"Lima tahun !" jawab gue singkat. Ibu menghela nafas.
"Ya sudah, semua ini menjadi tanggung jawabmu sendiri !" akhirnya beliau menyerah.
"Bu tolong doakan Mario dan minta restu sampai saatnya tiba !" gue bersimpuh di paha ibu sambil memegang tangannya. Gue mendengar dia menangis.
"Iya Mario ! ibu akan doakan kamu nak !" dia mengusap rambut gue. Gue hanya bisa mengangguk.
Gue pun pergi sambil mengepalkan tangan, gue engga bisa melihat nyokap menangis yang tersakiti, tapi gue sudah menandatangi kontrak perjanjian dengan pak Joko dan tak bisa di batalkan karena poin pertama sudah terjadi yaitu menjodohkan gue dengan putrinya Mariana. Masih ada beberapa point lagi dan itu semakin berat baik buat diri gue dan juga ... sudahlah, gue hanya menarik nafas dan berusaha pasrah ...
--------------------
Keesokan harinya, resepsi pernikahan dilakukan dengan adat dari Solo karena keluarga besar bos memang dari sana. Sedangkan akad nikah tradisional dari Jawa Barat asal daerah gue.
Para tamu undangan lebih banyak dari sebelumnya, gue dirias selama lebih dari 5 jam, penata rias agak ngedumel karena gue kurang olah raga, sehingga tampilan gue kurang macho atau gagah. Tapi akhirnya maklum karena semua serba cepat dan mendadak. Sementara Mariana tak perlu diragukan lagi dengan riasan pengantin jawa dia menjelma menjadi seorang ratu bukan lagi putri kerajaan.
Ketika melangkah menuju pelaminan semua mata tertuju kepada mempelai wanita bukan gue, dia seperti menikah dengan abdi dalem bukan pangeran atau raja. Keluarga gue terlihat pasrah dan berusaha mengikuti prosesi pernikahan ini. Gue jadi membayangkan, sayang sekali si bos membuang uang sebanyak ini hanya demi ...
Setelah duduk di pelaminan ada beberapa prosesi adat dan setelah itu di akhiri ucapan selamat dari para undangan, gue sudah cukup kuat dengan hal ini. Kebanyakan menyapa Mariana sedang gue hanya selewat saja seperti bayangan yang tak perlu di ucapkan selamat oleh mereka. Memang tidak semua ada saja orang yang mengucap selamat tapi bisa dihitung dengan jari.
Itu di tambah dengan sesi pemotretan oleh keluarga, teman dan kerabat lainnya. Dan biasanya disisi pengantin laki-laki keluarga gue tapi kali ini terbalik pak Joko dan istrinya, sedang di samping Mariana nyokap dan paman gue. Resepsi dimulai dari pukul 19.00 dan berakhir 22.00 malam. Setelah itu makan-makan dan istirahat.
"Mariana, malam ini kalian tidur berdua !" perintah pak Joko kepada putrinya, gue hanya bisa terdiam, dari sorot mata perempuan itu ada protes, tapi tatapan tajam papanya membuatnya tak bisa apa-apa.
Gue pun menurut saja, dan mengambil beberapa pakaian untuk menginap di kamar Mariana, ketika tiba di depan pintu gue ketuk tak lama dia membuka pintu hanya menggunakan kimono tidur sedang rambutnya masih berantakan bekas hiasan pernikahan.
"Lo tidur di sofa !" ujarnya ketus dan menuju kamar dan langsung mengunci pintu. Gue hanya bisa menatap, untunglah ternyata ada dua kamar mandi walau ini hanya sebatas shower dan toilet saja dan satu wastafel. Suit room ada ruang tamu dan makannya sendiri berbeda dengan kamar gue.
Gue menatap jendela di ruang tamu yang memperlihatkan pemandangan pencakar langit ibu kota yang tampak indah, Jakarta memang menarik banyak pendatang untuk mengadu nasib, semua bisa terjadi disini, sukses atau tidak. Gue dianggap beruntung karena bisa masuk perusahaan besar tapi kini hidup gue bagai di ujung tanduk tanpa bisa apapun melangkah ke depan atau kebelakang sama bahayanya.
Gue mengganti baju dan kembali melakukan ibadah yang tertuda, kini gue merasa lebih tenang dan bisa menjalani hidup yang mungkin akan semakin berat menyandang suami dann menantu dari pengusaha kaya dan terkenal. Ketika mendengar gue akan menikah pun gosip miring sudah beredar di area kantor termasuk di bagian pekerjaan gue, ada yang memuji tak sedikit menyindir status gue sebagai cowok matre alias hanya mengejar uang semata. Tapi sungguh itu tidak benar karena setelah menikah gue tetap akan bekerja di bagian yang dulu, tidak serta merta langsung mendapat posisi mentereng karena sudah menikahi putrinya.
----------------
Keesokan harinya gue udah bangun pagi-pagi seperti biasa menjalankan ibadah dan memutuskan berbaring kembali, dan malah ketiduran.
"Hei pemalas !" teriak Mariana, gue pun bangun dan dia sedang duduk di kursi meja makan dengan sarapan pagi di atasnya.
"Lo mandi, sebentar lagi kita berangkat !" ucapnya tak acuh dan memberi perintah seperti kepada pegawainya.
"Memang mau kemana non ?" tanya gue, tak berani memanggil dia dengan nama walau sudah status suami istri.
"Ya ke Bali lah ! lo itu pura-pura idiot atau memang bodoh !" ujarnya sinis, gue hanya mengangguk dan menuju kamar mandi untuk mandi setelah itu...
"Lo ambil koper dan kembali ke sini dalam waktu 30 menit !" perintahnya tanpa mengajak gue sarapan dahulu, lagi-lagi gue hanya bisa mengangguk dan kemudian pergi ke kamar gue.
Untungnya ketika di kamar sudah ada sarapan pagi entah siapa yang memesan, dan gue termasuk orang yang suka kerapihan tidak suka berantakan, sehingga tak perlu waktu lama gue sudah membereskan semua pakaian ke dalam koper. Sambil sarapan sebentar gue menelpon keluarga apa sudah sarapan atau belum, dan sekalian pamitan untuk bulan madu ke Bali walau itu hanya formalitas dan keluarga gue sudah tahu hanya diam saja.
Tepat 30 menit gue sudah berada di kamar Mariana lagi, dan disambut dengan omelan darinya lelet dan lama, gue hanya minta maaf. Gue memandang sekilas ke kamarnya ternyata masih berantakan dan kopernya masih terbuka, bahkan yang membuat gue jengkel dalam hati dia masih menggunakan kimono yang tadi belum berganti baju.
Butuh 2 jam untuk mandi dan berdandan, sedangkan yang membereskan bajunya ada seorang pembantu rumah yang sengaja datang ke hotel, gue hanya duduk dan menonton tv menunggu dia selesai. Jadi begitu ya, seorang perempuan yang sudah cantik tidak pede dan harus merawat dirinya selama dua jam hanya untuk tampil sempurna.
Sedikit demi sedikit akhirnya gue mengetahui pribadi Mariana sesungguhnya dan juga keluarganya yang lain ... termasuk pak Joko Subroto bos gue sendiri ...
Bersambung ....