Sidang masih berlangsung. Setelah mendengar perkataan pembuka oleh pengacara penuntut. Kali ini paparan tuntutan yang akan disampaikan.
"Saya tidak akan memperpanjang kata pengantar saya. Kami menuntut Candra dengan pasal berlapis.
Pertama pasal 290 KUHP tentang pelecehan terhadap Putri yang terjadi pada 25 Maret lalu dengan tuntutan 1 tahun penjara.
Kedua pasal 170 KUHP tentang perbuatan tindak pidana pengeroyokan secara terang-terangan dengan tuntutan 5 tahun 6 bulan penjara.
Ketiga pasal 368 ayat (1) KUHP tentang kekerasan dan perbuatan yang tidak menyenangkan "Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dengan pidana penjara paling lama 9 tahun penjara.
Oleh karena itu kami menuntut Candra dengan hukuman seumur hidup"
Candra tidak mampu menanggapi, bahkan otaknya tiba-tiba kosong mendengar penjelasan pengacara penuntut.
Sidang berjalan alot, mulai dari lempar barang bukti. Bahkan sampai perang argumen. Terlihat jelas pengacara dipihak Candra mulai kewalahan.
"Kita punya saksi kunci yang akan menguatkan tuntutan kami, mohon izin untuk menghadirkan saksi pak hakim", pengacara di pihak pak Lukman berusaha keras agar Candra dipenjara dalam waktu lama. Atau... Pilihan lain pak Wiratama terpaksa turun menemani putranya di penjara.
"Silakan", pak hakim memberikan izin.
Dua orang yang selama ini mati-matian dicari oleh pak Wiratama kesegala penjuru arah mata angin, akan tetapi tidak menemukan jejak mereka sedikitpun.
Anton dan Tony duduk di bangku saksi. Pak Wiratama mulai ketar-ketir merasa badannya kaku disiram balok es.
Pengacara pihak pak Lukman mulai maju, setelah pengambilan sumpah Anton dan Tony. Pengacara itu sengaja berjalan dengan perlahan membaca reaksi pak Wiratama yang mulai pucat.
"Tolong ceritakan kepada kami apa yang anda berdua lakukan Pada tanggal 26...?", pengacara itu langsung menekankan pertanyaannya tepat pada sasaran.
"Setelah mendapat telfon jam 2 siang, kita langsung meluncur kerumah Cakya", Anton bicara perlahan.
"Ada urusan apa anda kerumah Cakya...?", pengacara itu mengejar jawaban.
"Kita mendapat perintah untuk menghabisi Cakya", Tony kali ini yang bicara.
Pak Wiratama semakin gelisah mendengar pengakuan Anton dan Tony. Dia tidak bisa duduk dengan tenang lagi, seolah kursinya telah diberi bara api.
"Mengapa anda diminta untuk menghabisi Cakya...?", pengacara pak Lukman kembali mengejar jawaban.
"Dia merupakan saksi kunci kasus pelecehan seksual oleh Candra dan teman-temannya sehari sebelumnya. Terhadap Putri anak SMA yang baru pulang sekolah. Sekaligus, motor Cakya juga dirusak oleh Candra dan teman-temannya pada saat kejadian itu...", Anton angkat bicara.
"Apakah orang yang memberi perintah untuk menghabisi Cakya ada disini...?", pengacara kembali memberikan pertanyaan yang semakin menjurus.
"Ada", Anton dan Tony menjawab hampir bersamaan.
"Bisa anda tunjukkan kepada kita semua...?", pengacara pak Lukman kembali memberi perintah.
Anton dan Tony langsung mengarahkan telunjuknya kepada Candra. Pak Wiratama langsung memijit kepalanya yang terasa pening.
"Keberatan pak hakim, saya bahkan tidak mengenal mereka berdua...!!!", Candra berteriak histeris.
"Mohon untuk tenang saudara terdakwa...!!!", hakim memberi perintah.
Pengacara pihak pak Lukman melemparkan senyum penuh makna kearah pak Wiratama. Pak Wiratama tidak merespon tatapan pengacara pak Lukman.
"Karena telah masuk waktu shalat. Sidang kita tunda sampai jam 13.00 wib", hakim mengetuk palunya sebagai isyarat untuk peserta sidang meninggalkan ruang sidang.
Pak Wiratama meminta izin untuk memakai salah satu ruangan kosong, dengan menggunakan kekuasaannya, pak Wiratama diarahkan kepantri.
Pak Wiratama duduk berhadapan dengan pengacara kepercayaannya. Sebelum mulai berbicara, seorang OB masuk meletakkan nampan yang berisi gelas kotor.
"Saya minta maaf, apa bisa saya meminjam ruangan anda selama 10 menit...?", pengacara pak Wiratama bicara sambil berbisik kepada OB tersebut. Kemudian memasukkan uang Rp. 100.000-an kedalam kantong baju OB.
OB itu membungkuk sedikit memberi hormat, kemudian keluar dari ruangan pantri. OB langsung berjalan melewati Ardi, dengan memberi isyarat Ok dengan tangan kanannya. Ardi hanya mengedipkan matanya sebagai isyarat mengerti.
