webnovel

enam belas

"Aku tidak sungguh-sungguh ingin tahu cerita itu secara detail," sela Ivan. "Tapi berapa lama kau tinggal di Kanto setelah kau membunuh gadis itu?"

"Aku rasa beberapa minggu. Lewat Natal, menginjak Januari. Aku membaca surat kabar harian lokal, semilir mendengarkan berita malam dari radio. Sebagian besar berita dihebohkan karena adanya peristiwa pembunuhan Stefa. Mendengar isak tangis dari ibunya yang terekam oleh wartawan radio itu, rasanya sedih sekali. Diberitakan setiap hari bahwa selalu ada regu pencari, dan semakin hari semakin ramai. Sementara wartawan, kru televisi mengejar mereka dari belakang. Dasar idiot. Stefa berada sekitar tiga ratus kilometer jauhnya, sedang tidur bersama para malaikat," pungkasnya sambil tertawa geli.

"Tentunya kau tidak menganggap hal itu lelucon."

"Maaf, Pendeta."

"Lalu bagaimana setelah kau mendengar penangkapan Furuya Satoru atas dugaan keterlibatannya dalam kasus itu?"

"Ada sebuah kedai kecil yang jorok di dekat motel. Entah orang lain mungkin masih menyebutnya restoran. Aku setiap pagi suka ngopi di sana. Suatu waktu aku mendengar seseorang sedang membicarakan tentang kasus yang sedang gempar itu. Mereka bilang salah seorang pemain futbol telah mengaku, seorang pemuda kulit hitam. Aku membeli sebuah surat kabar, duduk di dalam mobil pickup, kemudian membaca cerita itu dan berpikir. Dasar idiot! Aku tercenung. Sedikit tidak percaya. Ada foto polisi Satoru, seorang bocah tampan, aku mengingat wajahnya dan mengira kalau dia pasti tidak waras. Kalau dia masih waras, untuk apa dia mengakui sebuah perbuatan melawan hukum yang sebenarnya tidak pernah dia lakukan? Itu sedikit membuatku jengkel. Dia pasti sudah gila. Pasti! Kemudian aku membaca berita terbaru esok harinya bahwa pengacaranya membantah dengan keras tentang semua tuduhan. Gencar menyerang jaksa penuntut umum dan pengadilan bahwa semua pengakuan itu palsu. Bagaimana polisi bisa memanipulasi kasus ini dengan membuat pertahanan seorang pemuda kulit hitam itu goyah, lantas terpaksa membuat pengakuan yang tidak masuk akal. Penyataan itu bagiku juga masuk akal. Aku tidak pernah satu pun percaya pada polisi. Atau memang polisi yang membuatnya tidak pantas untuk tidak bisa dipercaya. Seluruh masyarakat Kanto menegang dan seperti akan meledak. Orang-orang kulit putih seakan-akan ingin segera menggantung pelakunya di jalanan. Sementara orang-orang kulit hitam yang lain masih percaya pada sesama rasnya itu bahwa dia kemungkinan sudah dijebak. Banyak perseteruan di sekolah-sekolah. Di sisi lain, aku dipecat dan terpaksa musti pindah."

"Alasan kenapa kau dipecat?"

"Karena bodoh. Aku kerap begadang di bar. Polisi menangkapku karena aku mengemudi dalam kondisi mabuk. Ditambah mereka mengenali pickup yang aku bawa pada saat itu, pun surat-suratnya yang juga aku curi. Aku merelakan waktuku seminggu di penjara."

"Di Kanto?"

"Iya. Periksa saja, bulan Januari 2002, aku didakwa melakukan pelanggaran sensasional, mengemudi dalam kondisi mabuk, dan sebab-sebab lain yang bisa mereka gencarkan padaku."

"Apakah pada waktu itu Furuya Satoru juga ditempatkan di penjara yang sama sepertimu?"

"Aku tidak tahu. Aku tidak pernah melihatnya. Tapi sering kali aku mendengar desas-desus kalau dia ditempatkan di wilayah lain demi alasan keamanan. Di penjara, bersama desas-desus kasus Furuya Satoru, aku menjadi lebih sering tertawa. Aku lebih sering memaki polisi-polisi itu di dalam hati. Polisi-polisi itu sangat bodoh. Mereka repot-repot membayangi Satoru ke sana- ke mari untuk mengamankannya. Padahal pembunuh yang sebenarnya sudah mereka tangkap, tapi mereka sama sekali tidak sadar."

