webnovel

Cinta ini tumbuh demi kalian.

" Pergilah. Sebab aku tak pernah memaksamu untuk tetap di sisiku." Kata Lita sambil menunduk dan menyeka air matanya yang jatuh bebas. "Baik, jika itu maumu. Kamu pikir siapa kamu bisa berkata seperti itu kepadaku hah!" Bentak Robby sambil meremas jasnya yang sedang di genggamnya. "Susah payah aku datang kesini, hanya untuk mendengar penilaian sepihakmu ini?" "Bersenang senanglah dengan opinimu sendiri!" Kata Robby dengan nada marah lalu pergi keluar kamar rawat. Pertengkaran itu selalu terjadi, Lita sudah tidak tau lagi apa yang harus di lakukannya untuk saat ini. Semua hanya demi ibunya demi menyambung nyawa ibunya hingga kita rela melakukan semua kepalsuan dalam pernikahan yang tak pernah diharapkan. Lita hanya bisa terbaring lemah dan menangis pilu seorang diri. Nafasnya mulai tersengal menahan kesedihan mana kala dia mengingat statusnya sebagai istri sah Robby Alfiansyah. Robby seorang CEO kaya dan ketampanan yang paripurna. Sedang Lita hanya gadis biasa yang hidup serba pas Pasan. Tidak ada yang istimewa dari dalam diri Lita Kartika. Lita hanyalah anak yatim yang hanya hidup bersama dengan sang ibu yang sekarang sudah sering sakit sakitan. Tak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah, membuat Lita membulatkan tekad untuk bertahan sekuat mungkin hingga nafas terakhir demi keutuhan rumah tangganya demi kebahagiaan putra putri kembarnya.

mei_30 · Adolescente
Classificações insuficientes
46 Chs

39. syuting hari 1 pt 2

"Percayalah, jodoh tidak akan salah. Jika kamu baik maka akan bertemu yang baik juga. Jadi perbaiki diri kalian dahulu ok!" Kata Lita dengan senyum ramahnya.

"Wah, apa maksudnya ini. Perasaan dulu Robby juga enggak baik. Tapi kok dapat yang baik, gimana tuh?" Tanya Rian yang mulai semakin kritis.

"Siapa hakim terbaik? Siapa pemilik jiwa kita?" Tanya Lita kepada Rian dan Devan yang berada di hadapannya.

"Allah SWT." Jawab mereka bersamaan.

"Good! Kadang, apa yang menurut kalian baik itu sejatinya belum tentu baik. Kalian melihat dia buruk, tapi pemilik jiwanya tau jika dia sesungguhnya memiliki jiwa yang baik." Jawab Lita sambil mengusap usap lembut lengan Robby.

Robby yang mendengarkan ucapan istrinya lantas memandang Lita lekat dan tersenyum haru melihat kedewasaan istrinya.

*Kedewasaannya melebihi apa yang aku kira.* Batin Robby bahagia menahan rasa haru karena ucapan istrinya.

Rian dan Devan mengangguk perlahan.

"Kan itulah arti pepatah, jangan menilai buku dari sampulnya. Sepandai pandainya kita manusia menilai tidak akan pernah tau jiwa sesungguhnya orang tersebut."

"Pasrahkan pada Tuhan, berubah menjadi lebih baik. Minta untuk di berikan pendamping yang baik." Imbuh Lita dengan suara lembutnya.

"By, kan aku jadi tambah pengen cari yang seperti ini." Kata Devan dengan tatapan mengiba.

"Usaha dulu sana!" jawab Robby cuek.

"Kamu harus berterimakasih kepada kakek by. " Kata Rian mengingatkan Robby.

*Iya, kakek. Perasaan ini bisa hadir semua juga karena campur tangan kakek. Cinta ini tumbuh demi kalian kakek dan ibu.* Batin Lita sambil tersenyum simpul.

Perbincangan hangat mereka berlangsung sangat lama. Mereka saling bertukar pengalaman dan cerita di masa lalu. Tapi yang paling menarik adalah cerita kehidupan Lita. Kehidupan yang berliku dan penuh luka. Sesekali Robby mengusap lembut punggung istrinya. Lita hanya tersenyum simpul membalas tatapan mata suaminya.