Ardi mendekati pak Lukman dan menyerahkan earphone, pak Lukman langsung memasukkan alat tersebut kelubang telinganya. Karena tidak menggunakan kabel, pak Lukman tidak meninggalkan kecurigaan dengan orang-orang pak Wiratama yang sedang berjaga.
***
"Bagaimana peluang kita...?", pak Wiratama bertanya langsung kepada pengacaranya tanpa mau berbasa-basi lagi.
"Berat pak", pengacara pak Wiratama mengeluh.
Pak Wiratama langsung memukul keras meja karena kesal, "Kamu dibayar untuk membebaskan Candra bagaimanapun caranya...!!!", pak Wiratama berteriak geram.
"Bukti-bukti terlalu memberatkan Candra. Ditambah Anton dan Tony malah bersaksi memberatkan Candra. Kita tidak bisa apa-apa"
"Lalu menurutmu...?"
"Kita harus korbankan Candra"
"Bagaimana bisa...?"
"Ini sulit pak, saya tidak ingin anda terseret masuk penjara bersama Candra. Kita beruntung Anton dan Tony menunjuk Candra yang memerintahkan mereka. Ini akan jauh lebih mudah buat kita"
Tidak ada tanggapan dari pak Wiratama, kepalanya pening memikirkan solusi yang tidak menampakkan diri sedari tadi.
"Waktu kita tidak banyak pak, saya butuh keputusan anda sekarang", pengacara pak Wiratama mendesak pak Wiratama.
Pak Wiratama menarik nafas berat, "Kita korbankan Candra...", pak Wiratama bicara berat.
***
Pak Lukman mengepalkan tangannya geram mendengar percakapan pak Wiratama dan pengacara melalui earphone ditelinganya.
"Ternyata anda bukan ayah yang baik", pak Lukman bergumam pelan.
"Kenapa pa...?", Devi yang ada disebelah pak Lukman menyanggah ucapan pak Lukman.
"Ah... Bukan apa-apa, kita sholat dulu. Terus makan siang, sebelum sidang dimulai lagi", pak Lukman mengalihkan topik pembicaraan.
***
Sesuai jadwal sidang kembali berlangsung pada pukul 13.00 Wib.
Kali ini Cakya yang ditanya, sebagai saksi dari kasus pelecehan Putri oleh Candra dan teman-temannya. Sekaligus tentang penyerangan Anton dan Tony yang berusaha membunuhnya.
Kemudian Devi juga mendapat giliran untuk ditanya bagaimana dia bisa ditusuk, dan harus menjalani 2 kali operasi.
Selanjutnya orang yang menusuk dan memukul Devi yang mendapat giliran, dipanggil keruang sidang dan mendapat beberapa pertanyaan.
Setelah semua bukti dan saksi di hadirkan, hakim memberikan kesempatan kepada pengacara tersangka untuk membela kliennya.
"Kami mengakui semua kejahatan klien kami", pengacara Candra langsung bicara ke intinya. Candra bahkan bengong tidak mampu bereaksi.
Hakim berdiskusi singkat dengan timnya, kemudian kembali melanjutkan sidang.
Kaki tangan pak Wiratama masing-masing harus mendekam dipenjara selama 1 tahun penjara, karena telah mencelakai Devi dan Cakya. Berikutnya giliran Candra.
"Dengan melihat bukti-bukti dan mendengar dari saksi-saksi. Maka dengan ini Candra dijatuhi hukuman penjara seumur hidup", hakim langsung mengetuk Palu, kemudian meninggalkan ruang sidang setelah menutup sidang.
Istri pak Wiratama pingsan mendengar keputusan hakim, sedangkan Pak Wiratama tidak berani untuk menatap anaknya.
"Papa, tolong Candra pa...!!! Candra g'ak mau kembali kepenjara lagi...!!! Ma... Candra takut....!!!", Candra berteriak histeris sepanjang jalan, diseret oleh penjaga rutan.
Satu persatu yang hadir diruang sidang bubar. Istri pak Wiratamapun sudah mulai sadar dan bergegas meninggalkan ruang sidang.
Sebelum masuk kedalam mobil pak Wiratama dan keluarga berpapasan dengan pak Lukman dan keluarga Cakya. Pak Wiratama langsung menarik istrinya agar berjalan lebih cepat menghindari kontak mata dengan lawannya.
"Ternyata saya salah menilai anda", pak Lukman bicara dengan makna yang lebih dalam.
Secara natural istri pak Wiratama menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menatap pak Lukman. "Maksud anda...?", istri pak Wiratama bicara bingung menagih penjelasan.
"Suami anda punya kesempatan untuk menyelamatkan Candra, saya pikir dia ayah yang menyayangi putranya. Ternyata saya salah. Saya terlalu tinggi menilai anda", pak Lukman langsung menantang pak Wiratama dengan tatapan tajam tanpa ampun.
"Anda bicara apa...? Bisa tolong jelaskan agar saya mengerti...?", istri pak Wiratama bertanya lagi.
"Sebaiknya anda tanyakan kepada suami anda yang tercinta", pak Lukman kemudian langsung meninggalkan keluarga pak Wiratama.
Dia ingin pak Wiratama menerima beban berikutnya, dia yang punya kewajiban menyelesaikan masalah yang telah dia ciptakan sendiri. Dari keputusannya mengorbankan putranya menggantikan posisinya dipenjara.