Ivan membuat beberapa catatan. Tapi, mendengar Harry yang bercerita sambil cekikikan, membuatnya tidak percaya dengan apa yang sedang ditulisnya. "Lalu bagaimana kau keluar?"

"Mereka menyerahkanku pada seorang pengacara. Dia mampu menjaminku dengan membayar sebagian dari uang jaminan yang sebenarnya adalah tugasku untuk memenuhinya. Setelah itu, sebagai balas budi, aku membayarnya dan keluar dari Kanto, dan tidak pernah kembali. Aku berkelana tanpa tujuan. Setelah itu tertangkap di Saitama."

"Apa kau masih ingat nama pengacaramu itu?"

"Apa kau masih memeriksa sejumlah fakta, Pendeta?"

"Tentu saja."

"Apa kau masih menganggap aku sedang berdusta?"

"Tidak. Tapi tidak ada salahnya kalau aku juga mengecek sejumlah fakta."

"Aku tidak ingat namanya. Mungkin karena aku terlalu banyak mendapatkan pengacara. Aku tidak pernah membayar mereka satu yen pun."

"Penangkapan di Saitama itu juga karena percobaan pemerkosaan, kan?"

"Ya, semacam itu. Berusaha melakukan penyerangan seksual. Ditambah penculikan. Tapi tidak ada seks. Aku tidak berhasil. Gadis itu bisa bela diri. Sejauh itu tidak ada hal-hal yang sesuai dengan harapanku. Dia menendang selangkanganku dan aku muntah selama dua hari."

"Aku baca hukumanmu selama sepuluh tahun. Kau sudah menjalani enam, dan sekarang kau ada di sini."

"Bagus sekali, Pendeta. Kau mengerjakan tugas rumahmu dengan baik."

"Apa kau masih mengikuti kasus Furuya Satoru?"

"Aku terus memikirkannya selama bertahun-tahun. Awalnya kupikir para pengacara dan persidangan akan mengetahui bahwa dia tidak bersalah. Maksudku, karena aku berpikir bahwa pengadilan-pengadilan Kanto mempunyai integritas yang lebih tinggi daripada pengadilan kota lain dalam hal memeriksa ulang kasus-kasus dan semacamnya, aku mengira dia sudah bebas. Setelah bertahun-tahun dan terus menerus terbayang dengan kasus itu, aku mengira aku akan bisa melupakan semuanya. Tapi, ada masalah-masalah pribadi yang justru aku pikirkan."

"Bagaimana dengan gadis itu? Kau juga menghabiskan waktumu untuk memikirkannya?"

Harry tidak langsung menjawab. Waktu semakin merayap maju. Dan sepertinya dia memang tidak akan menjawab. Sementara Ivan terus menulis, membuat poin-poin penting untuk dirinya sendiri sehingga nanti dia mengetahui tentang apa yang harus dia lakukan berikutnya. Tapi tidak ada yang pasti. Semua hanya cerita-cerita. Tidak ada subjek dan objek yang jelas.

"Apa kau tidak pernah bersimpati sedikit pun dengan keluarganya?"

"Jelas-jelas orang sepertiku tidak akan membuang-buang waktu untuk sekadar bersimpati."

Ivan menggeleng-geleng dengan tampang sebal.

"Tapi kau jangan salah menilaiku, Pendeta. Aku mempunyai begitu banyak penyesalan dalam hidupku. Aku berharap untuk bisa berhenti melakukan hal-hal buruk itu. Aku ingin bisa normal. Aku sudah tidak ingin melukai orang lain. Entah bagaimana aku harus menjalani hidup setelah ini, aku ingin menjauhi penjara, dan mendapatkan pekerjaan seperti orang-orang normal pada umumnya. Sekali lagi, aku tidak ingin terus-menerus seperti ini."

Ivan melipat kertas yang berisi beberapa catatan kecilnya dan sengaja memasukkan kertas itu ke dalam saku mantelnya. Dia melipat tangan di depan dada dan menatap serius Harry. "Menurutku kau tega, Harry. Kau duduk diam, sementara keadaan semakin menegang terus di Kanto."

"Tidak. Aku tidak menyengajai soal itu. Aku hanya tidak tahu apa yang harus aku lakukan."

"Dan bagaimana kalau misalnya mereka menemukan mayat gadis itu? Kau telah memberitahuku di mana dia dikubur, dan aku akan menghubungi seorang kenalan yang ada di sana untuk membantu mencari mayat gadis itu."

"Kau sungguh yakin untuk melibatkan diri?"