Entah hingga pukul berapa Rian dan Devan pulang, yang jelas saat itu Lita sudah lelap dan tertidur di kamar. Sementara Robby masih asik berbagi cerita dengan sahabat sahabat baiknya.

~~~~~

"Bisa kita mulai sekarang mbak syutingnya?" tanya Dimas dengan kikuknya.

"Oh, iya. Tapi kita belum mandi." Jawab Lita polos.

"Malah bagus, kebetulan ini kita sesuaikan dengan tema pengantin baru. Ya sesuai dengan kegiatan kalian di pagi hari saja. Kalian beraktivitas seperti biasa, tetapi nanti di bagian terakhir kita melakukan sesi wawancara singkat. Mengulas tentang pengalaman baru kalian sebagai pasangan." Kata Dimas menjelaskan.

"Oh iya iya, saya paham." Pangkas Robby begitu saja.

"Bagus, mari kita mulai. Kru kami sudah siap." Kata Dimas.

"Iya, baik kita mulai."

Mereka melakukan pengambilan gambar se natural mungkin. Bermula dari bangun pagi bersama dan kemudian berlanjut dengan sarapan bersama. Dimas memotong pengambilan gambar karena mereka terkesan kaku.

"Mbak, pak. Jangan kaku ya, se natural mungkin seperti kalian biasa saja saat tidak ada kamera." Terang Dimas.

*Ya, kita memang seperti ini. Mau bagaimana lagi kita juga baru dekat beberapa hari ini.* Batin Lita sambil melirik Robby.

Mereka mulai merekam lagi, dan lagi lagi terlihat sangat kaku di monitor. Sampai siang hari keduanya belum juga berakting dengan alami. Beberapa kali mereka malah mematung dan bingung hendak berbuat apa. Ini karena mereka memang jarang sekali meluangkan waktu satu sama lain. Sekalinya ada waktu malah karena salah satu diantara mereka jatuh sakit.

"Break, break! istirahat dulu. Makan siang dulu kita. Dimas, kamu beri pengarahan mereka. Tim, ayo kita istirahat!" Seru pak Eko sambil mengajak dan menggiring timnya untuk makan siang.

Dimas yang paling terakhir dan sengaja di tinggal untuk memberikan arahan kepada pasangan aku itu. Sebelum Dimas pergi, dirinya sengaja tidak mematikan beberapa kamera yang ada di ruangan itu. Dimas pergi juga karena ingin mengisi daya. Perutnya sudah sangat lapar siang ini.

Setelah kepergian para kru, tinggalah mereka berdua di dalam apartemen.

"Kamu mengantuk sayang?" Tanya Robby sambil menarik kursi di meja makan dan duduk di samping Lita.

"Iya, mas. Mana mereka semalam pulang sangat larut. Jam berapa temanmu pulang semalam mas?" Tanya Lita sambil melipat tangannya dia tas meja dan menyangga dagu dengan satu tangannya.

"Sekitar jam 2 dini hari sih. Itu si Rian baru putus, makanya dia heboh enggak jelas." Kata Robby.

"Mas."

"Iya sayang" Jawab Robby dengan manis sambil menatap Lita lekat.

"Apa, tadi? aku ga denger."

"Sayang," Jawab Robby lembut.

"Sayangku, i love you!" Kata Lita lembut.

"I love you too, sayang." Jawab Robby sambil mengecup bibir Lita.

"Energiku sudah full sekarang." Kata Lita setelah mendapat ciuman hangat dari Robby.

"Mas mau makan apa?" Tanya Lita kepada suaminya.

"Apa saja, jika kamu yang memasak aku akan memakannya." Kata Robby sambil mengusap usap lembut rambut Lita dan sesekali menyelipkan rambut Lita di belakang telinga.

"Aku jadi ingat dahulu, waktu kamu bilang. Aku tidak akan menyentuh masakanmu! Rasanya, ah.... mantap!" Ledek Lita sambil tersenyum simpul.

"Sayang, sudahlah. Itu dulu, sumpah aku malu mengingat hal itu. Harus bagaimana lagi aku menebusnya?" Kata Robby sambil menangkup wajah Lita.

"Buatkan aku makanan yang enak, yang kamu bisa. Mau telur dadar atau mi goreng, aku tidak perduli. Aku akan menunggunya di kamar." Kata Lita menantang Robby.

"Gampang sekali, beri aku satu ciuman. Maka aku akan segera membuatnya." Pinta Robby manja.

Lita melirik dan melihat ada dua kamera yang masih menyala di sudut dapur dan ruang tamu. Kedua kamera itu bisa menangkap gambar dari segala sisi.

"Kita ke kamar sekarang!" Bisik Lita di telinga Robby.

Lita berdiri lalu menarik tangan suaminya dan mereka memasuki kamar. Robby terkesan bingung dan hanya menurut saja.

"Kenapa ke kamar? Eits, jangan sekarang ya!" Kata Robby yang melihat Lita menutup pintu kamar.

"Ih, kamu mikirin apa sih mas. Di sana kameranya masih ada beberapa yang menyala. Makanya aku bawa kamu ke sini. Malu kan kalau mau ciuman tapi di pantau kamera." Jawab Lita yang kini tengah merangkul leher Robby dengan kedua tangannya yang melingkar.

"Iyakah? aku sama sekali tidak memperhatikan."

" Malu? Tadi sepertinya kamu sudah mendapat ciuman dan tidak masalah. Ah tapi gampang lah itu, aku bisa atur. Sekarang mana ciumanku?" Kata Robby yang mulai teringat akan ciuman yang di janjikan oleh Lita.

Lita tersenyum manis lalu mulai mencium lembut bibir suaminya dengan dalam dan hangat. Seperti kerinduan orang lama tidak bertemu, keduanya saling melumat dan beradu mesra.

"Sudah, aku lapar mas. Cepat ya, aku tunggu." Kata Lita lirih di telinga Robby.

Robby terkekeh geli sekaligus senang dengan perlakuan istimewa dari istrinya. Robby berjalan dengan sedikit pincang. Lita yang melihatnya lalu tidak tega dan memapah Robby lagi.

"Kita masak bersama ya mas, aku sudah melupakan yang lalu." Kata Lita dengan wajah bahagia.

Mereka berdua masak bersama, semua kegiatan mereka terpantau lancar dari kamera. Hanya saat di dalam kamar saja yang tidak terekam. Sampai mi goreng itu matang dan mereka makan bersama semuanya dengan epic terekam kamera.

Makan siang selesai.

Pak Eko mengeluhkan tentang kekompakan pengantin baru itu. Mereka sama sekali tidak mencerminkan seperti pasangan yang menikah karena cinta. Hal itu juga yang di keluhkannya dengan Dimas.

"Bagaimana ini dim, Kamu sebenarnya mengirim email kepada mereka atau tidak?" Tanya pak Eko sambil berjalan memasuki area apartemen.

"Su sudah pak, Tapi sepertinya mereka tidak membacanya." Jawab Dimas dengan gugup.

"Hah, sudah kalau ini hari ini kita tidak dapat hasil apa apa. Gaji kalian semua saya potong!" Seru pak Eko yang berada di depan dari rombongan kru.

Semua para kru terkejut dan melongok ke arah pak Eko.

"Pak, jangan dong pak. saya belum bayar uang sewa rumah." Rengek Dimas memelas.

"Makanya, yang becus kalau kerja!" Oceh pak Eko ketus.

"Pak, tadi saya sengaja meninggalkan kamera untuk tetap menyala. Karena saya pikir mereka adalah pasangan yang pemalu di depan umum. Jadi, saya tinggalkan kamera saja agar mereka bisa bersikap lebih alami." Ucap Dimas lirih sambil mengikuti langkah kaki pak Eko.

"Hem, tumben kamu punya ide cemerlang!" Ujar pak Eko sambil berbalik dan tersenyum simpul.

Dimas menyeringai lebar. Mereka berjalan bersama dan berhenti di depan pintu unit Robby. Terdengar perbincangan yang samar samar menghawatirkan dari balik pintu. Dimas dan pak Eko saling melempar pandangan aneh.

"Mas, pelan pelan masukinnya. Aduh, nanti lecet."

"Iya, ini pelan sayang. Abis gimana dong, ga ketahan."

"Tuh, kan lecet!"

"Ah, ga apa apa cuman dikit ini."